Laman

Kamis, 20 September 2012

Airmata Bahagia

Aku mengenal pria ini pertama kali dalam sebuah gawe gedhen di lereng Merapi. Tanpa kata. Lalu kemudian kami bertemu kembali. Pria ini yang menjadi jalan untukku lebih mendalami apa yang pertama kali mempertemukan kami: outbound. Berkatnya aku juga semakin mencintai dunia untaian kata dan goresan pena. Jika ada orang yang bersedia memberikan telingannya untuk mendengar segala cerita, dialah orangnya. Pria yang kelak akan berbahagia pada suatu pagi.

Jumat, 31 Agustus 2012

Kagem Ngarsa Dalem



Ngarsa Dalem yang kuhormati, surat ini ditulis oleh rakyat kepada rajanya. Seorang yang lahir dan tumbuh besar di pangkuan Ngayogyakarta Hadiningrat. Di tlatah ini, legawa telah menjelma menjadi senopati. Tak peduli ada atau tak ada dapur mengepul, rakyatmu telah bahagia dengan semboyan mangan ora mangan sing penting kumpul. Tak terhitung berapa cendekiawan yang menyelesaikan dan melahap ilmu pengetahuan di sini. Di sinilah teh ginasthel dan sega kucing menjadi teman obrolan semalaman.  Di sinilah uni menjadi mbakyu, beta menjadi kawula, dan encing menjadi paklik. Jogja adalah legawa, nrima, dan sendika.

Ngarsa Dalem yang kuhormati, kami sudah lama merindukan cinta bersemi di bumi nusantara. Sebab, kami tak pernah diajari mencintai dengan sepenuh hati. Kami tak biasa dididik mensyukuri karunia. Melainkan yang kami lihat adalah sebaliknya. Paduka, inilah kenyataannya. Para penguasa sibuk berebut tahta, memainkan kekayaan negara, dan berdalih memajukan kesejahteraan bangsa. Sementara banyak rakyat kecil harus terpaksa maling ayam tetangga untuk mengganjal perut mereka. Paduka, cinta bukan kemauan meminta dan menerima, tetapi soal memberi dan melayani. Cinta juga soal prinsip dan tujuan. Cinta adalah ketulusan.

Ngarsa Dalem yang kuhormati, kami sempat merasakan kelemah lembutan dan kearifan tlatah kecil ini menunjukkan sisi lain. Halus budi andhap asor itu siap muntab. Saat seluruh rakyatmu menuntut sematan istimewa sebagai ijab qabul yang harus ditunaikan. Ketika masing-masing pihak di negara ini menunjukkan eksistensi dengan kepentingan mereka masing-masing. Dua periode bukan waktu yang singkat bagi kami untuk mencium intrik yang begitu menyengat. Namun sekali lagi, cinta tak akan berhenti pada poster referendum atau umbul-umbul penetapan. Cinta adalah kesungguhan yang tak dibatasi waktu dan ruang.

Ngarsa Dalem yang kuhormati, setelah ketok palu para wakil rakyat kemarin, sekarang adalah saat pembuktian. Bahwa bumi di mana kita berdiri saat ini adalah istimewa. Istimewa negerinya, istimewa rakyatnya, istimewa pula rajanya. Paduka tak perlu malu untuk turun ke Kali Code, tak perlu sungkan menyapa para simbok bakul di Pasar Niten. Bahkan, pelataran Kraton itu, sesekali Paduka bisa menyapunya sendiri. Tak usah berpikir tentang citra. Sebab pemimpin sejati takkan pernah berlelah-lelah mengejar citra. Sepi ing pamrih, rame ing gawe. Sebagaimana Umar bin Khaththab rela memanggul sendiri karung gandum menembus malam yang dingin. Sebagaimana dengan uangnya Utsman bin Affan pernah membebaskan sumur-sumur untuk rakyat saat kemarau panjang melanda. Sebagaimana Umar bin Abdul Aziz tak beranjak tidur sebelum menyelesaikan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawabnya. Mereka dicintai rakyatnya, tanpa perlu membangun citra dan memoles rupa.

Ngarsa Dalem yang kuhormati lagi kucintai, jika syarat yang diajukan Istana adalah Paduka harus melepas selempang kepentingan, maka lepaskan. Jika Senayan menghendaki Paduka menanggalkan atribut golongan, maka tanggalkan. Tak usah ragu. Karena dengan begitu, kami justru akan lebih mencintaimu. Sebab Paduka bukan lagi milik sekelompok orang saja, tapi milik kami semua, rakyat Yogyakarta.

Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Pedoman itu sudah diajarkan sejak kami duduk di sekolah dasar. Dan keistimewaan ini Paduka, bukanlah koar-koar belaka. Istimewa tak hanya manis di bibir saja. Kita akan bersama-sama mengabarkan pada dunia, Jogja adalah istimewa. Istimewa mendidik bocah-bocah kecilnya, istimewa mengajari anak-anah mudanya, istimewa mengayomi jiwa-jiwa sepuhnya. Jogja adalah istimewa dalam keistimewaan itu sendiri. Juga bahwa perjuangan akan sampai di ujung penantian. Bahwa cinta masih ada. Bahwa harga diri belum mati. Bahwa rasa handarbeni, rasa memiliki, akan membuat keistimewaan ini lebih berarti.

Ngarsa Dalem yang kuhormati, Paduka adalah raja yang dicintai rakyatnya. Maka pimpinlah kami dengan cinta, dan bimbinglah kami agar semakin mencintai RAJA segala raja. Sehingga ketika Paduka menaati-NYA, kami akan ringan hati menaati Paduka. Dan ketika Paduka membelot dari-NYA (sungguh, kami tak pernah ingin), bukti cinta kami adalah tak segan mengingatkan Paduka. Sebab yang kita tuju adalah sama: cinta-NYA, ridho-NYA, surga-NYA! Semoga…

Ngarsa Dalem yang kucintai, tetaplah rendah hati. Teruslah berbagi dan melayani. Jadilah istimewa dengan sederhana dan bersahaja. Karena kepemimpinan akan dimintai pertanggung jawaban. Dan pemimpin ada bukan untuk diagung-agungkan, melainkan dijadikan teladan…!***

Yogyakarta, 13 Syawal 1433
31 Agustus 2012


Ainun Nahaar

Kamis, 19 Juli 2012

A atau B !!!


Beberapa waktu yang lalu, seorang sahabat saya berkunjung ke rumah. Setelah ngobrol beberapa saat, dia mengajukan sebuah pertanyaan yang membuat saya mengernyitkan dahi. Dan ketika saya tanya, “Maksudnya?”, matanya berkaca-kaca seketika. Ia kembali bercerita. Sekuat mungkin ia tahan akan bendungan di pelupuk matanya tak tumpah. Meskipun akhirnya, itu jebol juga. Satu yang membuat ia menangis. Bahwa ia menyadari sesuatu yang orang Jawa bilang dengan kebacut,terlanjur. Ia menyesal pernah melakukan kesalahan di masa lalu. Dan kini, ia merasa takut, aib dan keburukan masa lalunya itu akan diketahui orang lain, termasuk calon suaminya kelak.

Minggu, 01 Juli 2012

Kadung


Apa yang terjadi diantara kami, aku dan Mas Bahar adalah hal yang sangat memilukan. Aku tak memungkiri, hatiku menangis. Aku ini siapa? Mas Bahar sungguh terlalu. Apakah dia bukan orang Jawa? Atau dia sudah lupa dengan ke-Jawa-annya? Aku ini wanita. Aku ini orang Jawa. Khadimah Bu Nyai, batur para santri, anak seorang bakul sayur dan buruh bangunan. Mana mungkin berani mendongakkan kepala, apalagi mengharap cinta dari putra seorang kyai besar.
Dia sungguh terlalu.

Jumat, 25 Mei 2012

Dari Cordoba Mewarna Dunia



Bersama dengan gegap gempita Piala Eropa, tak ada salahnya kita mengunjungi salah satu negaranya. Dan jika kita berkesempatan untuk pergi ke Spanyol, sempatkanlah menilik Kota Cordoba. Di sana kita akan menemukan jalan ‘Calle Abulcasis’. Di jalan itu terdapat rumah nomor 6. Sekarang, rumah itu menjadi cagar budaya yang dilindungi Badan Kepariwisataan Spanyol. Dan di rumah itulah, dahulu sosok yang luar biasa ini pernah tinggal.

Senin, 14 Mei 2012

Panen



kawan, wajahmu nampak muram, ada apa gerangan?
aku baru panen belakangan

bagaimana bisa kau gundah gulana, sedang kau tengah panen raya?
harusnya begitu, tapi tidak begitu adanya

memang, apa yang kau tanam?
sebutir benih bernama NANTI

lantas, yang tumbuh dari benih itu?
pohon dengan tunas yang mengakar, batang yang menjulang, dan rimbun dedaunan bernama MUDAH-MUDAHAN

kau apakan pohon-pohonmu?
kusiram, kupupuk, dan kerap kugadang-gadang dengan ucapan MASIH ADA KESEMPATAN

lalu pohon itu berbuah?
ya, tentu. awalnya hanya kecil, lama-lama membesar. masam, lalu matang. satu, dua, sampai berpuluh, bahkan berratus buah ALASAN

kemudian itu?
ketika kucecap hanya ada rasa getir KEGAGALAN

dan itu yang kau tuai belakangan?
ya. saat menuaiya tak ada yang tertinggal selain bertumpuk PENYESALAN*** (an)

Selasa, 08 Mei 2012

Dua Jenis Guru*

Di Hari Pendidikan lalu, saya bertemu dua jenis guru. Guru pertama adalah guru kognitif, sedangkan guru kedua adalah guru kreatif. Guru kognitif sangat berpengetahuan. Mereka hafal segala macam rumus, banyak bicara, banyak memberi nasihat, sayangnya sedikit sekali mendengarkan. Sebaliknya, guru kreatif lebih banyak tersenyum, namun tangan dan badannya bergerak aktif. Setiap kali diajak bicara dia mulai dengan mendengarkan, dan saat menjelaskan sesuatu, dia selalu mencari alat peraga. Entah itu tutup pulpen, botol plastik air mineral, kertas lipat, lidi, atau apa saja. Lantaran jumlahnya hanya sedikit, guru kreatif jarang diberi kesempatan berbicara. Dia tenggelam di antara puluhan guru kognitif yang bicaranya selalu melebar ke mana-mana. Mungkin karena guru kognitif tahu banyak, sedangkan guru kreatif berbuatnya lebih banyak.

Jumat, 27 April 2012

Ningrat


Apa yang aku khawatirkan akhirnya terjadi juga. Badai penentangan atas apa yang kuputuskan benar-benar bertiup kencang. Tak jarang pula badai itu datang dari keluarga atau pihak-pihak yang selama ini sangat berkeinginan menjadikan aku sebagai menantu. Tapi, atas badai dan gelombang itu, aku tetap berdiri pada keputusanku. Aku mantapkan hati. Jodoh itu di tangan Tuhan, ikhtiar ke arah itu, akulah yang melakukan. Jika orang lain mau memberi masukan, itu hak mereka. Silahkan. Aku bisa menerima, bisa pula menolaknya.

Selasa, 17 April 2012

Memilih Sehat (Bagian 1)

Hidup adalah sekumpulan pilihan, begitu kata Patch Adams dalam bukunya Gesundheit! Bringing Good Health to You. “Dan kita,” lanjut beliau, ”adalah ekspresi dari pilihan jangka pendek dan jangka panjang yang kita buat.”

Sabtu, 07 April 2012

Sakit Itu Mahal

Dua nikmat yang sering manusia lupakan adalah kesehatan dan waktu luang. Kadang kita harus lebih dulu terbaring lemah untuk bisa paham bahwa sehat itu luar biasa. Kadang kita harus lebih dulu beraktivitas banyak sampai istirahat pun tak sempat untuk mengerti bahwa waktu tak boleh kita buang sia-sia.

Rabu, 29 Februari 2012

(Bukan) Negeri Kemarin Sore

Aku tak henti berdecak ketika menapak di Brussel kali pertama. Di jantung kota ini berdiri kokoh kantor Uni Eropa yang berwibawa. Sebuah lambang kegagahan bangsa-bangsa Eropa. Arsitektur dasarnya mirip kuburan saudagar Tionghoa yang kaya raya. Tinggi, melengkung ke dalam, seperti tubuh yang ingin memeluk. Maksud desain itu bukan soal estetika semata. Lengkung yang merengkuh 27 bendera negara anggotanya di taman berlantai granit itu adalah rancangan untuk berlindung dari guncangan bom.

Kamis, 23 Februari 2012

Yang Manakah Kita?

Kita ini seperti sapu. Kok bisa? Iya. Sapu itu, ketika ia hanya berdiri sendiri, ia takkan bisa apa-apa. Ia tak mampu membersihkan kotoran. Tapi coba kita lihat, ketika bakal sapu itu sudah menjadi satu, sudah diikat sedemikian rupa, kotoran apa yang tak mampu dibersihkannya? Bahkan kalau (kepepetnya) butuh gebug maling, sapu akan sangat berguna. Hehe, iya kan? Sekarang coba kita bayangkan jika kita hanya sendirian. Apa yang bisa kita lakukan? Bukan tidak mungkin, tapi akan sangat berat. Sekali lagi, sangat berat.