Laman

Selasa, 14 Juni 2011

Belajar Mencintai

Aku sedikit ragu untuk memulai tulisan ini. Tapi sungguh ini bukan sekedar basa-basi. Syarat membuat sesuatu menjadi berarti adalah dengan mencintainya. Bahkan syarat terakhir diterimanya syahadat pun adalah yang satu ini, al-mahabbah, cinta.

Cinta akan melahirkan proses pengenalan dan penghayatan yang lebih matang. Cinta yang menyatu dalam setiap tarikan nafas kita, yang menggerakkan tangan kita, dan yang mengarahkan langkah kita adalah energi luar biasa yang bisa membawa perubahan di dunia.

Bukan mencintai jika kita masih memikirkan untung-rugi. Bukan mencintai jika kita masih mengedepankan image dan gengsi. Misal kita bekerja keras siang malam untuk mempersiapkan masa depan. Kita berharap hasilnya luar biasa. Tapi ternyata yang kita terima dengan yang selama ini kita damba. Apakah kita rugi? Apakah kita tak perlu capek-capek bekerja keras saja, toh hasilnya tak sesuai dengan keinginan kita?

Kalau ukuran manusia, jawabannya “ya”. Tapi jika kita mengaku sudah mencintai ikhtiar kita, mencintai hidup kita, lebih-lebih mencintai Sang Penentu ikhtiar kita, Sang Pemegang hidup kita, yakinlah, tiada yang sia-sia. Asalkan, kita sudah melakukan yang terbaik yang kita bisa.

Cinta bukan tentang apa yang kita harapkan, tapi apa yang kita berikan. Dan mencintai adalah mempersembahkan kejujuran. Kita bisa bilang kalau kita mencintai keluarga. Kita bisa bilang kalau kita mencintai saudara-saudara kita. Kita bisa bilang bahwa kita mencintai aktivitas kita. Kita bisa bilang bahwa kita mencintai mimpi kita. Kita bisa bilang bahwa kita mencintai Allah dan Rasul melebihi segalanya. Kita bisa bilang apa saja.

Tapi kalau semua itu tidak dilandasi kejujuran, karena apa dan untuk apa mencintainya, kita tahu, kita berpijak pada tempat yang salah. Niatnya sendiri sudah tidak pas. Seperti seorang tokoh penulis novel di film The Bonfire of The Vanaties bernama Peter Fallow (diperankan Bruce Willis) yang berkata, “Apa untungnya bagi manusia jika bisa meraih dunia tapi kehilangan jiwanya?”

Ya, sesederhana itu. Sekarang kita ambil contoh. Tak usah jauh-jauh. Saya ingin jujur-jujuran. Sampai detik saya menuliskan ini, saya masih bercita-cita menjadi The Director of International Medical Center. Tapi, apa artinya bisa punya rumah sakit besar bertaraf internasional, tapi yang kita temui hanya kehampaan semata? Apa artinya menjadi rujukan dunia, sementara dalam hati kita sesungguhnya tahu bahwa itu sia-sia belaka? Bahwa itu semua adalah promosi kesehatan yang gaduh, soft, indah, dan ‘wah’, namun mencemaskan hati di malam-malam kita yang sepi.

Apa artinya menjadi direktur terbaik, jika kita kehilangan hal-hal paling mendasar di dalamnya? Apa artinya mendapat puluhan award internasional, jika itu tidak mendatangkan bahagia? Apa artinya jika untuk mencapai itu semua, untuk meraih satu hal bernama cita-cita, kita harus kehilangan kejujuran dan cinta?

Dua kata yang indah. Dan seharusnya tak bisa dipisah.

Sudahkah? (an)

Rabu, 08 Juni 2011

Lafadz Cinta*

langit tenang berarak

angin lembut mengoyak

wajah mungilmu tersibak


dalam tudungmu

kau menatapku

meruang dan mewaktu

lalu bibirmu bergetar merdu

melafadz bait-bait sendu


“Ya Allah, Tuhan segala manusia,

jauhkan sakitnya, sembuhkanlah ia,

Engkaulah yang menyembuhkan,

tiada kesembuhan selain kesembuhan-Mu,

kesembuhan yang tak meninggalkan sakit lagi setelahnya”


jika mampu saat itu

kuayun jemariku

menyapu butir biru

yang mengembun di bola matamu


“anak manis,

jangan menangis…”

sambil ku aamiin-i pintanya

dengan hati yang gerimis (an)

*untuk yayang, adhis, dan vira

atas do’a penuh cinta

dalam bingkai mukenanya