Ngarsa Dalem yang kuhormati, surat ini
ditulis oleh rakyat kepada rajanya. Seorang yang lahir dan tumbuh besar di
pangkuan Ngayogyakarta Hadiningrat. Di tlatah ini, legawa telah menjelma menjadi senopati.
Tak peduli ada atau tak ada dapur mengepul, rakyatmu telah bahagia dengan
semboyan mangan ora mangan sing penting
kumpul. Tak terhitung berapa cendekiawan yang menyelesaikan dan melahap
ilmu pengetahuan di sini. Di sinilah teh ginasthel
dan sega kucing menjadi teman obrolan
semalaman. Di sinilah uni menjadi mbakyu, beta menjadi kawula, dan encing menjadi paklik.
Jogja adalah legawa, nrima, dan sendika.
Ngarsa Dalem yang kuhormati, kami sudah lama merindukan cinta
bersemi di bumi nusantara. Sebab, kami tak pernah diajari mencintai dengan
sepenuh hati. Kami tak biasa dididik mensyukuri karunia. Melainkan yang kami
lihat adalah sebaliknya. Paduka, inilah kenyataannya. Para penguasa sibuk
berebut tahta, memainkan kekayaan negara, dan berdalih memajukan kesejahteraan
bangsa. Sementara banyak rakyat kecil harus terpaksa maling ayam tetangga untuk
mengganjal perut mereka. Paduka, cinta bukan kemauan meminta dan menerima,
tetapi soal memberi dan melayani. Cinta juga soal prinsip dan tujuan. Cinta
adalah ketulusan.
Ngarsa Dalem yang kuhormati, kami sempat merasakan kelemah
lembutan dan kearifan tlatah kecil ini menunjukkan sisi lain. Halus budi andhap asor itu siap muntab. Saat seluruh rakyatmu menuntut sematan
istimewa sebagai ijab qabul yang
harus ditunaikan. Ketika masing-masing pihak di negara ini menunjukkan
eksistensi dengan kepentingan mereka masing-masing. Dua periode bukan waktu
yang singkat bagi kami untuk mencium intrik yang begitu menyengat. Namun sekali
lagi, cinta tak akan berhenti pada poster referendum atau umbul-umbul
penetapan. Cinta adalah kesungguhan yang tak dibatasi waktu dan ruang.
Ngarsa Dalem yang kuhormati, setelah ketok palu para wakil rakyat
kemarin, sekarang adalah saat pembuktian. Bahwa bumi di mana kita berdiri saat
ini adalah istimewa. Istimewa negerinya, istimewa rakyatnya, istimewa pula
rajanya. Paduka tak perlu malu untuk turun ke Kali Code, tak perlu sungkan
menyapa para simbok bakul di Pasar
Niten. Bahkan, pelataran Kraton itu, sesekali Paduka bisa menyapunya sendiri.
Tak usah berpikir tentang citra. Sebab pemimpin sejati takkan pernah
berlelah-lelah mengejar citra. Sepi ing
pamrih, rame ing gawe. Sebagaimana Umar bin Khaththab rela memanggul
sendiri karung gandum menembus malam yang dingin. Sebagaimana dengan uangnya Utsman
bin Affan pernah membebaskan sumur-sumur untuk rakyat saat kemarau panjang
melanda. Sebagaimana Umar bin Abdul Aziz tak beranjak tidur sebelum
menyelesaikan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawabnya. Mereka
dicintai rakyatnya, tanpa perlu membangun citra dan memoles rupa.
Ngarsa Dalem yang kuhormati lagi kucintai, jika syarat yang
diajukan Istana adalah Paduka harus melepas selempang kepentingan, maka
lepaskan. Jika Senayan menghendaki Paduka menanggalkan atribut golongan, maka
tanggalkan. Tak usah ragu. Karena dengan begitu, kami justru akan lebih
mencintaimu. Sebab Paduka bukan lagi milik sekelompok orang saja, tapi milik
kami semua, rakyat Yogyakarta.
Ing ngarsa sung tuladha,
ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Pedoman itu sudah diajarkan sejak kami duduk
di sekolah dasar. Dan keistimewaan ini Paduka, bukanlah koar-koar belaka.
Istimewa tak hanya manis di bibir saja. Kita akan bersama-sama mengabarkan pada
dunia, Jogja adalah istimewa. Istimewa mendidik bocah-bocah kecilnya, istimewa
mengajari anak-anah mudanya, istimewa mengayomi jiwa-jiwa sepuhnya. Jogja
adalah istimewa dalam keistimewaan itu sendiri. Juga bahwa perjuangan akan
sampai di ujung penantian. Bahwa cinta masih ada. Bahwa harga diri belum mati.
Bahwa rasa handarbeni, rasa memiliki,
akan membuat keistimewaan ini lebih berarti.
Ngarsa Dalem yang kuhormati, Paduka adalah raja yang dicintai
rakyatnya. Maka pimpinlah kami dengan cinta, dan bimbinglah kami agar semakin
mencintai RAJA segala raja. Sehingga ketika Paduka menaati-NYA, kami akan
ringan hati menaati Paduka. Dan ketika Paduka membelot dari-NYA (sungguh, kami
tak pernah ingin), bukti cinta kami adalah tak segan mengingatkan Paduka. Sebab
yang kita tuju adalah sama: cinta-NYA, ridho-NYA, surga-NYA! Semoga…
Ngarsa Dalem yang kucintai, tetaplah rendah hati. Teruslah berbagi
dan melayani. Jadilah istimewa dengan sederhana dan bersahaja. Karena kepemimpinan
akan dimintai pertanggung jawaban. Dan pemimpin ada bukan untuk diagung-agungkan,
melainkan dijadikan teladan…!***
Yogyakarta,
13 Syawal 1433
31
Agustus 2012
Ainun
Nahaar
mergane Ngayogyakarta Hadiningrat kuwi istimewa ora mung kratone nanging sa wong2ane
BalasHapusyup :)
Hapusjogja istimewa untuk indonesia :D
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusainun nahar, penulis yang istimewa...
BalasHapus