Laman

Selasa, 27 Desember 2011

Teriakan Syifa

"Arung jeram itu apa sih, Bah?"

“Oh, itu berarti kita naik perahu karet, trus menyusuri sungai, Nak...” jawab suamiku.

“Aku pakai helm juga?” ia bertanya dengan polosnya. Melihat abahnya sedang memakai helm.

“Iya, Syifa. Coba pakai helmnya sendiri ya, Anak pintar…” kataku sambil tersenyum.

“Kayak abah waktu naik jembatan goyang dong, Mi?”

Sekarang giliran suamiku yang senyum-senyum. Kami memang beberapa kali mengajak anak-anak ke wahana high risk. Sekedar melihat abah dan uminya beraktivitas sebagai outbounders.

Senin, 26 Desember 2011

Ara Kangen!

Sebelum Ara cerita, kenalan dulu ya. Nama Ara tuh benernya Zahra. Kata abah, waktu Ara baru lahir dulu warna Ara merah jambu seperti warna bunga mawar ummi. Kata abah, Ara cantik deh... jadinya Ara dikasih nama Zahra yang artinya bunga. Ara pingin sampe nanti Ara besar warna Ara tetep merah jambu, biar Ara jadi cantik terus.

Selasa, 25 Oktober 2011

Ayo Belajar, Nak...*


Ayo belajar dari gunung, Nak...

tampak tenang, kalem, namun terus bergelora
tampak diam, sederhana, namun luas wawasannya
tampak tidak melakukan apa-apa, namun konsisten bekerja
kokoh menjulang tinggi, sekaligus dalam menghunjam bumi

Ayo belajar dari gunung, Sayang...

sekali waktu dia mampu membuat kejutan yang mengguncang
mengingatkan, bahwa manusia masih punya Tuhan
menyadarkan, bahwa teman setia mereka adalah kesabaran
dan menginspirasi, bahwa dalam kebaikan mereka tidak sendirian

Ayo belajar dari gunung, Shalih/Shalihah...

jutaan mineral dan abu yang menyuburkan adalah cerita gunung
bahwa bersama setiap kesulitan akan ada kemudahan
seperti ayat yang tak bosan kau hafal bukan?
fa inna ma'al 'usri yusran, inna ma'al 'usri yusran

Ayo belajar dari gunung, Mujahid/Mujahidah...

setelah selesai dengan satu urusan
gunung masih tegak menjulang
bersegera memulai kembali urusan-urusan besar

Ayo sama-sama belajar dari gunung, Nak...

Gunung melakukan semua pekerjaan besarnya dengan rendah hati...
Ia rendah hati dalam ketinggiannya, sekaligus tinggi dalam kerendahan hatinya...


*untuk jundi-jundiku yang pemberani,
setahun paska erupsi Merapi

Kamis, 06 Oktober 2011

Senja Dalam Kereta


Aku bertemu dengannya senja tadi. Saat langit Kota Hujan merona berwarna jingga. Senja, biasanya adalah saat kepenatan berlabuh. Saat gelap merangkak ke jendela untuk menyejukkan mata. Dan tentu saja, saat harumnya sabun mandi dan minyak telon semerbak dari tubuh mungil santri-santriku.

Sabtu, 20 Agustus 2011

Karena Cinta Harus Diupayakan


Ini jawabanku atas pertanyaanmu, saudariku..
Ukht, ada 2 pilihan untukmu:
1. Menikah dengan orang yang kau cintai
2. Mencintai orang yang menikah denganmu
Mana yang anti pilih?”

Kamis, 04 Agustus 2011

Episode

terangkai rintih mengalir tanpa buih
melantun tasbih dalam bait-bait lirih
walau luka dibawa berlari semakin perih

bila gema telah dikirim senja
pecahlah sunyi menjadi langkah kaki
dan derap-derap kecil menyunggi kitab abadi
terbentang seperti deras kali yang harus diselam-direnangi
jika ingin sampai ke tepi

tertatih memikul tandu-tandu
melafadz takbir di antara pohon-pohon bambu
walau malu-malu, aku tak pernah ragu (an)

Kamis, 28 Juli 2011

Janji

janji adalah janji
tapi ia perlu bukti

janji adalah janji
tapi ia harus ditepati

janji adalah janji
tapi ini lebih dari sekedar janji

karena janji adalah janji
meski terjal harus didaki
meski berbatu harus ditapaki

baik di sini, maupun di sana
bahkan sampai akhir muara
kucoba mengurai simpul janji padu
dalam setiap tetes waktu:

inna sholaatii wa nusukii
wa mahyaaya wa mamaatii
lillaahi robbil ‘aalamiin
(an)

Selasa, 14 Juni 2011

Belajar Mencintai

Aku sedikit ragu untuk memulai tulisan ini. Tapi sungguh ini bukan sekedar basa-basi. Syarat membuat sesuatu menjadi berarti adalah dengan mencintainya. Bahkan syarat terakhir diterimanya syahadat pun adalah yang satu ini, al-mahabbah, cinta.

Cinta akan melahirkan proses pengenalan dan penghayatan yang lebih matang. Cinta yang menyatu dalam setiap tarikan nafas kita, yang menggerakkan tangan kita, dan yang mengarahkan langkah kita adalah energi luar biasa yang bisa membawa perubahan di dunia.

Bukan mencintai jika kita masih memikirkan untung-rugi. Bukan mencintai jika kita masih mengedepankan image dan gengsi. Misal kita bekerja keras siang malam untuk mempersiapkan masa depan. Kita berharap hasilnya luar biasa. Tapi ternyata yang kita terima dengan yang selama ini kita damba. Apakah kita rugi? Apakah kita tak perlu capek-capek bekerja keras saja, toh hasilnya tak sesuai dengan keinginan kita?

Kalau ukuran manusia, jawabannya “ya”. Tapi jika kita mengaku sudah mencintai ikhtiar kita, mencintai hidup kita, lebih-lebih mencintai Sang Penentu ikhtiar kita, Sang Pemegang hidup kita, yakinlah, tiada yang sia-sia. Asalkan, kita sudah melakukan yang terbaik yang kita bisa.

Cinta bukan tentang apa yang kita harapkan, tapi apa yang kita berikan. Dan mencintai adalah mempersembahkan kejujuran. Kita bisa bilang kalau kita mencintai keluarga. Kita bisa bilang kalau kita mencintai saudara-saudara kita. Kita bisa bilang bahwa kita mencintai aktivitas kita. Kita bisa bilang bahwa kita mencintai mimpi kita. Kita bisa bilang bahwa kita mencintai Allah dan Rasul melebihi segalanya. Kita bisa bilang apa saja.

Tapi kalau semua itu tidak dilandasi kejujuran, karena apa dan untuk apa mencintainya, kita tahu, kita berpijak pada tempat yang salah. Niatnya sendiri sudah tidak pas. Seperti seorang tokoh penulis novel di film The Bonfire of The Vanaties bernama Peter Fallow (diperankan Bruce Willis) yang berkata, “Apa untungnya bagi manusia jika bisa meraih dunia tapi kehilangan jiwanya?”

Ya, sesederhana itu. Sekarang kita ambil contoh. Tak usah jauh-jauh. Saya ingin jujur-jujuran. Sampai detik saya menuliskan ini, saya masih bercita-cita menjadi The Director of International Medical Center. Tapi, apa artinya bisa punya rumah sakit besar bertaraf internasional, tapi yang kita temui hanya kehampaan semata? Apa artinya menjadi rujukan dunia, sementara dalam hati kita sesungguhnya tahu bahwa itu sia-sia belaka? Bahwa itu semua adalah promosi kesehatan yang gaduh, soft, indah, dan ‘wah’, namun mencemaskan hati di malam-malam kita yang sepi.

Apa artinya menjadi direktur terbaik, jika kita kehilangan hal-hal paling mendasar di dalamnya? Apa artinya mendapat puluhan award internasional, jika itu tidak mendatangkan bahagia? Apa artinya jika untuk mencapai itu semua, untuk meraih satu hal bernama cita-cita, kita harus kehilangan kejujuran dan cinta?

Dua kata yang indah. Dan seharusnya tak bisa dipisah.

Sudahkah? (an)

Rabu, 08 Juni 2011

Lafadz Cinta*

langit tenang berarak

angin lembut mengoyak

wajah mungilmu tersibak


dalam tudungmu

kau menatapku

meruang dan mewaktu

lalu bibirmu bergetar merdu

melafadz bait-bait sendu


“Ya Allah, Tuhan segala manusia,

jauhkan sakitnya, sembuhkanlah ia,

Engkaulah yang menyembuhkan,

tiada kesembuhan selain kesembuhan-Mu,

kesembuhan yang tak meninggalkan sakit lagi setelahnya”


jika mampu saat itu

kuayun jemariku

menyapu butir biru

yang mengembun di bola matamu


“anak manis,

jangan menangis…”

sambil ku aamiin-i pintanya

dengan hati yang gerimis (an)

*untuk yayang, adhis, dan vira

atas do’a penuh cinta

dalam bingkai mukenanya

Rabu, 23 Maret 2011

Nostalgia Bunda

Aku masih ingat,
Ibu membujukku minum susu,
“Biar jadi pintar”, kata Ibu…

Aku masih ingat,
Ibu rapikan dasi kupu di leherku,
“Matahari kecilku mau sekolah”,
Kalimat penuh harap yang basah dengan do’a…

Aku juga masih ingat,
Ibu tersenyum bangga,
Melihat raportku yang ranking satu…

Tapi aku juga tak pernah lupa,
Ibu menangis,
Saat kubentak,
Karena tak mampu beri uang saku…

Sekarang, ijinkan kutebus air matamu,
Bukan dengan harta, karena aku tak pernah punya,
Bukan dengan lagu, karena Ibu tak paham itu,
Tapi dengan do’a, yang Ibu ajarkan kali pertama…

Bukan Allaahumma baariklanaa,
Bukan pula Allaahumma ahyaa,
Melainkan yang akan jadi penyambung pahala,
Ketika Ibu tlah tiada…

Ya Tuhanku, ampunilah aku,
Dan kedua orang tuaku,
Dan sayangilah mereka,
Sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil…
(an)


Terinspirasi setelah sayup-sayup dengar Kasih Sayang dari Missile.

Rabu, 16 Maret 2011

Saat Harus Menulis (Lagi)


Kita tahu, banyak hal baik dalam hidup ini. Dan kita juga tahu persis, seberapa besar manfaatnya jika hal baik itu dilakukan. Tapi kadang, hal baik itu tak juga kita kerjakan. Atau kita tunda sementara sampai ada kesempatan. Atau kita kerjakan sebentar, lalu terhenti karena kesibukan. Atau sama sekali tidak kita kerjakan dengan banyak alasan.

Misalnya: sholat awal waktu jamaah di masjid, puasa Senin Kamis, shodaqoh, olahraga rutin, baca buku, dan lain sebagainya. Oh ya, satu lagi: MENULIS. Itu semua adalah hal-hal baik, yang kadang kita tidak bersegera melakukannya.

Kita ambil contoh spesifik lagi: menulis. Sejak ada twitter dan facebook, rasanya banyak waktu yang tersita untuk dua hal itu. Apalagi dengan adanya mobile web atau gadget yang makin memudahkan untuk akses online. Karena makin mudah, jadi makin sering juga aksesnya.

Aku kok jadi mengamati, ada kecenderungan yang entah, bisa jadi kelemahan atau kekuatan. Obrolan di akun buatan Jack Dorsey dan status di jejaring sosial rintisan Mark Zuckerberg ini, menghasilkan respon atas pemikiran kita yang pendek, 140 karakter. Pendek betul kan? Lebih singkat dari teknologi short message service yang sampai 160 karakter. Dan sering kali, respon interaktif itu yang membuat kita asyik. Bikin kita larut untuk merangkum pemikiran atau ide yang singkat dan padat. Dan lama kelamaan, ini mulai menjadi hijab yang menghalangi kita untuk mau menggali lebih dalam, sedikit saja. Lalu menuangkannya jadi ide yang utuh. Menjadi sebuah tulisan yang matang.

Sirine di kepalaku terus berdenging, bahkan lama-lama meraung. Mengingatkan bahwa cara-cara yang singkat dan rame lewat ngetwit dan update status itu, tak akan mampu sepenuhnya mengajak follower dan friend list kita untuk merenung dan menyisipkan makna yang lebih mendalam. Nah, di situlah peran tulisan yang tak bisa tergantikan.

Bahkan kalau kita mau lebih khusyuk lagi untuk berkomunikasi dengan hati, buku-buku fisik (yang bentuknya kertas jilid) lebih bisa menjaga kedekatan komunikasi maupun emosi antara penulis dan pembaca. Karena ia akan bebas gangguan dari membuka situs lain pada waktu yang sama.

Pagi ini, kesadaran untuk memulai hal-hal baik itu menyeruak. Aku tak merasa terbebani harus menulis, karena menulis bukan suatu beban. Tidak ada yang marah ketika aku tidak menulis. Walaupun memang ada yang sering mengingatkan saat aku tak menghasilkan tulisan baru berminggu-minggu. Jadi, bukan kewajiban yang mendorongku untuk menari di atas tuts keyboard lagi. Tapi kesadaran untuk membongkar hijab itu. Mensinergikan kejernihan berpikir, kedalaman menggali, kesungguhan berbagi, dan kedekatan berinteraksi.

Anggaplah twitter dan facebook itu jembatan agar lebih banyak orang membaca tulisan kita. Tapi kualitas tulisan dan kematangan penyampaian lah yang akan membuat orang lain mau berlama-lama membaca tulisan kita, bahkan menanti-nanti tulisan kita di esok lusa.

Hal-hal yang baik itu jangan ditunda. Pun jangan mak brek memulainya, apalagi jika belum biasa. Nanti justru terasa berat dan kita mudah kehilangan semangat. Sedikit demi sedikit saja, yang penting kontinyu melakukannya. Itu akan membuat kita lebih merasa enjoy menjalaninya, dan makin bersemangat setiap kembali memulainya.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah akan mengajari kita. Bagaimana beliau memiliki kemampuan jauh melampaui teman sebayanya. Apa prosesnya singkat? TIDAK. Beliau mulai sejak belia. Karena beliau lahir pada zaman ketika ilmu sedang jaya dan para ulama pun masih hidup.

Beliau telah mendengar hadits dari asy-Syihab an-Nablisiy, al-Qadli Taqiyuddin bin Sulaiman, Abu Bakr bin Abdid Da’im, Isa al-Muth’im, Isma’il bin Maktum dan lain-lain. Beliau juga belajar ilmu faraid dari bapaknya karena beliau sangat menonjol dalam ilmu itu.

Belajar bahasa Arab dari Ibnu Abi al-Fath al-Baththiy dengan membaca kitab-kitab al-Mulakhkhas li Abil Balqa’, lalu kitab al-Jurjaniyah, kemudian Alfiyah Ibnu Malik, juga sebagian besar Kitab al-kafiyah was Syafiyah dan sebagian at-Tas-hil. Di samping itu belajar dari syaikh Majduddin at-Tunisi satu bagian dari kitab al-Muqarrib li Ibni Ushfur.

Belajar ilmu Ushul dari Syaikh Shafiyuddin al-Hindi, ilmu Fiqih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Isma’il bin Muhammad al-Harraniy. Pada akhirnya, beliau benar-benar bermulazamah secara total (berguru secara intensif) kepada Ibnu Taimiyah. Sejak kembalinya Ibnu Taimiyah dari Mesir tahun 712 H, hingga wafatnya tahun 728 H. Pada masa itu, Ibnul Qayyim sedang pada awal masa-masa mudanya. Beliau sempat betul-betul mereguk sumber mata ilmunya yang luas. Beliau dengarkan pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah yang penuh kematangan.

Prosesnya selalu lancar? Juga TIDAK. Ibnul Qayyim pernah dipenjara. Bahkan dihina dan diarak berkeliling bersama Ibnu Taimiyah, sambil didera dengan cambuk di atas seekor unta. Setelah Ibnu Taimiyah wafat, Ibnul Qayyim pun dilepaskan dari penjara.

Hasilnya? Penguasaan beliau terhadap ilmu tafsir luar biasa. Pemahaman beliau terhadap ushuluddin mencapai puncaknya. Dan keilmuannya mengenai hadits, makna, pemahaman serta istinbath-istinbath rumitnya, sulit ditemukan tandingannya. Begitu pula pengetahuan tentang ilmu suluk dan ilmu kalam-nya. Beliau juga bisa menguasai kitab-kitab salaf maupun khalaf. Sementara orang lain hanya mampu menguasai sepersepuluhnya. Beliau sangat senang mengumpulkan berbagai kitab. Maka tak heran, Imam Ibnul Qayyim mewariskan banyak kitab-kitab berbobot.

Ibnul Qayyim telah menulis banyak hal dengan tulisan tangannya yang indah. Salah satu karya fenomenal Ibnul Qayyim adalah Raudhatul Muhibbin, Taman Orang-orang Jatuh Cinta. Beliau juga menulis dalam berbagai cabang ilmu dengan gaya yang khas: ilmiah lagi meyakinkan, menggunakan bahasa yang menarik, sekaligus mengandung kedalaman pemikiran. Allahu Akbar!!!

Sekarang waktunya. Perdalam wawasan kita, matangkan tulisan kita, lalu bagi pengetahuan kita. Dan pada akhirnya, pertanggungjawabkan keilmuan kita. Bukan karena harus, tapi karena kita bahagia melakukannya. Karena sungguh, dengan pena kita bisa mengubah dunia. Berat? TENTU SAJA! Tapi itulah surga. Layak diperjuangkan adanya… (an)

***

Referensi:
Mohammad Fauzil Adhim. 2004. Dunia Kata. Bandung: DAR! Mizan.
Majalah as-Sunnah, 06/I/1414-1993

Catatan:
Mendalami buku Dunia Kata, khususnya bagian Tak Pernah Berhenti Belajar, yang bisa dibaca selengkapnya pada halaman 95-103. Juga bagian Karya-Karya Berpengaruh, halaman 138-148.

Dalam majalah as-Sunnah, kisah Ibnul Qayyim Al-Jauziyah tersebut diterjemahkan oleh Ahmad Faiz Asifuddin. Diambil dari Majalah al-Mujahid no. 12 Th. I, Rabi’uts Tsani 1410 H halaman 30-33, tulisan Hudzaifah Muhammad al-Missri.

Selasa, 15 Maret 2011

Meniti Ke Dasar Hati


"Aku ingin mengerti waktu karena aku ingin mendekati Tuhan."

Kata-kata itu terlontar dari mulut Albert Einsten. Besso, sahabat yang selalu menyediakan waktunya untuk mendengar ide-ide Einsten, hanya bisa terperangah kaget mendengar ungkapan hati sahabatnya itu. Ia selalu terpesona oleh ambisi-ambisi Einsten. Dalam usianya yang ke-26 saja, Einsten sudah meraih gelar Ph.D, dengan satu tulisan ilmiah tentang photon dan satu tulisan tentang gerak Browni.

Proyek baru yang sedang dikerjakan oleh Einsten kini adalah konsepsi tentang relativitas waktu. Besso sama sekali tak pernah menduga bahwa dibalik apa yang selama ini telah diraih oleh sahabatnya, ternyata Einsten masih menyimpan satu pencarian batin, yang ia tahu takkan pernah bisa dipecahkan secara empiris oleh sahabatnya.

Keheningan menyelimuti kedua sahabat itu. Besso tidak tahu harus bagaimana menanggapi ungkapan hati sahabatnya. Besso hanya bisa berpaling ke arah bawah jembatan tempat mereka berada. Ia memandangi perahu berwarna keperakan dalam kemilau matahari senja di sungai Aare. Namun, raut kerinduan untuk mendekati Tuhan di wajah Einsten membuyarkan pemandangan indah senja itu. Besso merasa ganjil. Bagaimana mungkin orang yang selama ini terbiasa menyendiri dan sangat tertutup seperti Einsten memiliki kerinduan untuk mendekati Tuhan?

***

Setting cerita kita berpindah. Dari pemandangan dua orang sahabat pada suatu senja di jembatan sungai Aare, Jerman, ke suatu siang di tanah pertanian seluas 35 hektar di Berrien Springs, Michigan, puluhan tahun kemudian.

***

Hari itu tanggal 11 September 2001. Muhammad Ali, sang petinju legendaris dan pemilik tanah pertanian tersebut sedang duduk di halaman rumahnya, menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan seorang wartawan dari salah satu majalah beroplah tertinggi di dunia. Runtuhnya WTC dan dituduhnya teroris muslim yang terlibat dalam aksi tersebut, membuat Muhammad Ali menerima begitu banyak tawaran wawancara. Pendapatnya sebagai seorang muslim tiba-tiba menjadi begitu penting dalam menanggapi kejadian itu.

RD : "Orang-orang muslim dituduh bertanggung jawab dalam penyerangan ke WTC pagi ini, bagaimana pendapat anda?"

Ali : "Saya marah karena orang-orang menuduh Islam yang menyebabkan kehancuran yang disebabkan oleh fanatik rasis ini. Pelakunya bukan orang-orang muslim, karena Islam adalah agama yang mencintai kedamaian. Islam sama sekali tidak mengajarkan terorisme ataupun membunuh orang."

RD : "Bagaimana anda menjalani hidup sebagai seorang muslim di Amerika? Apa artinya keyakinan tersebut bagi anda?"

Ali : "Menjalani kehidupan sebagai seorang muslim di Amerika tidaklah mudah. Pertama kali saya mengumumkan keislaman saya, orang-orang berfikir itu adalah sesuatu yang lucu. Saya mengerti mereka berpendapat demikian karena perubahan drastis yang saya lakukan terhadap hidup saya.

Namun, Islam bagi saya adalah sebuah tiket ke surga. Kita semua akan mati dan akan ada hari pembalasan. Adanya hari pembalasan tersebut dan keyakinan bahwa Tuhan selalu mengawasi apapun yang saya lakukan membuat saya lebih berhati-hati dalam melangkah dan memperlakukan orang lain. Saya selalu membawa sebungkus korek api kemanapun saya pergi. Setiap kali saya terdorong untuk melakukan hal-hal yang tidak sepantasnya menurut keyakinan agama saya, saya menyalakan korek api tersebut dan merasakan panasnya api korek tersebut di jari-jari saya sampai saya kesakitan. Setelah itu, saya meyakinkan diri saya bahwa api neraka lebih panas daripada apa yang baru saya rasakan dan sifatnya abadi. Sayapun urung melakukan perbuatan dosa yang akan saya lakukan."

***

Coba kita cermati. Dua cerita di atas, walaupun memiliki setting, waktu, pelaku, bahkan alur yang berbeda, tetapi memiliki sebuah persamaan. Para pelaku dari dua cerita di atas memiliki suatu motor penggerak di dalam hati mereka masing-masing, yang mendorong mereka untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan hati nurani. Masing-masing dari mereka, Einsten dan Ali, menciptakan suatu karya fenomenal dan melakukan suatu perubahan yang mengejutkan, karena suatu alasan yang mereka anggap layak dan tepat.

Albert Einsten, bisa melahirkan Teori Relativitas, suatu karya fenomenal yang membuatnya tetap dikenang hingga kini, karena dorongan hatinya untuk lebih mengenal dan mendekat pada Tuhan. Alasan ini cukup menyentuh, mengingat Einsten adalah seorang Yahudi. Tapi, tidak banyak yang tahu alasan utama dibalik keberhasilan Einsten dan Teori Relativitasnya. Hanya Allah Yang Maha Tahu. Dan hanya Allah juga lah yang mampu mengetahui apakah Einstein berhasil menemukan pencarian batinnya tersebut sebelum ia meninggal dunia. Bukankah hanya Allah yang kuasa untuk membolak-balikkan hati manusia? Dia akan memberikan hidayah-Nya hanya pada orang-orang yang Dia anggap layak untuk menerima hidayah tersebut.

Muhammad Ali, bermetamorfosa dari seorang Cassius Clay yang identik dengan dunia glamour dan penuh kesenangan yang bersifat duniawi menjadi seorang muslim yang survive di negara dimana hedonisme berkiblat, Amerika. Dan kemudian melakukan perubahan yang luar biasa terhadap kehidupannya karena suatu alasan yang kuat. Ali berubah karena ia yakin telah menemukan kebenaran hakiki, yaitu Islam, yang membawanya menemukan kedamaian. Ali dan korek api yang selalu ia bawa kemanapun pergi, cukup menggambarkan pada kita bagaimana keyakinannya terhadap keberadaan Allah dan adanya hari pembalasan.

Semoga kita bisa bercermin sejenak dari dua kisah di atas. Kemudian mencoba menata lagi rencana-rencana yang sudah kita buat untuk memanfaatkan jatah hidup kita di dunia. Jangan pernah merasa enggan untuk bercermin dan mencoba berkata jujur kepada diri kita masing-masing. Bukankah filosofi Ibnu Sina mengajarkan pada kita agar menggunakan pendekatan banyak arah untuk mencapai kebenaran? Jadi, kenapa kita masih saja suka mempertahankan filosofi ‘kacamata kuda’ Rene Descartes yang berpandangan satu arah?

Coba tengok sebentar, apa yang selama ini memotivasi untuk melakukan segala aktivitas kita adalah murni karena Allah ta’ala? Atau kita memberi kavling yang lebih luas terhadap popularitas, gengsi, materi dan segala sesuatu selain Allah untuk menempati hati kita dan menjadi motor penggerak kehidupan kita? Hanya kita yang bisa menjawabnya. Lihatlah sekali lagi ke dasar hati. Temukan jawabannya, lalu luruskan niat kita.

Karena sungguh Kawan, seperti hadits pertama di Kitab Arba’in yang Imam Nawawi tuliskan, seseorang hanya akan sampai pada apa yang ia niatkan… (an)

kisah diambil dari http://eramuslim.com

Sabtu, 19 Februari 2011

Pemimpin Hebat Dambaan Ummat



Kita diciptakan Allah ke bumi dengan dua misi. Selain menjadi hamba-Nya, juga menjadi khalifah fil ardhi. Pemimpin di muka bumi! Bukan misi yang main-main ini...

Kata Rasul, “Setiap kamu adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya…”

Nah lo, Rasul bilang ‘setiap kamu’ lho! Bukan ibumu, bukan ayahmu, bukan gurumu, bukan temanmu. Tapi setiap kamu! Ya, masing-masing kita. Jadi harap diperhatikan benar-benar buat yang merasa jadi pemimpin atau pingin jadi pemimpin. Baik pemimpin negara, pemimpin perusahaan, pemimpin rumah sakit (ehm!), pemimpin keluarga, atau pemimpin apapun, semua akan dimintai pertanggungjawaban. Juga penulis, termasuk koordinator magang. Hehehe…

Allah akan minta tanggung jawab. Bukan jawab tanpa tanggung. So, agar tanggung jawab mudah didapat, ini dia, lima syarat menjadi pemimpin hebat dambaan setiap ummat:

Pertama, ummat mendambakan pemimpin yang luhur. Yang bisa jadi teladan. Imannya baik, ilmunya baik, akhlaqnya juga baik…

Kedua, ummat mendambakan pemimpin yang isa tutur. Yang bisa bicara pada tempatnya. Allah saja sudah mengajarkan kita bagaimana caranya. Misalnya, qaulan kariima ketika bicara dengan orang tua. Qaulan maysura ketika bicara dengan orang banyak. Qaulan ma’ruufa ketika bicara tentang kebaikan. Dan masih banyak qaulan-qaulan lainnya dalam Al Quran…

Ketiga, ummat mendambakan pemimpin yang isa ngatur. Yang bisa mengatur. Bukan kah calon pemimpin itu harus bisa mengatur? Tapi yang paling penting, sebelum memimpin orang lain, kita harus bisa memimpin diri sendiri. Sebelum mengatur orang lain, kita harus bisa mengatur diri sendiri.

Keempat, ummat mendambakan pemimpin yang isa sembur. Yang bisa mengingatkan. jika ada yang salah atau khilaf, kita nggak boleh tinggal diam. Tentunya dengan akhlaq seorang muslim: tawaa shoubilhaqq, wa tawaa shoubishshobr, wa tawaa shoubil marhamah…

Dan kelima, ummat mendambakan pemimpin yang isa wur. Yang bisa berbagi. Apa yang dibagi? Ya apa aja yang kita punya dan kita bisa membaginya untuk kemashlahatan bersama. Ilmu kita, perhatian kita, pemikiran kita, waktu kita, bahkan kalau bisa sampai harta kita…

Gimana, sudah siap jadi pemimpin hebat dambaan setiap ummat? Kalau jawabannya siap, selamat! Selamat menjadi juara di dunia, dan di akhirat semoga beroleh surga… :)

Sabtu, 12 Februari 2011

Tak Pernah Berhenti Belajar


Menulis bukan sekedar bermain kata-kata. Kalimat yang indah bisa sangat membosankan kalau nggak punya makna yang kuat. Jumud juga bisa muncul jika karya nggak menawarkan sesuatu yang baru, cuma itu-itu melulu. Penulis best seller pun lama-lama bisa ditinggalkan kalau hanya mengandalkan ‘nama besar’ tanpa mengimbanginya dengan terus belajar.

Apa yang perlu kita pelajari?

1. Ilmu spiritual. Ilmu yang jadi basic, yang akan menguatkan ruh. Ingat, kata adalah cerminan hati. Kalau ingin menghasilkan tulisan yang memberi pencerahan, kualitas ruhaniyah juga harus kita perhatikan.

2. Ilmu yang berkaitan dengan apa yang kita tulis. Meski punya motivasi dan komitmen tinggi (yang di dapat dari nomor 1), tapi tanpa pengetahuan yang memadai, tulisan kita hanya jadi tulisan dangkal dan mboseni.

Habiburrahman El-Shirazy, novelis yang sangat fenomenal itu, harus merujuk sembilan kitab ‘hanya’ untuk menuliskan satu bagian di Ayat-Ayat Cinta! Dia tidak bisa sembarangan menuliskan Fahri dijenguk sahabat Nabi tanpa dasar ilmu yang mumpuni. Sampai-sampai beginilah Ahmad Tohari mengomentari karyanya, “Tak berlebihan bila disebut Novel Pembangun Jiwa!”

3. Ilmu tentang kepenulisan. Termasuk psikologi komunikasi. Agar yang kita tulis efektif, hidup, menyentuh, dan menggerakkan. Siapa yang mau kita ajak bicara lewat tulisan kita, cara penyampaiannya juga beda-beda. Anak-anak, remaja, ibu-ibu, bapak-bapak, orang awam, atau siapa?

Kenal Bang Joni Ariadinata? Awalnya beliau hanya tukang becak yang biasa mangkal di jantung kota Jogja. Tapi, tinju seorang gali yang mendarat di mulutnya, mengubah beliau menjadi penulis dan pembicara sastra yang disegani seantero nusantara. Kok bisa? Beliau mengubah “tidak bisa” menjadi “luar biasa”. Juga mengubah “impossible” menjadi “I’m possible”. Dengan apa? Terus belajar! Seperti yang sering Bang Joni bilang: membaca, membaca, membaca. Menulis, menulis, menulis.

“Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat.” (Hadits)