Laman

Rabu, 29 Februari 2012

(Bukan) Negeri Kemarin Sore

Aku tak henti berdecak ketika menapak di Brussel kali pertama. Di jantung kota ini berdiri kokoh kantor Uni Eropa yang berwibawa. Sebuah lambang kegagahan bangsa-bangsa Eropa. Arsitektur dasarnya mirip kuburan saudagar Tionghoa yang kaya raya. Tinggi, melengkung ke dalam, seperti tubuh yang ingin memeluk. Maksud desain itu bukan soal estetika semata. Lengkung yang merengkuh 27 bendera negara anggotanya di taman berlantai granit itu adalah rancangan untuk berlindung dari guncangan bom.

Di bangunan luar biasa dengan security berlapis-lapis itulah aku mengurus administrasi beasiswa magisterku. Setelah itu barulah aku pergi ke gedung pusat Institute of Tropical Medicine (ITM), yang juga ada di Brussel. Setelah semua administrasi beres, aku kembali ke Antwerp, kota di mana aku akan tinggal dan belajar. Ya, ITM di Antwerp, tempatku mempelajari ilmu dan memperjuangkan gelar Master of Public Health dengan konsentrasi Kebijakan dan Manajemen Sistem Kesehatan. Ada waktu sepekan untuk menyelesaikan term of reference risetku, terhitung sejak menyelesaikan administrasi.

Aku bekerja keras untuk menyusun term of reference. Beberapa kali harus ke kampus ITM di Antwerp, juga ke gedung pusat di Brussel menemui guru besar pembimbingku. Kalau ada sedikit waktu, aku akan menghambur ke Larue de L’etuve, melihat patung bocah lucu yang sedang pipis: manekken pis, ikon pariwisata Belgia. Belum ke Belgia kalau belum melihat pahatan Jerome Duquesnoy tahun 1619 ini: patung anak kecil gembrot yang tingginya hanya sekitar setengah meter.

Brussel adalah kota tua yang indah, perpaduan antara cita rasa Belanda yang fungsional dan Perancis yang berseni. Belgiapun juga menggunakan dua bahasa ini: Belanda dan Perancis. Palais Des Beaux Arts dan pusat jajan yang ditata artistik di sekelilingnya membuktikan bahwa kaki lima tak harus kumuh, apalagi mengganggu. Semua itu cukup menjadi penawar lelah atas kerja keras Antwerp-Brussel beberapa hari. Dan kerja keras itu berbuah! Hari keenam, TOR risetku selesai. Artinya, aku masih punya waktu sehari. Aku ingin jalan-jalan. Sebelum akhirnya disibukkan selama 42 pekan dengan 60 ECTS (mirip SKS di Indonesia).

Sejak duduk di bangku sekolah dasar, aku telah lama mendengar istilah Benelux. Walikelas sekaligus guru IPS-ku berkata, Benelux itu sebuah komunitas tiga negara di Eropa Barat. Belgium, Netherlands, dan Luxembourg. Di sekolah menengah pertama, aku baru tahu, selain persoalan budaya dan ekonomi, salah satu yang menyatukan mereka adalah geografis. Ketiganya berdekatan satu sama lain. Dan bi idznillah aku bisa menginjakkan kakiku di benua ini sekarang. Ya, sekarang, belasan tahun setelah pertama kali mendengar istilahnya.

Berhubung letaknya dekat, sayang rasanya jika sudah berada di Belgia, tapi tidak mengunjungi dua sahabatnya, Netherlands (Belanda) dan Luxembourg. Aku sudah pernah ke Belanda, belajar pada beberapa orang huisart (dokter keluarga), sesaat sesudah aku mengambil sumpah profesi. Jadi, mungkin Luxembourg adalah pilihan yang tepat untuk kunjungan kali ini.

Aku tak memiliki tour guide. Google Maps tentu saja menjadi andalan pertamaku merencanakan perjalanan. Kutemukan bahwa jarak antara Antwerp dan Luxemboug, jika mengikuti jalur darat adalah sekitar 260 kilometer. Perjalanan bisa ditempuh sekitar empat jam dengan kereta. Tidak terlalu lama untuk ukuran perjalanan lintas negara. Akupun mulai melakukan riset kecil untuk mendapatkan tiket kereta murah. Pilihannya ada beberapa, dan aku memutuskan untuk menggunakan kereta nasional Belgia (NMBS), seperti yang kemarin kugunakan untuk pergi ke Brussel. Harga tiket PP ‘hanya’ 41 Euro. Lagi-lagi, ini harga yang sangat menarik untuk sebuah perjalanan internasional.

Keretaku sudah melaju dari Antwerp Central pukul 5.17 subuh. Meninggalkan stasiun beratap setengah lingkaran memanjang. Rangka atapnya merah menyala di ketinggian. Hari masih gelap. Musim gugur di belahan bumi utara ditandai dengan malam yang panjang. Dan tentu saja cuaca yang dingin. Demi mewujukan mimpi menjelajah Eropa, apalah artinya perjuangan pergi pagi dan melawan dingin? Karena Yasmine, satu-satunya kawan satu apartemenku yang muslim, masih sibuk menyelesaikan tugasnya di laboratorium epidemiologi, maka aku berangkat sendiri pagi ini. Suasana jadi semakin dingin dan sepi.

Pukul sembilan lebih sedikit, aku tiba di sebuah negeri asing: Luxembourg. Stasiun bawah tanah dengan dinding bebatuan yang ditata vertikal seperti ubin. Atapnya lebih mirip tatanan batu bata, hanya saja berwarna putih gading.

Aku berjalan menaiki tangga. Mendung yang menggantung di langit Luxembourg, bumi yang basah akibat hujan, ratusan manusia yang tidak tersenyum, dan pakaian mereka yang tebal tertutup, membuat suasana jadi mencekam. Kuedarkan pandangan di sekitar stasiun kereta Luxembourg. Suasananya jauh dari bersahabat. Pagi ini jauh dari keramahan, senyum, dan kelakar orang-orang. Semua berjuang menghadapi alam yang (sepertinya) bagi banyak orang sedang tidak bersahabat. Benar kata teman-teman, alam bisa mengubah perilaku manusia. Standar kesopanan dan keramahan jadi sangat berbeda ketika alamnya berbeda. Tidak aneh kalau di negara tropis seperti Indonesia, manusianya bisa mengumbar senyum dengan cuma-cuma selama 7 hari seminggu dan 365 hari dalam setahun. Lha cuacanya hangat setiap saat.

Terus terang aku memang tidak mempersiapkan kunjungan ini dengan matang. Aku akan mengandalkan panduan dari Luxembourg City Tourism Office (LCTO), seperti yang kutemukan di internet. Kantornya berada di stasiun kereta, tapi baru buka pukul 9.30. Aku memutuskan untuk sarapan terlebih dahulu: secangkir hot chocolate dan sepotong waffle, 3 euro. Terhitung murah untuk sebuah sarapan nikmat di Luxembourg.

Setelah sarapan, aku menuju ke kantor LCTO. Seorang perempuan 40an tahun nampak masih sibuk menata beberapa barang di mejanya. Kantor baru saja dibuka. Aku tidak melihat petugas lain, sehingga terpaksa harus menunggu perempuan itu menyelesaikan kesibukannya.

“Good morning”, sapaku.

“Good morning”, jawabnya tanpa menghentikan kesibukan sama sekali. Dia juga tidak menoleh padaku. Wah, ini bukan kesan terbaik yang bisa ditampilkan oleh seorang perempuan yang bekerja di kantor pariwisata. Baiklah, aku maklumi. Standar kesopanan dan keramahan, sekali lagi, memang berbeda. Tentu saja aku tak bisa membandingkan ia dengan seorang front office hotel di Jogja yang keramahannya membius luar biasa. Ini Luxembourg. Dan bagi penduduk Luxembourg, ini adalah akhir musim gugur yang menyiksa. Aku mengerti.

“I have only seven hours here, could you please suggest something for me to do?”

Dia menuju ke arahku dan menjawab cepat, “Yes, of course. Here is a city map for walk tour, this one is list of attractions, and these are museums you can visit” sambil memberikan tiga barang cetakan dengan cepat dan tanpa senyum. Cepat, lugas dan professional. Hanya saja tanpa senyum.

Tadinya aku berharap bisa mendapat penjelasan lebih rinci. Tapi ternyata, aku tidak bisa berharap banyak. Panggilan jiwa petualangku jadi sedikit naik. Dan akibatnya, naluri survival -ku mengemuka. I can do it, kataku dalam hati.

Aku mencari titik penting di peta itu: stasiun kereta tempatku berdiri sekarang ini. Tidak sulit menemukannya. Dari situ kupelajari arah perjalanan menuju kota dalam peta walk tour yang diberikan perempuan tadi. Ternyata hanya beberapa blok saja. Kutentukan arah utara dengan kompas. Dan tak lama kemudian sudah berjalan menyusuri jalur yang direkomendasikan. Aku melihat dalam peta itu, ada jalur merah putus-putus dan ada jalur merah utuh, tidak putus-putus. Masing-masing mewakili tour singkat (40 menit) dan tour yang lebih panjang (2 jam 45 menit). Keduanya ditempuh dengan berjalan kaki. Dan akupun memilih jalur tour yang panjang.

Jika mau sedikit bersabar dan sungguh-sungguh mempelajari, peta ini sudah sedemikian lengkapnya. Mudah dipahami dan bisa diikuti tanpa guide sama sekali. Di sepanjang jalur akan terdapat angka-angka yang menunjukkan tempat penting. Di bagian lain dari peta, ada keterangan dan gambar untuk masing-masing angka tersebut. Rasanya guide pun tidak akan menjelaskan lebih lengkap dari brosur ini. Atau katakanlah, saat ini aku tidak memerlukan informasi jauh lebih lengkap dari apa yang sudah ada dalam brosur. Mudah sekali bukan? Apalagi sebelumnya aku sudah sempat sekilas melihat Urban Information System kota Luxembourg yang sangat lengkap dan interaktif. Dengan mengingat penjelajahan maya itu dan sekarang berada di kotanya, aku mendapat pemahaman yang lebih komprehensif. Aku tidak akan mengalami kesulitan berarti, Insya Allah.

Kususuri sebuah sungai yang ditata sangat asri dengan pepohonan di pinggirnya yang berdaun warna-warni dominan kuning dan merah. Daun-daun itu berjatuhan diterpa angin, berserakan di bantaran sungai atau di jalan setapak sepanjang sungai. Sejenak aku terpana menyaksikan keindahan alam ini. Aku seperti berada di negeri dongeng yang hanya kulihat di TV atau kubaca di buku. Negeri seperti ini benar-benar ada, dan keindahan ini adalah kenyataan sehari-hari. Orang-orang yang tinggal di rumah-rumah khas eropa yang kecil dan tinggi di sekitarnya, mungkin tidak merasakan bahwa kenyataan ini adalah keindahan. Seperti anak desa yang terkaget-kaget melihat busway, maka orang kota mungkin heran melihat belibis.

Selepas sungai kususuri pemukiman tua dengan jalan batu yang disusun seperti ubin. Tembok-temboknya tinggi dan tua, bangunannya berdiri di landscape yang berbukit-bukit. Gedung itu berpadu cantik dengan tebing-tebing yang kokoh perkasa, juga gapura-gapura yang besar tinggi dan tua. Di suatu ketinggian aku berhenti, memandang ke bawah. Terlihat rumah-rumah tua berwibawa diselimuti kabut tipis di bawah sana. Di sela-selanya menyembul pohon dengan daun berwarna-warni. Di sudut lainnya terlihat jembatan angker berwibawa dengan kolom-kolom berbentuk lengkungan yang mempesona. Kolom itu tinggi karena jembatannya menghubungkan dua titik, membelah lembah yang dalam dan lebar. Rupanya topografi alam yang sedemikian rupa telah memaksa manusia untuk membangun infrastruktur dengan cara di luar kelaziman yang kutahu. Semua itu menghasilkan bentuk-bentuk penanda peradaban yang megah, besar dan indah. Usianya yang tidak lagi muda menunjukkan kemapanan peradaban. Luxembourg memang bukan negeri kemarin sore.

Aku terus berjalan melintasi arah sesuai dengan petunjuk peta. Kini aku berada di bawah, menyusuri lembah yang ditumbuhi pepohonan lebat. Daun-daunnya pun berwarna warni. Aku berjalan di sebuah belantara penuh serakan keindahan daun gugur. Daun dari dahan-dahan yang bergegas menyambut musim dingin. Di tengah kesunyian itu ada kursi-kursi untuk duduk, menciptakan sebuah suasana kontemplatif yang juga romantis. Kusempatkan diri duduk-duduk di bangku kayu tua itu, menghirup segarnya udara musim gugur yang sepertinya terbebas dari polusi. Sungai dengan aliran air yang tidak besar melintas membisikkan gemercik yang menenangkan. Airnya bening, memantulkan bayangan pepohonan yang berwarna-warni. Aku tenggelam dalam dekapan alam yang memanjakan. Keinginan untuk dekat dengan alam menjadi semakin kuat.

Selepas belantara, kutemui gedung-gedung tua, saksi sejarah peradaban Luxembourg. Ada patung yang besar dan tinggi, juga gedung-gedung yang berwibawa. Semua itu dipadu dengan pepohonan yang cantik layaknya pelangi. Pagi menjelang siang itu adalah sebuah pengembaraan yang mengesankan. Entah bagaimana penduduk Luxembourg merasakannya, tapi bagiku, Luxembourg yang kecil menawarkan sebuah kenyataan kedekatan manusia dengan alam yang erat bersahaja. Sementara itu di sudut lainnya berdiri gedung-gedung modern berkaca dan bertiang baja. Paduan ganjil ini menambah keindahan menjadi unik sempurna.

Perjalanan yang lebih dari dua jam itu tidak melelahkan sama sekali. Aku telah menjelajahi setiap sudut kota yang direkomendasikan oleh peta ‘walk tour’ di brosur itu. Tak terasa, sudah tengah hari. Artinya, aku harus mencari tempat untuk sholat dhuhur dan makan. Akhirnya, aku kembali ke titik tempatku memulai perjalanan, Avenue de la Gare, tidak jauh dari stasiun kereta.

Sebelum memasuki sebuah restoran, lebih dulu aku mencari tempat yang jelas status halalnya. Jika wisatawan lain memilih restoran berdasarkan menu, bagiku yang terpenting adalah halal. Menu urusan nomor dua. Lagipula, aku memang tidak bisa berharap banyak soal menu makanan di negeri yang tidak kukenal ini.

Ternyata ada! Restoran itu adalah restoran India. Kukira lumayan dekat dengan selera sehingga tak akan ada masalah. Akupun memesan hidangan daging sapi dengan nasi dan salad. Saat menunggu, kusempatkan menelpon keluarga, yang jauh di seberang sana. Kuceritakan keindahan alam itu dan keunikan manusianya kepada suami dan anak-anak. Mereka, terlebih anak-anak, menyambut dengan antusias. Mendengar cerita dari negeri yang belum pernah mereka kunjungi, selalu menyenangkan dan membuat mereka bersemangat. Lebih utama lagi, karena yang menceritakan adalah ibunya sendiri, melalui laporan pandangan mata. Banyak yang bisa dilakukan seseorang untuk membahagiakan keluarganya. Dan berbagi cerita adalah salah satu yang bagiku selalu istimewa.

Kuhabiskan waktu hampir dua jam di restoran yang kebetulan tidak terlalu ramai itu. Aku mengambil tempat duduk di sudut yang tidak menyolok, sehingga aku seperti invisible, lepas dari perhatian orang-orang. Kumanfaatkan fasilitas WiFi restoran ini untuk mengetahui kabar negeriku, Indonesia. Tanah air beta, begitu sebuah lagu menyebutnya. Ya, tanah air kian hari kian tua saja.

Setelah itu kulanjutkan perjalanan menuju sisi lain dari kota Luxembourg. Masih dengan berjalan kaki. Kini aku mengambil jalur yang tidak direkomendasikan pada peta walk tour itu. Aku hanya ingin melihat perbedaan antara tempat yang direkomendasikan dengan yang tidak. Ternyata sama-sama menyimpan keindahan. Keindahan memang relatif sifatnya. Apa yang indah menurut pemberi rekomendasi belum tentu indah menurut para tamu, demikian pula sebaliknya.

Hari telah menunjukkan pukul 3 lebih ketika aku menyusuri Avenue de la Liberte, jalan utama di Luxembourg. Di tepi jalan aku melihat gedung-gedung dengan ukiran dan relief khas Eropa yang anggun berwibawa. Beberapa di antaranya adalah gedung pemerintahan. Sedangkan beberapa lainnya adalah pusat aktivitas ekonomi. Avenue de la Liberte ini adalah salah satu jalan di Luxembourg yang paling lebar dan cukup ramai, meskipun tidak sampai macet.

Ada satu yang harus kulakukan sebelum meninggalkan negeri ini, membeli oleh-oleh. Karena Yasmine suka sekali mengoleksi tempelan magnet kulkas dari berbagai negara, akupun mencari-cari tempat untuk membelinya. Kutemukan sebuah toko yang memajang ratusan kartu pos dalam sebuah etalase yang berbentuk tabung melingkar. Aku memasuki toko tersebut dan menanyakannya. Ternyata toko itu tidak menjual souvenir tempelan magnet kulkas. Perempuan penjaga toko menunjukkan ada sebuah toko souvenir di dekat stasiun kereta. Aku segera bergegas.

Di toko yang baru ini, aku melihat berupa-rupa souvenir besar dan kecil dengan berbagai bentuk dan warna. Tempelan magnet kulkas berupa-rupa tertempel di sebuah dinding. Harganya memang tidak murah. Sebuah tempelan kulkas kecil bernilai 4 euro. Aku kukuh pada rencana semula, hanya membeli dua tempelan kulkas dan satu gelas kecil bertuliskan Luxembourg. Kupilih tempelan kulkas yang pas dan kemudian mencari-cari gelas yang ternyata harus dibeli sepasang. Totalnya 13 Euro: dua tempelan kulkas untuk Yasmine dan dua gelas bertuliskan Luxembourg untuk penjaga apartemen. Oleh-oleh yang ideal untuk sebuah perjalanan internasional dengan budget pas-pasan.

Jam 4.20 sore hari, keretaku melaju dari Luxembourg menuju Brussel Nord untuk nantinya meneruskan ke Antwerp. Di perjalanan, aku membaca-baca kembali tentang tempat yang sudah kukunjungi tadi. Karena kelelahan berjalan kaki, kantuk menyerang dan aku tertidur. Tidur di kereta antarbangsa dengan mimpi-mimpi bertema musim gugur yang berwarna-warni. Sebuah mimpi musim gugur yang bernilai ‘hanya’ 66 Euro. Tiba-tiba dalam mimpi, aku melihat dedaunan yang berwarna-warni di bulan Oktober itu berganti menjelma basah bercampur lumpur, tersapu lahar dingin setinggi dada orang dewasa. Hujan masih terus mengguyur setiap hari. Dan di hari kabisat ini, Merapi masih menyimpan ‘janji’. Semoga Allah kuatkan iman saudara-saudaraku yang berada di bantaran kali.***


Luxembourg (autumn)



Indonesia (mangsa rendheng)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar