Laman

Jumat, 27 April 2012

Ningrat


Apa yang aku khawatirkan akhirnya terjadi juga. Badai penentangan atas apa yang kuputuskan benar-benar bertiup kencang. Tak jarang pula badai itu datang dari keluarga atau pihak-pihak yang selama ini sangat berkeinginan menjadikan aku sebagai menantu. Tapi, atas badai dan gelombang itu, aku tetap berdiri pada keputusanku. Aku mantapkan hati. Jodoh itu di tangan Tuhan, ikhtiar ke arah itu, akulah yang melakukan. Jika orang lain mau memberi masukan, itu hak mereka. Silahkan. Aku bisa menerima, bisa pula menolaknya.
                Namun sekuat-kuatnya kakiku berdiri, pada akhirnya aku harus mengakui: aku sempat goyah. Tidak lain dan tidak bukan karena ibu yang selama ini tutup mulut, kini mulai angkat bicara. Sebelumnya aku tidak tahu mengapa beliau diam saja. Padahal beliaulah yang lebih berkepentingan denganku sebagai anaknya dan dengan calon istriku sebagai menantunya. Beliaulah yang mengandung, melahirkan, menyusui, membesarkan, dan mendidikku. Atas diriku beliau punya hak. Prerogatif sampai veto sekalipun. Aku hanya menyangka sikap diam ibu adalah persetujuannya. Bukankah diamnya wanita adalah ungkapan dari kata “ya”?
                Ternyata dugaanku meleset. Kini ibu mulai menyampaikan pendapatnya. Atau lebih tepat lagi, menggunakan hak vetonya.
                “Bila niatmu menikahi Syamsi sudah bulat, teruskanlah..”, ucap ibu lirih, setelah sekian lama kami saling diam di ruang keluarga. “Nikahilah dia sebagaimana yang kamu inginkan.”
                Sampai di sini hatiku berbunga. Namun belum juga bunga itu menebarkan harumnya, tiba-tiba angin panas bertiup menggersangkannya.
                “Setelah kamu menikah nanti, ungsikanlah ibu dari sini. Tempatkan ibu di tempat yang siapapun takkan pernah mengunjunginya. Jauhkan ibu dari keluarga atau siapapun yang pernah mengenal ibu.”
                Hatiku bergetar. Pikiranku mendadak kacau. Wanita mulia, yang di telapak kakinya surgaku berada, mengucapkan sesuatu yang sama sekali tak pernah kunyana-nyana. Kalimat itu begitu lirih. Lembut. Tapi sangat keras menghujam relung hatiku. Dinginnya malam seakan tak mampu menenangkan hati dan pikiranku. Lidahku kelu, meski hanya untuk berkata, “Maksud ibu?”
                Wajah berbingkai jilbab kuning gading itu menengadah. Pandangannya dilepas ke langit-langit. Lalu menatap kosong hiasan dinding besar, sebuah gambar Masjidil Haram dari beludru berwarna hitam-emas. Kuamati matanya sedikit nanar. Berulang kali ibu menarik nafas dalam-dalam. Beliau melanjutkan ucapannya, “Tidakkah kamu pikirkan matang-matang, Bahar? Apa kata orang nanti? Putra KH. Imaduddin Sa’id menyunting seorang gadis yang tidak berpendidikan? Muhammad Baharuddin, santri yang dikenal dengan kecerdasan dan keluasan ilmunya, anak seorang kiai yang disegani banyak orang, beristrikan perempuan yang SMP pun tak tamat? Tidakkah kamu pikir, bila kelak kamu benar-benar menikah dengan gadis itu, bagaimana orang tuamu di hadapan keluarga besar yang semua mendapat tempat terhormat di mata masyarakat?”. Ibu memandangku. Penuh harap akan pengertianku.
                Aku terdiam. Dari arahnya lamat-lamat kudengar isak tangis merasuki ruang keluarga, tempat aku dan ibu berbincang. Ibu menunduk. Tangan kirinya tetap dibiarkan tergeletak di bantal yang beliau pangku. Sedang tangan kanannya ditutupkan ke bibirnya yang suci. Ujung telunjuknya menutup lubang hidung, sedikit mengurangi suara isak tangis. Walaupun tetap saja, embun surgawi terus jatuh dari pelupuk matanya. Sebelum beliau tenang, aku tak berani menimpali apa-apa. Khawatir kalau ibu tersinggung, dan tak bisa menerima apa yang kusampaikan.
                Jalan yang kupilih adalah jalan menikung yang tak seharusnya kulewati. Aku sadar betul, bahwa ini menentang arus yang sudah lama mengalir. Ya. Mengalir di masyarakat. Terlebih di kalangan keluargaku yang berlatar pesantren tulen.
                Bapakku seorang kiai terpandang dan disegani. Tak hanya masyarakat di daerah sini, tapi sampai ke kota dan kabupaten lain. Beliau adalah jebolan doktoral dari Saudi. Sosok yang meski usianya sudah lebih dari kepala lima, masih tetap punya semangat belajar yang menyala-nyala. Selain memimpin pesantren, sampai sekarang masih aktif mengajar di Universitas Islam Negeri di kotaku. Sepanjang yang kutahu, beliau juga menjadi penasehat salah satu lembaga tertinggi di negeri ini. Pamanku, KH. Abdurrahman Sa’id, adik kandung bapakku juga memimpin pondok pesantren di Kudus. Ibuku, Hj. Muzayyanah, seorang wanita yang menguasai banyak ilmu agama dan memiliki wawasan yang luas. Meski tak melanjutkan studi ke pendidikan tinggi seperti bapak, penguasaan beliau terhadap kitab cukup mengagumkan.
                Kakak ibu, KH. Abdul Hakim, seorang pengasuh pesantren di Jawa timur. Sedangkan adiknya, KH. Abdul Wahab, juga mengasuh pesantren di Jawa Barat, menggantikan mertuanya yang wafat beberapa tahun lalu.
                Aku paham betul, sudah menjadi adat keluarga “ningrat” pesantren menjalin hubungan kekeluargaan dengan pesantren lain. Caranya adalah menikahkan anak-anak para kiai mereka. Tak usah jauh-jauh kuberi contoh. Keluargaku sendiri. Kakakku, Mas Muhammad Ghulbuddin, menikah dengan Mbak Jazimah putri KH. Maulana Syarif Pandeglang, Banten. Demikian juga dengan sepupu-sepupuku, semua menikah dengan sesame keturunan “ningrat” pesantren. Maka tak heran, bila terjalin hubungan yang erat antara satu pesantren dengan pesantren yang lain. Itu adat pernikahan di kalangan “ningrat” pesantren yang kutahu.
                Aku sendiri sejatinya akan dijodohkan oleh keluargaku dengan putri KH. Abdul Fatah, salah satu kerabat ibu yang tinggal satu kota denganku. Aku memanggilnya paman. Aku tahu betul siapa putri pamanku itu. Namanya Ni’matuz Zakiyah. Putri tunggal paman Fatah. Gadis berparas cantik. Sama sepertiku, sarjana psikologi, bahkan bisa menggondol predikat cumlaude. Menguasai beberapa bahasa dan punya banyak prestasi. Namun aku menolaknya.
Kiaiku, guruku mengajipun sudah mengajukan sedikitnya lima gadis padaku. Dan aku tahu, meski kebanyakan dari mereka adalah santriwati, kelimanya bukan gadis sembarangan. Gadis pertama, adik kelasku semasa Aliyah, putri pengusaha yang sangat mapan. Cita-citanya luar bisa, ingin mendirikan pesantren, meski latar belakang keluarganya adalah pengusaha. Gadis kedua dan ketiga, sama-sama aktivis, gadis yang rajin, yang satu pandai qori’ah, yang satu pandai sastra. Gadis keempat, aku bahkan sempat didampingi untuk bertemu dan bertanya lebih dalam tentangnya. Gadis kelima yang belum lama diajukan padaku, juga tak kalah, parasnya menawan, putri kiai yang terpandang, dan kecerdasannya mengagumkan. Namun aku masih tetap memutuskan tidak.
Secara umum bodoh mungkin diriku. Gadis secantik dan sepandai Zakiyah, juga gadis-gadis yang lain itu, aku tolak. Sedang banyak sekali laki-laki yang mengejarnya tak pernah mendapat perhatian sama sekali. Kurang apa mereka, bibit, bobot, bebet? Tetapi bagiku memiliki istri bukanlah hanya sekedar urusan cantik atau tidak cantik. Bagiku, seorang anak laki-laki, ada hal yang lebih penting dari itu.
Ternyata penolakanku berbuntut panjang. Ketika pihak-pihak yang menginginkanku menjadi menantu itu mengetahui keinginanku meminang Nurusy Syamsiyah. Kiaiku sampai kehabisan akal mendengar penolakan demi penolakan yang kusampaikan. “Gadis seperti apa yang kau inginkan?”, itu pernah beliau tanyakan. Paman Fatah merasa tersinggung. Ia katakan bahwa aku telah menginjak harga dirinya. “Kau tolak anakku Zakiyah tanpa alasan yang jelas, tapi kau pinang perempuan yang pendidikannya tak jelas. Lebih baik mana putriku dengan perempuan itu, hah!”, begitu aku dibentaknya. Kemarahan itu tak tanggung-tanggung rupanya. Ibuku juga kena getahnya. Sudah hampir satu bulan ini keluarga beliau tak berkunjung. Padahal sebelumnya, setiap hari Jum’at selalu saja mengunjungi ibu dan bapak di rumah.
Berbeda lagi dengan keluargaku yang lain. Mereka menentang keputusanku bukan karena sakit hati. Namun karena tingkat pendidikannya yang jauh di bawah kami. Demi menjaga kehormatan keluarga, dalihnya. “Tidakkah kita lebih baik mencari gadis yang setara dengan kita, Har? Apa nanti kata orang?”
Aku berusaha tutup telinga. Yang akan menikah aku, bukan mereka. Bagiku, apa bedanya Syamsi dengan perempuan lain? Zakiyah misalnya. Aku rasa apa yang dimiliki Zakiyah juga dimiliki Syamsi. Ia cerdas, cekatan, dan berjiwa keibuan. Kemampuan bahasa Arabnya lebih baik dari pada aku. Dan hafalan Qur’annya juga lebih banyak jika dibandingkan denganku. Ia juga pernah menjadi pembicara dalam beberapa acara. Untuk masalah fisik, memang tidak istimewa, tetapi enak dipandang mata. Bila ada kekurangan dalam diri Syamsi, itu cuma satu: tidak lulus SMP. Dan bagiku, itu bukan masalah besar. Bisa dikejar setelah ini.
Aku sudah mendengarnya dari orang lain, bahkan cerita dari Syamsi sendiri. Ibunya seorang bakul sayuran dan bapaknya seorang buruh bangunan. Keluarganya tidak berada. Dibesarkan dalam kultur budaya Jawa yang sangat kental. Bahkan kalau bicara padaku dan keluargaku, ia paling sering menggunakan krama alus, tingkatan bahasa Jawa yang paling tinggi, paling sopan, dan paling halus. Gadis yang punya rasa ingin tahu dan jiwa petualang yang luar biasa. Ia gadis yang cerdas. Sejak kecil, selalu menyabet peringkat pertama di kelasnya. Lulus SD, ia diterima di SMP terbaik di kotaku. Dan di sekolah barunya, Syamsi masih bersinar pada tahun pertama. Semua bermula dari sini. Tepat hari pertama Syamsi memasuki tahun kedua. Ibunya meninggal dunia. Meninggalkan Syamsi dan adiknya yang masih kecil. Kepergian ibunya, berarti juga hilangnya satu pasak dalam hidup Syamsi.
Setengah tahun berjalan, Syamsi kecelakaan. Dan inilah yang membuat Syamsi sakit-sakitan. Benturan keras di kepala membawa efek panjang pada gangguan syaraf motoriknya. Bahkan dokter pernah mengatakan dua resiko terbesar: kelumpuhan dan kematian. Sering pusing, mual, muntah, dan pingsan membuatnya tak bisa belajar. Dua tahun ia jalani itu, sendirian! Syamsi tidak pernah membaginya pada bapaknya yang sudah sepuh dan adiknya yang masih kecil. Ruang kelasnya sering “berpindah”. Dari ruangan 8 x 8 dengan bangku kapasitas 40 anak, ke bilik-bilik di rumah sakit. Entah poliklinik, rehabilitasi medik, radiologi, laboratorium, bangsal perawatan, atau yang paling sering: unit gawat darurat. Ujian kembali datang di akhir tahun ketiganya. Karena sakit yang berkepanjangan, syarat minimal kehadiran tidak bisa ia penuhi. Ya, hanya itu saja. Di tengah perjuangannya untuk terus belajar, ia tetap bisa menguasai pelajaran dengan baik. Buktinya, sekali waktu Syamsi bisa memberi les privat bagi dua orang kakak beradik yang seusia dengannya. Dan karena syarat yang tidak terpenuhi itu, Syamsi tak bisa mengikuti ujian akhir. Tidak ada ujian, tidak ada kelulusan. Tidak ada kelulusan, tidak ada sekolah lanjutan. Yang artinya, itu adalah akhir bagi masa depan sekolah gadis piatu lima belas tahun itu. Pukulan yang membuat Syamsi seakan tak mampu meneruskan hidup lagi.
Duka masih berlanjut. Syamsi tak mampu berkabar pada satu-satunya orang tua yang Syamsi miliki, bapaknya. Lelaki yang kulit wajahnya sudah keriput, giginya sudah banyak yang tanggal, dan rambutnya sudah sempurna putih beruban. Lelaki yang menggantungkan harapan akan kehidupan yang lebih baik di tangan Syamsi. Lelaki yang selalu ingin melihat putrinya hidup mulia, tidak seperti dirinya. Dua bulan Syamsi mengumpulkan keberanian. Lalu pada hari itu, bersamaan di waktu teman-temannya menerima pengumuman kelulusan, Syamsi memberanikan diri untuk berterus terang. Dan pada hari itu juga, bapaknya terserang stroke. Membuat bapaknya yang sudah tua itu seperti bayi dewasa, yang bahkan sudah tak mampu mengontrol hajatnya. Sejak saat itu, sempurnalah tugas Syamsi: merawat bapaknya, menjaga adiknya, memenuhi kebutuhan keluarga, sekaligus mengurus rumahnya.
Aku sendiri mengenal Syamsi tiga tahun yang lalu. Tidak lama setelah aku selesai kuliah dan boyongan dari mondok di beberapa tempat. Remaja masjid di daerahku mengadakan sebuah acara. Aku sebagai pengisi, dan dia sebagai panitia. Saat itu aku tak banyak memperhatikannya. Beberapa waktu kemudian, aku mengundang teman-teman remaja masjid, termasuk Syamsi, untuk mengaji di pesantren. Kami kembali bertemu. Tidak ada yang istimewa dengan kehadirannya di kajian rutin pekanan itu. Delapan bulan, ya. Delapan bulan. Sebelum akhirnya bapakku meminta Syamsi untuk menjadi santriwati sekaligus ikut membantu mengurusi pesantren. Bukan tanpa alasan. Delapan bulan Syamsi istiqomah untuk datang, walaupun hujan, walaupun hanya dengan jalan kaki atau kadang naik sepeda. Aku melihat semangat belajarnya.
Di pesantren, aku memegang urusan pengasuhan, dan Syamsi banyak terlibat di buletin pesantren. Mulai dari kontributor lepas, sampai sekarang ia menjadi pimpinan redaksi. Dari sinilah, aku mulai banyak mengenal Syamsi. Gadis yang ceria, meski hidup terus menempanya. Pekerja keras. Semangatnya menular. Caranya berinteraksi dan menyediakan diri, bagi pesantren, bagi teman-teman pengurus pondok, bagi santri-santri, bahkan sampai bagi keluargaku, jujur membuatku tertarik. Dan ketika mengetahui masa lalu dan cita-cita masa depannya, aku justru makin cenderung pada gadis ini. Ada sesuatu yang sulit kugambarkan. Sesuatu yang membuat Syamsi terasa berbeda dengan gadis-gadis lainnya. Zakiyah sekalipun. Dan ketika setahun lalu bapaknya meninggal, aku merasa ada orang yang harus kujaga. Syamsi. Mulai saat itulah aku mulai mencari informasi yang lebih banyak tentang dirinya. Aku ingin menjadikan Syamsi sebagai pendamping hidup! Meski aku sadar, badai akan menghalang. Apalagi kalau bukan karena bibit, bobot, dan bebet?
Setengah tahun yang lalu aku meraba hati. Dan dua bulan ke belakang aku mengungkapkan isi hatiku pada bapak dan ibu. Tidak ke yang lainnya. Bahkan pada Syamsi saja tidak. Namun tak lama kemudian semua kerabat tahu. Lalu badai itupun mulai menggemuruh.
Untuk urusan ini, bapak menyerahkan penuh padaku. Asal ibuku merestui, bapakku akan mendukung. Kulihat ibuku mulai tenang. Isak tangisnya tak lagi terdengar. Kukumpulkan semua keberanian. Kepada beliau, aku akan bicara.
“Bu, saya tahu perasaan ibu. Tapi bukan maksud saya ingin menurunkan derajat keluarga kita..”
“Ibu paham, Bahar. Tapi toh, akibatnya akan seperti itu.”
“Mungkin, Bu.”
“Nah, kamu juga tahu kan?”
“Tapi, mungkin juga sebaliknya.”
“Maksudmu?”
“Justru dengan menikahi Syamsi, semoga derajat kita di hadapan Allah akan lebih tinggi.”
Ibuku hanya terdiam. Mungkin beliau belum paham dengan pikiranku.
“Kita ini orang beragama. Tak ada seorangpun di keluarga kita yang tak mengenyam pendidikan pesantren. Kita juga mengelola pesantren. Setiap hari kita mengajarkan agama dan akhlaq kepada para santri. Termasuk tentang pernikahan. Memang benar agama kita menganjurkan untuk menikahi perempuan yang cantik, bernasab baik, berharta, dan beragama..”
“Lho, kamu tahu itu kan?”, ibu menyela. “Kurang apa Zakiyah? Anak KH. Abdul Fatah, sepupu ibu, pamanmu sendiri. Dia cantik, bernasab baik, ia sudah bekerja dan jelas punya harta milik sendiri, penguasaan agamanya juga kamu tahu sendiri. Tapi Syamsi? Lulusan apa dia, Bahar?”
“Benar, Bu. Tidak ada yang kurang dalam diri Zakiyah. Tetapi tidak semata-mata karena empat hal itu kita membangun rumah tangga. Bagiku, ada faktor lain yang juga penting untuk kita perhatikan sebagai orang yang dianggap tokoh masyarakat. Faktor da’wah dan sosial, Bu. Dengan menikahi Syamsi, orang-orang akan tahu bahwa ajaran yang selama ini kita berikan kepada para santri dan masyarakat tidak hanya sebatas teori, tapi kita juga mengamalkannya. Kepada mereka kita ajarkan bahwa semua manusia derajatnya sama di hadapan Allah. Tak ada yang membedakan selain ketaqwaan. Kita tidak bisa menilai derajat seseorang dari luarnya saja. Karena ketaqwaan yang menjadi ukuran itu ada dalam hati. Dan hanya Allah yang paham isi hati manusia.
Kepada mereka kita juga mengajarkan perlunya kepedulian sosial. Memberi makan faqir miskin, memelihara anak yatim. Hingga surgapun merindukan mereka. Saya berpikir, kalau saya menikahi Syamsi, kita sebagai guru akan memberikan contoh bagi masyarakat. Bahwa status sosial bukanlah pemisah antara kiai dan santri, guru dan murid, kaya dan miskin, atas dan bawah. Bahwa bukan keharusan yang kaya hidup dengan yang kaya, yang miskin hidup dengan yang miskin, yang berpendidikan hidup dengan yang berpendidikan, yang awam hidup dengan yang awam. Tidak ada salahnya keluarga kita ini memberi contoh, karena kita adalah tokoh masyarakat, dan dijadikan panutan.
Saya juga melihat kehidupan masa lalu Syamsi sebagai kelebihan dan hikmah. Ia yang hidup tanpa bisa mengenyam pendidikan formal lebih banyak, yang hidup dalam keterbatasan materi, menjalani hidupnya dengan prihatin dan kerja keras. Sungguh ia sudah dididik oleh sebaik-baik pendidik, Bu. Allah. Bila Syamsi ada di tengah-tengah kita, saya berharap dia bisa membantu kegiatan sosial yang selama ini ibu dan bapak jalankan. Dengan pengalaman hidupnya, Syamsi bisa lebih dekat dengan saudara-saudara kita yang tidak berada.” Kutarik nafas dalam-dalam.
“Itu pertimbangan pertama saya, Bu..”
“Ada yang lain, Har?”
“Ibu tahu cita-cita saya kan? Tidak banyak perempuan yang memiliki visi sejalan dengan cita-cita saya itu. Saya melihat itu ada di diri Syamsi. Saya berharap didampingi oleh seseorang yang satu visi dengan saya..”
“Tapi, Bahar..”
“Maafkan saya, Bu.. Saya tahu, ibu memberatkan status pendidikan Syamsi. Tapi kita tak perlu mempermasalahkannya. Syamsi tak pernah meminta hidup yang demikian. Semua sudah diatur. Kalau Allah berkehendak, sayapun bisa dibuat sebagaimana Syamsi. Dan kondisi Syamsi yang seperti itu bukan untuk membuatnya dipinggirkan. Syamsi berhak untuk diayomi. Saling menguatkan untuk meraih cita-cita. Kalau sekarang Syamsi sedang tertatih menata kembali masa depannya dengan berusaha melanjutkan apa yang pernah terhenti, mengapa tidak kita dukung? Kalau ini memang cara Allah mendidik Syamsi sekaligus mendidik kita yang melihatnya, kenapa masih dipersoalkan? Ibu yang mengajari saya, bahwa takdir-Nya adalah yang terbaik, iya kan? Saya harap ibu mengerti...”
Kulihat ibu termenung. Sinar matanya menerobos hatiku. Kurasakan ada perubahan pada diri beliau. “Kamu sungguh-sungguh, Bahar?”, tanya ibu lirih. Matanya tetap tertuju padaku.
Aku mengangguk, “Iya, Bu.”
“Mantap dengan segala resiko?”
“Selama ibu di sisi, tak ada yang perlu ditakuti. Selama ibu merestui, tak perlu kuminta do’a seribu wali.”
Beberapa saat kami terdiam.
“Bu, ada satu lagi alasan mengapa saya memilih Syamsi.”
“Apa, Har?”
“Saya ingin berbakti kepada ibu. Sebagai anak laki-laki, saya berkewajiban untuk berbakti pada ibu seumur hidup. Tidak ada alasan bagi saya untuk tidak berbakti. Setelah Mas Ghulbu menikah dan hidup bersama keluarganya, juga selama adik-adik masih menempuh pendidikan dan nyantri sampai beberapa tahun lagi, saya tahu ibu kesepian. Ibu butuh seorang teman. Saya ingin Syamsi menjadi menantu sekaligus teman yang baik bagi ibu. Menjadi yatim piatu di usia tujuh belas membuatnya memiliki bakti besar yang ingin ia berikan, insya Allah. Karena itu belum tuntas ia berikan pada orang tua kandungnya. Pengalaman hidupnya juga telah mendidik Syamsi menjadi perempuan yang tak manja. Ibu melihat sendiri bukan? Usianya belum dua puluh, tapi ia jauh berbeda dari gadis berumur belasan di luar sana. Bila selama ini ibu selalu dibantu para santriwati untuk menyelesaikan pekerjaan rumah, kelak Syamsi lah yang akan membantu ibu. Ia bisa melakukan apa saja yang semestinya tanpa merepotkan orang lain. Biarlah para santriwati itu belajar dengan tenang, karena itu memang hak mereka. Ibu juga bisa mengajak Syamsi berdiskusi tentang banyak hal. Ibu tahu ia gadis yang cerdas kan? Pendek kata, saya ingin menghadirkan Syamsi di tengah-tengah keluarga kita sebagai seorang istri. Sekaligus menantu dan teman bagi ibu, pengalaman hidup yang dijalaninya telah memberinya banyak kelebihan yang tak dimiliki gadis lain.”
Belum ada kata yang keluar dari bibir ibuku. Aku hanya melihat embun surgawi menggenang di pelupuk matanya. Ibu menunduk. Lalu butiran itu mengalir membasahi pipinya. Aku tak bisa membaca isi hatinya. Aku hanya bisa melihat wajahnya. Sungguh, ada kerelaan di sana. Kedamaian yang memancar. Menghiasi keteduhan tatapnya. Kedua tangan suci itu merengkuhku ke dalam dekap dadanya. Sampai ibu mengusap kepalaku.
“Ibu ridho, Nak…”***

Ref: Terjemah Riyadhush Shalihin 1 & 2, ABNC #2

1 komentar:

  1. assalamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuh/// hmm. ukhtiiii, kenapa temanya ini ya?? :D request tentang cita-cita aja ukh,, jangan pernikahan, ntar aku pengen.... haduh haduh...kenpa akhir2 abanyk yang membicarakan ini ya...

    BalasHapus