Laman

Jumat, 03 Desember 2010

Catatan di Atas Dipan



Ahad, 10 Februari 2008


Banyak yang terjadi dalam hidup ini. Tanpa bisa aku mengerti. Perlahan aku membuka mata. Cahaya ratusan watt itu serupa surya yang sangat perkasa. Aku hampir tak sanggup menatapnya. Dimana aku sekarang? Argh, sakit. Badanku. Kakiku. Tanganku. Kepalaku…

Ada yang mengganjal di hidungku. Selang. Kulihat ke atas. Juga selang. Menjuntai mengalirkan tetes demi tetes cairannya lewat tangan kananku. Rumah sakit? Aku di UGD?

“Dek… Kamu nggak apa-apa?”
“Mbak Mif? Sakit, Mbak…” Aku memandang wajah teduh ini. Harusnya aku tidak di sini. Yang aku ingat, aku bareng Mbak Miftah pulang dari Kajian Lintas Rayon. Naik motor. Aku yang di depan. Lewat Perempatan Badran. Sedikit jalan ke utara, persis di bawah jembatan kereta apinya. Motor yang kami naiki dihantam keras dari belakang. Aku tak bisa ambil kendali. Di depan aspal jalan berlubang sekitar setengah meter dalamnya. Kata Mbak Miftah, kami jatuh di sana. Seterusnya aku nggak ingat apa-apa.

***

Aku ditinggal sendirian. Keluargaku nggak ada yang datang. Teman-teman yang menjengukku juga sudah pulang. Tapi aku ditinggali buku, biar nggak bosen katanya. Zero to Hero - Solikhin Abu Izzudin. Aku pernah baca. Tapi apa salahnya.

Aku baru mau menyentuhnya. Dua perawat menarik gorden, minta ijin masuk. Putra semua.
“Maaf ya Dek, lengan bajumu sedikit saya buka.” silahkan, toh dari tadi aku masih belum berdaya.
“Tahan ya, agak ngilu…” belum sempat aku meng-iya-kan. Jarum itu sudah tertancap di selang tangan kanan. Ya Allah, ngilu bukan kepalang.

Masih obat injeksi. Jangankan minum obat tablet. Aku saja masih muntah nggak berhenti-berhenti. Kata dokter spesialis bedah syaraf, hasil CT Scan kepalaku… Ah, apa tadi? Nggak tahu lah. Pokoknya ada yang nggak beres, bikin pusing nggak karuan. Pipiku mirip Chibi Maruko Chan. Hasil rontgen menunjukkan 2 rusuk kananku retak. Pinggangku juga, rasanya luar biasa.

Sakit. Mataku menerawang ke langit-langit. Menyakitkan, aku sendirian. Waktu aku harus melewati saat terberat.

Bapak? Dimana orang yang harusnya jadi tempat bergantung anggota keluarganya? Bisa tidurkah di rumah? Semantara anaknya di sini terbaring lemah?
Adek? Apa yang sedang dia lakukan? Apa jarak 60km ke timur kota nggak bisa disempitkan?
Mbah Kakung, Mbah Uti, Pakdhe, Paklik, Bulik, sepupu-sepupu, terlalu sibukkah kalian semua?
Juga teman-teman. Kalian yang sudah melihat kondisiku. Tapi kenapa nggak ada satu pun yang menemaniku?

Mataku sembab. Tapi tak mampu terisak. Cuma butir bening itu yang terus bicara. Perlahan mengalir. Sampai aku terlelap. Air mata itu belum terusap.

***

Senin, 11 Februari 2008

Mentari pagi menyapaku dari balik jendela. Hangat sekali sinarnya.

Ruanganku sepi. Dari empat bed cuma dua yang terisi. Karena memang bukan bangsal perawatan. Inter Mediate Care, masih satu atap dengan Instalasi Rawat Darurat. Selain aku, cuma ada satu pasien lagi. Aku belum bisa kemana-mana. Jadi aku juga belum tahu namanya. Sambil tiduran, aku baca Zero to Hero lembar demi lembar. Walaupun aku harus menahan mual. Ini bukan pertama kali aku membacanya, tapi banyak hal kutemui yang sepertinya tidak kutemukan dulu, nggak tahu kenapa.

Baru beberapa lembar yang aku buka. Sampai kalimat ini aku berhenti.
Bila orang pesimis berkata, “Masalah ini mungkin diselesaikan, tapi sulit”, maka optimislah dan katakan, “Masalah ini sulit, tapi mungkin.”

Bagiku ini sulit. Tapi apa ini namanya aku pesimis? Nggak! Aku masih nggak terima. Ini sulit. Aku cuma sendiri di sini. Padahal aku belum bisa mandiri. Jangankan ngurus administrasi. Minum? Harus bantu disendoki. Makan? Harus disuapi, itupun banyak yang termuntahkan lagi. Sholat? Harus di-tayamumi. Buang air? Terpaksa di pispot. Minta tolong? Pasti. Persis bayi!

Aku makin nggak terima di halaman-halaman berikutnya. Zaid bin Tsabit? Abu Hurairah? Anas bin Malik? Jelas aja mereka bisa! Rasulullah sendiri yang membimbingnya. Imam Nawawi? Imam Syafi’i? Imam Ghazali? Arghhh!

Menjelang dhuha sarapanku datang. Aku terlanjur nggak nafsu. Lagipula, gimana aku mau makan? Badanku aja masih sakit miring ke kiri-kanan. Ibu pasien di seberangku mendekat, mungkin merasa kasihan.
“Sudah makan, Nduk?”, aku menggeleng.
“Ibu suapin ya?”, aku mengangguk. Aku dibantu duduk.
Ibu ini banyak bertanya. Aku jawab seperlunya. Ibu ini mengajakku bercerita. Kalau aja ibu masih ada. Aku nggak akan sendiri macam ini jadinya. Mendadak kepalaku berat. Pusing. Dan hueekk. Aku muntah.
“Kamu baik-baik aja, Nduk?”, ibu ini yang membersihkan muntahanku. Aku sudah nggak punya baju.
“Nggak apa-apa. Nanti kalau ada yang ke sini kan pasti dibawakan ganti”. Ya, semoga ada, batinku.
“Ibu tinggal ya, sebentar lagi kunjungan dokter”, ibu ini segera meninggalkanku.
“Bu………”, panggilku lirih.
“Bu Siti Aidah. Kalau ada apa-apa panggil ibu aja ya…”
“Terima kasih…”
Ibu ini kembali. Mengusap jilbabku. “Iya, sama-sama. Istirahat. Biar kalau diperiksa dokter kondisimu lebih enak. Ya, Nak?”
Ah, masih ada yang peduli padaku ternyata…

Matahari mulai merangkak ke barat. Biasanya aku menghabiskan waktuku di TPA. Aku rindu mereka. Rindu riuh rendah hafalannya. Rindu senyum dalam bingkai jilbab mungil mereka. Rindu gelayutan manjanya. Rindu cerita-ceritanya. Aku rindu santri-santriku.

Menjelang malam senior remaja masjidku datang. Sepasang suami istri. Aku dibawakan baju ganti. Aku nggak punya baju ini, pasti punya Mbak Novi. Tadi beberapa teman membawakan rambutan. Ada juga yang membawakan buah sekeranjang.

Ruanganku mulai sepi. Seorang perawat senior mendekati kami. Lagi-lagi soal administrasi.
“Askeskin itu hanya bisa digunakan kalau diurus maksimal 3x24jam”, tegas beliau.
Mbak Novi yang pergi. Mengambil dan mengisi formulir apa, aku nggak begitu ngerti.
“Syarat lainnya banyak Dek, surat ini, surat itu, legalisir ini, fotocopy itu. Numpuk di sana. Besok ada yang bisa menyelesaikan?”
“Nggak tahu, Mbak...”
“Mas Rachmat dan Mbak Miftah?”
“Mungkin. Apa salahnya sih Mbak, pake askeskin? Dosa ya? Sudah tahu orang nggak punya, kondisi juga baru serba susah, kenapa sih nggak dipermudah?”
“Sabar…”. Sabar. Sabar. Sabar. Selalu itu yang aku dengar.

***

Selasa, 12 Februari 2008

Nafas Mbak Miftah masih terengah. Kelihatannya sangat lelah. Di luar pasti sangat panas.
“Mbak Mif dari mana? Kok baru ke sini sekarang?”
Wanita tiga tahun di atasku ini tersenyum. “Maaf Dek, Mbak baru aja pulang dari Balaikota. Legalisir Askeskin-mu.”
Luar biasa! Mbak Mif masih tersenyum di sela lelahnya. Tak kusangka sampai sedalam itu pedulinya. “Udah selesai?”
“Belum, masih harus ke Dinsos, masih ngurus di rumah sakit juga. Oh ya, SKTM dari RT/RW. Mbak bisa ketemu siapa?”

Ya Robb, betapa susahnya… Berat sekali rasanya…

Malam ini aku masih sendirian. Mataku masih belum mau terpejam. Lirik kiri, lirik kanan. Cuma Zero to Hero tadi satu-satunya yang bisa kujadikan teman. Aku kembali menikmatinya sebagai santap malam. Mulai halaman 57 aku terpaku.

Milikilah Kesabaran
Sabar bila dijalani sebagaimana mestinya akan mampu mengubah musibah menjadi karunia, tantangan menjadi peluang, hambatan menjadi kesempatan, keterbatasan menjadi anugerah.
Kesabaran menjadikan seseorang mampu bertahan.

Ya Robb, apa ini yang membuat aku merasa tidak kuat? Sepertinya semua ini berat? Aku tidak sabar. Atau mungkin sabar. Tapi tidak di jalan yang benar.

Milikilah Ketabahan
Selain kesabaran diperlukan juga ketabahan. Ya, ketabahan, yakni kemampuan bangkit kembali untuk kesekian kalinya setelah terjatuh. Dalam benturan antara air sungai dan batu, air sungai senantiasa menang bukan dengan kekuatan tapi ketabahan.

Ya Robb, aku kurang tabah. Aku belum mensyukuri nikmat-Mu yang berlimpah...

Menarik Hikmah, Jangan Menyerah

Ya Robb, ampuni aku… Jadikan aku hamba yang mampu membaca hikmah, saat Kun-Mu hadir menjawab do’a-do’aku…

***

Rabu, 13 Februari 2008

Malam ini ruanganku mendadak ramai sekali. Banyak yang masuk IRD hari ini. Kata perawat, sebelum dipindah ke bangsal, diobservasi sehari dulu di sini. Kok aku nggak dipindah ya?

Tadi sore Mas Fano, Mbak Nisa sama Mbak Peni datang ke sini. Mas Fano itu tetanggaku, Mbak Nisa kakak kelasku dulu, kalau Mbak Peni kenalan baru. Mereka tanya lepas SMP pingin lanjut kemana.
“Ke sekolah kita aja! Kita jadiin ketua bidang di SKI deh!”

Ya. Tinggal 2 bulan UAN datang. Waktunya merancang masa depan. Biarpun dalam kondisiku sekarang. Seperti tulisan Pak Solikhin yang aku baca tadi siang…

Kadang kita takut punya cita-cita, karena takut untuk mencapainya. Padahal cita-cita merupakan energy yang akan menggerakkan jiwa, menggerakkan pikiran untuk kreatif, menggerakkan badan untuk aktif, menggerakkan seluruh tubuh untuk mencapai tujuan.

Ya. Aku sudah punya pilihan. Aku sudah punya cita-cita. Ya Robb, jika Kau ijinkan… Ridhoi cita-citaku, untuk berkarya di bidang kesehatan. Untuk menjadi amalan terbaikku di dunia yang mengantarkanku menuju surga…

***

Kamis, 14 Februari 2008

Dingin menggigil. Bumi mulai basah. Setelah tetesannya lebih dulu menari di ranting dan dedaunan. Pagi-pagi benar sudah menyanyikan tik tik tik bunyi hujan. Jarum jam baru menunjuk angka 6.

Infusku terpaksa dilepas, tangan kananku bengkak. Nggak apa-apa, aku mulai bisa bebas bergerak. Aku turun dari ranjang. Menyapa orang-orang yang seruangan denganku. Semuanya pasien baru. Sapaan berbalas senyuman. Kenapa nggak dari kemarin aku lakukan? Kan aku nggak bakal kesepian…

Mulai jalan ke luar pelan-pelan. Meraih apapun yang bisa aku jadikan pegangan. Meniti koridor ke arah selatan.

Wanita setengah baya itu bersandar di kursi. Masih memakai mukena, mungkin sejak subuh tadi. Apa sama kesepian seperti aku?

“Nyuwun sewu Bu, kula lenggah mriki nggih?”
“Mangga, Mbak…”
“Sinten sing sakit, Bu?”
“Putra Mbak, kengeng alangan. Mangkih jam wolu kedah dioperasi. Menawi balung suku tengen taksih saged ditata nggih ditata. Menawi mboten nggih kedah amputasi.”

(“Maaf Bu, saya boleh duduk disini?”
“Silahkan, Mbak…”
“Siapa yang sakit, Bu?”
“Anak saya Mbak, kecelakaan. Nanti jam delapan harus dioperasi. Kalau tulang kaki kanan masih bisa ditata ya ditata. Kalau nggak ya harus amputasi.”)
“Innalillaah…”, pekikku pelan. Jelas sakit yang ibu ini rasakan. Apalagi putranya kalau harus benar-benar kehilangan kaki kanan. Aku jadi ingat bukuku lagi, kalau nggak salah di bagian delapan.

Allahlah pemilik segala kekuatan, “Laa haula walaa quwwata illaa billah… tiada daya dan kekuatan selain dari Allah.”

Tiba-tiba aku rindu memakai mukena. Aku rindu tetesan air wudhu yang lima hari ini tergantikan oleh debu. Kupenuhi rinduku segera. Dhuha.

***

Jum’at, 15 Februari 2008

Ba’da sholat Jum’at. Baru saja selesai makan siang, sekarang udah makan sendiri. Bed depanku sudah kosong, tadi pagi pulang. Tapi ada pasien lagi. Anak laki-laki diantar perawat pakai kursi roda. Aku pandangi bocah ini. Dekati!

Masya Allah, panas luar biasa waktu aku pertama menyentuh tubuhnya! Dia cuma sama pamannya. Jauh-jauh menempuh jarak Tegal-Jogja. Dia juga sama seperti aku, piatu. Juga sama, pasien Askeskin. Pamannya masih pontang-panting ngurus administrasi dan cari tranfusi.

Yang aku rasakan kemarin sama sekali nggak enak. Juga yang sekarang aku lihat. Ya Allah, aku ingin bisa berbuat lebih banyak. Dengan jadi dokter atau bahkan pemilik rumah sakit, jika Kau ijinkan kelak. Dan semua berawal dari niat!

Niat sungguh membuat pemiliknya besar. Pikiran kita lebih lebar. Menjadikan setiap langkahnya tegar.

Ya Robb, jadikan aku besar dengan niat yang benar… Karena-Mu dan untuk-Mu…

***

Sabtu, 16 Februari 2008

“Hari ini kamu boleh pulang. Saya buatkan surat pengantar, besok Kamis kontrol sama saya di Poli Bedah Syaraf ya”, wajah teduh berwibawa itu tersenyum padaku.
“Benar, Dok?”, wajahku berbinar.
“Belajarlah yang rajin. Banyak yang menunggu dokter pilihan sepertimu. Yang mau mendengar, yang taat dan nggak cengeng…”
“E… Dokter tahu dari mana?”
“Tidak sengaja dengar. Tiga hari yang lalu waktu kunjungan sore di bed sebelah. Segera lulus dengan nilai terbaik. Masuk sekolah yang kamu inginkan. 3 tahun lagi saya tunggu di Fakultas kedokteran.”
“Baiklah Dok, do’akan…”, batinku penuh harapan.

Administrasinya gimana? Ternyata bisa diselesaikan besok atau lusa. Daripada aku di sini juga nambah-nambahin biaya. Cukup ninggal identitas kepala keluarga. Itupun bukan aku sendiri yang menyelesaikan semua.

6 hari aku di sini. Belajar mengeja apa yang sudah Allah beri. Banyak nikmat yang harus kusyukuri. Bukan keterbatasan yang harus kuungkit tiada henti. Itu hanya membelenggu diri. Tapi bagaimana menata potensi. Lalu berlari ke puncak prestasi, meraih surga Ilahi…!!!

Kemampuan kita terbatas? Itu bukan masalah! Sebab bila di tengah keterbatasan itu kita mampu mendahsyatkan diri untuk meraih prestasi tinggi, itulah kepahlawanan sejati. Zero to Hero!
(Solikhin Abu Izzudin)




***

Jum’at, 3 Desember 2010

Hari ini, aku masih terus berlari. Meski tertatih. Berteman bayangan akan harapan, walau terjatuh dengan realitas yang mengerikan. Terjerembab dalam keadaan diri yang sejati, lalu tergugah lagi dengan mimpi-mimpi. Demi surga yang hakiki. The Director of International Medical Center. Ditemani derasnya air hujan, do’akan aku, Kawan… Ini saat mustajabah kan?



Sepenggal kenangan di IMC B-7 dua tahun lalu,


Ainun Nahaar

Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html

Janji Malam Hari



Mentari senja membelai pipi Fariza. Cahayanya pucat. Fariza tersenyum kecut, sama seperti blimbing wuluh yang pohonnya ada di halaman depan. Berkali-kali ia menarik nafas panjang, terasa berat. Kesepakatan pertemuan ini masih jadi diskusi. Fariza tak ambil peduli. Hanya memainkan pulpen di tangannya. Betapa ia ingin bangkit dan meninggalkan ruangan itu segera.

“Tunggu saja undangannya. Iya nggak, Mas?” celetuk seorang kawan mengundang tawa yang lainnya. Namun justru membuat Fariza ternganga. Senyumnya terhapus seketika. Hanya dia yang merasakannya.

“Aku nggak salah dengar, Ya Robb? Beberapa hari ke depan dia memang akan pergi. Tapi benarkah untuk satu hal itu?”, jerit Fariza dalam hati.
"Kenapa harus dia? Dari sekian banyak ikhwan yang ada, kenapa harus dia?”. Dia yang diam-diam Fariza kagumi, lebih dari setahun ini.
“Dan kenapa juga harus sekarang? Kenapa harus di saat paling penting bagiku? Bagi masa depanku? Tinggal 4 bulan lagi UAN datang. Belum lagi hasil try out ku, kuliahku. Ya Allah, kuatkan hamba-Mu…"

Tidak biasanya Fariza pulang tanpa pamit. Pikirannya kacau, hatinya galau. Bahkan adzan maghrib yang saling menyahut tak lekas ia sambut. Kalau tidak ingat hari ini puasa dan harus berbuka, ia tak berminat sama sekali menyentuh botol air minum di ranselnya. Astaghfirullah…

Fariza menghentikan langkahnya di depan masjid. Bergegas menyejukkan batinnnya dengan tetesan air wudhu. Lalu mengenakan mukena merah jambu. Tapi resah itu masih saja menyerbu. Takbiratul ihram yang ia ikuti terasa begitu kering.

“Ayolah Za, cuma Allah yang Maha Besar. Semuanya kecil kecuali Dia!” Fariza berkata pada dirinya sendiri. Bahkan ia sampai membatalkan dan mengulang takbirnya tiga kali. Raut wajah itu masih terus membayangi. Tubuh Fariza menggigil dalam sujudnya. Selepas salam dia juga tak mengucap dzikir, alfa.

Fariza kesepian di tengah hiruk pikuk jalan raya. Perjalanan pulang kali ini terasa sangat lama. Berbagai rasa berkecamuk di hatinya. Ia sedih. Ia marah. Bahkan Fariza benci. Benci pada dirinya sendiri.
Sampai di rumah Fariza menghambur menuju kamar. Memori-memori itu seperti diputar ulang. Sepenggal kenangan, tak lama setelah ibu meninggal. Tentang sebuah janji. Janji yang pernah ia patri. Tekad yang pernah Fariza ikat. Begitu kuat.

***

Bola mata Fariza menjelajah rak buku seniornya. “Eh, diantara buku kelas berat punya Mbak Uul, ada yang tipis juga ternyata. Ini aja deh. Pas buat aku yang masih pakai putih-biru”, batinnya.

“Aku pinjem ini ya, Mbak?”
“Yang mana, Za?”
“Nih!”, Buku bersampul merah itu sudah ada di genggaman Fariza. CINTA KITA BEDA, Evi Ni’matuzzakiyah – Muhammad Nazhif Masykur.
“Itu punya Mbak Hani, belum Mbak kembalikan. Coba aja langsung bilang ke dia. Eh, tapi kamu ini aneh, masih SMP udah pingin baca gituan.”
“Hehe, nggak apa-apa, Mbak…”

Fariza melahap lembaran buku itu satu demi satu. Kadang tersenyum simpul, tapi tak jarang mengernyitkan dahi. Kalau sekarang ditanya isinya, mungkin dia sudah lupa. Karena memang tak banyak yang Fariza ingat dari buku yang dia baca. Tapi satu kalimat yang paling melekat dalam benaknya. Walau hanya sebaris kata pengantar.

“Cinta kita beda. Tapi beda itulah yang kupilih dan kuyakini kebenarannya. Sehingga I Love Islam yang selalu kuserukan untuk teguhkan prinsipku.”



Ya, kondisi Fariza memang tak sama dengan teman-temannya. Tanpa sosok ibu di sisinya, dalam kondisi yang kurang berpunya, harus memperjuangkan hidup dan masa depannya. Sejak itulah Fariza melonjak dan berazzam:
“Akan kubuktikan bahwa cintaku beda. Cintaku akan mendekatkanku pada agama. Cintaku hanya karena Allah ta’ala.”
Itu janjinya.

***

Tubuh Fariza bersandar di ranjang. Memandang lekat wajah di bingkai 3 R itu penuh rindu.

Empat tahun lalu ibu harus kembali pada-Nya lebih dulu. Yang pertama kali mengajarkan Fariza tentang cinta. Bukan dengan kata, karena ibu memang tak mahir menulis dan mengeja aksara.

Ibu tak pernah protes. Meski pasca krismon, beliau sepenuhnya menjadi tulang punggung keluarga. Entah karena bapak tak mampu atau tak mau melakukannya. Semoga bukan yang kedua. Mengejar fajar dengan sepeda ontel tua. Menuruni lantai empat Pasar Beringharjo dengan gendongan di belakang dan tentengan di kiri-kanan. Melewati bau sayuran busuk sepanjang Jalan Sri Wedari sebelum direlokasi. Menjajakannya mulai bantaran Kali Code.

Sesekali melepas caping dan menyeka peluh saat surya begitu perkasa di Pakualaman. Terkadang ibu menghilangkan penat di depan rel perlintasan Lempuyangan. Mendengar peluit melengking menyambut gerbong Lodaya yang baru saja datang. Lalu menyeberangi jembatan Sudirman saat matahari mulai condong. Perempatan Tugu sudah ramai dengan bunyi klakson. Ya, ibu memang istri yang penuh cinta. Tak mengurangi baktinya, meski bapak tidak memberikan nafkahnya. Mulai urusan dapur, sumur dan kasur.

Tak pernah malu melakukan apapun untuk membesarkan hati anak-anaknya. Dalam balutan kain merah-putih Fariza membonceng sepeda. Di antara deretan motor dan mobil keluaran terbaru, ibu memarkirnya di situ. Mengantarkan seorang alumni sekolah dasar pinggir kali menyongsong bangunan tua bernama SMPN 8 Yogyakarta.
“Bismillah, kita coba Nduk, Insya Allah kamu bisa”.
Ya, ibu memang orang tua yang penuh cinta. Tak pernah marah, meski Fariza dan adik laki-lakinya kadang berulah.

Tak pernah menyesal berjuang membantu kakung (Jawa: kakek) membesarkan tujuh adiknya. Walaupun sejak kecil tak sempat merasakan bangku sekolah. Anak polah bapa kepradah. Anak berbuat, orang tua bertanggung jawab. Begitulah ibu menyediakan diri untuk adik-adiknya. Bahkan sampai mereka dewasa. Ya, ibu memang anak sekaligus kakak yang penuh cinta.

Tak pernah mengeluh atas semua keletihan yang ibu rasakan. Hanya satu yang ibu jadikan sandaran. ALLAH.
Pernah Fariza terbangun. Gelap. Senyap. Dingin menyergap. Ia ingin ke kamar mandi. Tapi ia urungkan niatnya tadi. Ia dapati ibu berlinang air mata di ruang tamu. Sebelumnya Fariza tak pernah melihat ibu tergugu sehebat itu. Sempurna dalam mukena tua yang lusuh tapi selalu bersih. Tangan yang legam terpanggang itu menengadah. Allah-lah yang selama ini menjadi kekuatan dan memberi ibu daya upaya. Allah-lah yang selama ini paling ibu cinta…

Fariza mendekap erat guling kesayangannya. Seperti dulu saat dia memeluk ibu. Fariza malu. Dia bisa begitu sakit hanya karena seorang laki-laki yang belum halal baginya. Padahal sakit tak ibu rasakan sebagai sakit demi orang-orang tercinta. Mengapa dia justru mengundang murka Sang Maha Cinta? Ampuni, Ya Robb…

***

Langit-langit 3x3 itu dia tatap, sesekali mengerjap. Matanya memerah. Fariza makin resah.

Ia ingat gundukan tanah yang menyimpan jasad bapak masih basah. Meski bunga-bunganya sudah layu dan terbang dibawa angin. Belum genap sebulan bapak berpulang. Bapak yang penuh cinta di hari tuanya.

Tak marah meski Fariza pernah mengungkit masa lalu bapak. Dulu membebani ibu, saat sehat tapi tak bekerja. Dua tahun kemudian membebani Fariza dengan sakitnya. Bapak terserang stroke tepat sesaat sebelum Fariza menyelesaikan sekolah menengah pertama. Dan sampai komplikasi menjelang akhir hidupnya. Sejak saat itu, estafet tulang punggung keluarga berpindah ke Fariza, sebagai anak pertama.
“Bapak ora tau nyuwun kaya mengkene. Wis ora ana sing gelem ngajak nyambut gawe, wong bapak wis ora isa ngapa-ngapa. Muga-muga sesuk uripmu luwih mulya tinimbang bapak…”1

Tak banyak bertanya. Saat anggaran dinyatakan pailit, bahkan pernah Fariza tak mampu membeli gas elpiji 3 kilo, bapak pergi mencari kayu bakar. Bapak bawa pulang, sampai terseok-seok di jalan. Kayu waru, bambu, glugu, atau kayu apapun itu. Bapak pecah-pecah dan beliau jemur sendiri. Lalu bapak juga yang membuat perapian. Di samping rumah yang sempit dan hanya ada temaram lampu 5 watt. Kadang terbatuk karena asap yang beliau hirup. Baju bapak pun mengumpul debu dilapisi abu. Mengetuk pintu kamar Fariza yang belum selesai melepas lelahnya.
“Nduk, iki dina Kemis, arep pasa ora? Segane wis mateng, wedange wis cepak…”2


Tak banyak menuntut. Bapak terima berapapun uang yang Fariza berikan. Bahkan bapak tak segan menggunakan keahlian yang masih beliau miliki. Bapak memang sudah tak kuat memperbaiki bangunan seperti dulu. Tubuh yang dulu tegap memang sudah bungkuk. Tangan yang dulu kekar dan berotot memang yang kiri begitu lemah. Kaki yang dulu kokoh memang untuk berjalanpun tertatih. Tapi tangan kanan bapak masih sangat kuat. Masih mantap untuk memijat. Lalu bapak diberi imbalan ala kadar. Kadang uang, kadang makanan, atau hanya ucapan terima kasih.
“Mau mung entuk matur nuwun, Nduk. Ning kuwi ana tela godog, Le…”3


Tak banyak berkata. Selama bapak bisa, beliau cuci sendiri pakaiannya. Apalagi sejak bapak tak bisa mengontrol hajatnya. Tak mau membebani anak-anaknya untuk membersihkan celana penuh kotoran.
“Awakmu mesti wis kesel bola-bali ngepel, Nduk. Sandhanganne adhimu wae dikumbahke. Bapak titip ndhuwuran siji.”4


Tak banyak bicara. Tapi satu yang jadi prinsip bapak dalam hidupnya. Yang juga diajarkan pada anak-anaknya: “Nduk, senajan dadi wong ora nduwe, aja nganti pingin apa meneh gelem njupuk duwekke liyan…”5

Kedua orang tuanya begitu sederhana saat bicara cinta. Cinta yang beliau wujudkan secara nyata. Cinta yang tepat pada tempatnya. Fariza malu pada dirinya. Fariza malu pada mendiang ibu-bapaknya. Fariza malu pada Tuhannya.

***

Fariza tak bisa lagi menahan yang sedari tadi ia bendung. Butir bening itu tak lagi menggenang. Tumpah. Menganak sungai. Mengalir dan terus membanjir.

“Kenapa kulanggar janjiku, Ya Robb? Kenapa kuijinkan sedikit demi sedikit dia menggeser kedudukan-Mu di hatiku? Kenapa malah dia yang jadi semangat dalam aktivitasku? Mana beda yang dulu kubilang akan kubuktikan? Jika macam ini apa bedanya cintaku? Kenapa aku tidak belajar dari cinta orang tuaku? Kenapa cintaku tidak mendekatkan pada ridho-Mu? Kenapa ini tidak aku berikan saja pada yang memang Kau haruskan aku mencintainya?”


Pintu kamar diketuk. “Mbak, sudah adzan, ayo sholat isya…” Bukan suara asing. Suara yang mulai memberat. Satu-satunya suara yang setia menemani Fariza setelah orang tua mereka tiada. Menyisakan isak. Tapi juga mengguratkan senyum.

“Ya. Dialah yang harus kucintai saat ini.”


Aku terlampau kerdil untuk tidak ditiup angin. Demi Dzat yang kuyakini dalam apapun. Aku menyebut-Mu, aku berserah diri pada-Mu. Walau nampak berat, aku hadir untuk mencoba tetap di jalan yang Paduka pilihkan…//



Mulai ditulis di Yogyakarta, 28 Oktober 2010 tengah malam
Selesai di Yogyakarta, 23 November 2010 menjelang fajar


Ainun Nahaar

Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html



1 Bapak tidak pernah minta seperti ini. Sudah nggak ada yang mau mengajak bekerja, karena bapak sudah nggak bisa apa-apa. Semoga hidupmu besok jauh lebih baik dari bapak…
2 Nduk (Jawa: panggilan untuk anak perempuan), ini hari Kamis, mau puasa atau nggak? Nasinya sudah matang, minumnya sudah siap…
3 Tadi cuma dapat terima kasih, Nduk. Tapi itu ada singkong rebus, Le (Jawa: panggilan untuk anak laki-laki)
4 Badanmu pasti sudah lelah berkali-kali mengepel, Nduk. Pakaian adikmu saja dicucikan. Bapak titip baju satu.
5 Nduk, walaupun jadi orang nggak punya, jangan sampai ingin apalagi mau mengambil milik orang lain…