Beberapa waktu
yang lalu, seorang sahabat saya berkunjung ke rumah. Setelah ngobrol beberapa
saat, dia mengajukan sebuah pertanyaan yang membuat saya mengernyitkan dahi. Dan
ketika saya tanya, “Maksudnya?”, matanya berkaca-kaca seketika. Ia kembali
bercerita. Sekuat mungkin ia tahan akan bendungan di pelupuk matanya tak
tumpah. Meskipun akhirnya, itu jebol juga. Satu yang membuat ia menangis. Bahwa
ia menyadari sesuatu yang orang Jawa bilang dengan kebacut,terlanjur. Ia menyesal pernah melakukan kesalahan di masa
lalu. Dan kini, ia merasa takut, aib dan keburukan masa lalunya itu akan
diketahui orang lain, termasuk calon suaminya kelak.
Saya mencoba
bersikap wajar menanggapinya. Walaupun saya sempat terkaget-kaget ketika
menyimak apa saja yang sudah kebacut ia
lakukan. Dan saya sempat tertegun saat ia bertanya, “Aku harus gimana?”
Sahabat saya itu
tak pernah tahu, dan semoga takkan pernah tahu, bahwa orang di hadapannya, yang
menjadi tempatnya bertanya, yang selalu siap menampung keluh kesahnya ini,
dahulu juga pernah menangis. Dengan air mata yang sama, dengan rasa bersalah
yang sama, dan penyesalan yang sama.
Sungguh saya
ingin menangis juga jika mengingat masa lalu. Dan kalau mau jujur, mungkin
semua manusia di muka bumi ini juga akan menangisi masa lalunya. Menangisi sedetik,
semenit, sejam, sehari, sepekan, sebulan, setahun, bahkan bertahun ke belakang.
Juga menangisi dosanya yang masih berlangsung hingga saat ini. Sungguh, betapa
Allah berkenan tak menunjukkan semua aib kita di hadapan orang lain. Mungkin,
jika sahabat saya itu tahu bahwa masa lalu saya tak lebih baik darinya, ia
takkan pernah mengadukan gundahnya.
Pernahkah kita
sadar betapa Allah begitu apik menutupi segala aib, keburukan, dosa, kesalahan
kita di masa lalu? Sehingga orang-orang yang tak semasa saat itu tak tahu, dan
bahkan tak perlu tahu apa yang pernah membuat kita begitu nista. Atau bahkan di
saat ini, ketika teramat sering perilaku memalukan sering terbungkus rapi dalam
wajah kehormatan dan terkemas rapi di dalam pakaian kebaikan sehari-hari kita
di hadapan orang lain. Sungguh, besarnya kebaikan Allah menutup semua aib kita.
Sehingga tak semua orang tahu sisi lain diri kita.
Sepatutnya kita
bersyukur karena Allah tak membuka aib kita kepada para tetangga. Mereka hanya
tahu kita warga yang baik, rajin ke masjid, dan aktif di lingkungan. Mungkin tetangga
tak pernah tahu sedikit banyak aib yang kita perbuat di luar sepengetahuan
mereka. Allah juga berkenan tak membuka aib seorang anak di hadapan orang
tuanya. Aib yang mungkin bisa meluluhlantakkan semua kebanggaan atas prestasi
anaknya selama ini. Allah juga tak serta merta membuka aib orang tua saat
keduanya sedang bekerja. Allah yang Maha Tahu juga menjaga agar teman sekantor
tak tahu apa yang dilakukan teman sebelahnya, di depan komputernya. Allah juga
mengunci rapat-rapat celah yang memungkinkan para staf mendengar dan tahu
banyak kesalahan direksinya. Allah tak pernah iseng membeberkan keburukan
seorang guru di hadapan murid-muridnya. Allah tidak menelanjangi seseorang
dengan kesalahan-kesalahan yang pernah diperbuat di depan orang yang
mengaguminya. Sungguh, Allah begitu santun menyimpan semua aib dan keburukan
setiap hamba. Meski Dia juga akan teramat mudah membukanya lebar-lebar.
Kepada sahabat
saya itu, saya katakan bahwa yang paling pantas mendengar, menampung, memberi
nasehat, dan memberikan jalan keluar bagi masalahnya hanyalah Allah.
Sebagaimana kata-kata yang dulu saya terima. Kepada Allah-lah kita harus
mencurahkan segala kegelisahan, ketakutan, kekhawatiran, dan semua beban
seberat apapun. “Kita hanya bisa mohon ampun. Bertaubat. Dan berharap Allah
tetap menutupi aib kita,” satu pesan yang utamanya berlaku bagi si pemberi
pesan.
Sepulangnya ia
dari rumah saya, saya membaca ayat yang semakin membuat saya menangis…
Hai orang-orang yang beriman,
bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang
semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan
memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari
ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia;
sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil
mereka mengatakan: "Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan
ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS.
At-Tahrim: 8)
Sebagai manusia,
mungkin kita tak pernah luput dari berbuat salah, sekecil apapun. Prinsip yang
coba saya pegang (meski kadang mrucut)
saat ini: bertaubat sekarang juga, berjanji dan berusaha sekuat tenaga untuk tidak
mengulanginya, atau siap-siap malu di hadapan orang lain jika Allah membuka aib
saya tiba-tiba.***
Ramadhan sudah di depan
mata,
jika diri ini pernah menoreh
luka atau kecewa,
ridha dan maaf yang
kupinta…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar