Laman

Kamis, 23 Februari 2012

Yang Manakah Kita?

Kita ini seperti sapu. Kok bisa? Iya. Sapu itu, ketika ia hanya berdiri sendiri, ia takkan bisa apa-apa. Ia tak mampu membersihkan kotoran. Tapi coba kita lihat, ketika bakal sapu itu sudah menjadi satu, sudah diikat sedemikian rupa, kotoran apa yang tak mampu dibersihkannya? Bahkan kalau (kepepetnya) butuh gebug maling, sapu akan sangat berguna. Hehe, iya kan? Sekarang coba kita bayangkan jika kita hanya sendirian. Apa yang bisa kita lakukan? Bukan tidak mungkin, tapi akan sangat berat. Sekali lagi, sangat berat.

Nah, kalau mau jujur, kita bisa sama-sama belajar dari yang satu ini: sapu. Sama-sama punya beban da’wah, sama-sama punya tanggungjawab, sama-sama berada dalam jamaah. Namun setiap orang memiliki kecenderungan masing-masing.

Ada yang seperti sapu cemara. Sapu yang lembut, teksturnya juga lembut. Bahannya dari pohon cemara. Warnanya kuning dekat ke coklat. Diikat dengan tali dari kain atau rafia, dengan susunan yang sangat rapat. Bukan tanpa tujuan, karena ia biasa dipakai untuk menyapu debu-debu halus dan kotoran lain dalam ruangan. Jika ada saudara yang bisa menjangkau ‘kotoran’ dalam rumah da’wah kita, percayalah. Bahwa ia yang akan melaksanakan. Ia bisa dipercaya untuk menguatkan yang di dalam. Menegur jika satu diantara anggota keluarganya sengaja (na’udzubillah, jangan sampai) atau tidak sengaja mengotori bagian dalam rumahnya. Orang-orang seperti sapu cemara ini akan mudah merasakan debu sekecil apapun bentuknya. Namun sebisa mungkin ia akan membersihkannya dengan hati-hati, dengan lembut. Sebab dia tahu, yang ia bersihkan adalah ‘harta’ dalam rumahnya. Maka, untuk urusan dalam rumah, biarlah orang-orang ini yang menjaga. Agar dalam rumah kita tetap bersih, nyaman dihuni, tidak ngeres, apalagi semrawut.

Tapi ada juga yang seperti sapu ijuk, duk bahasa Jawanya. Warnanya hitam pekat. Serat-seratnya kasar. Disatukan dengan senar sintetis sebesar kenur. Ia tak bisa ditata rapat-rapat, karena memang kaku. Kalau sapu cemara tadi ampuh untuk kotoran dalam rumah, sapu ijuk tidak demikian. Ia lebih pas untuk membersihkan lantai yang permukaannya tidak begitu halus. Ia tidak cocok digunakan untuk menyapu rumah dengan lantai keramik, apalagi marmer. Di teras atau di halaman, kemanfaatannya akan jauh lebih optimal.

Sapu sepet. Warnanya coklat tua. Asalnya dari serabut kulit kelapa yang sudah dikupas. Ia dipadukan menjadi satu juga dengan serabut kelapa yang dipilin. Diikatkan sedemikian rupa hingga jadilah sapu. Tatanan seratnya jarang-jarang. Hampir sama dengan sapu ijuk, ia sangat bisa diandalkan untuk ubin, konblok, dan lantai bersemen kasar.

Satu lagi, sapu lidi. Sudah tahu ya? Asalnya dari tulang daun kelapa. Dibiarkan kering, lalu diikat berumpun dengan kepang melingkar berbentuk cincin. Nampak sederhana. Tampil sangat apa adanya. Mungkin satu saat, bisa kita dapati yang sangat kaku, dan warnanya tak menarik lagi. Ketika masih bersandar di dinding rumah, ia biasa-biasa saja. Bahkan terlihat tak melakukan apa-apa. Namun berbeda hal jika ia sudah turun tangan. Jangkauannya luar biasa. Ia bisa menjangkau jauh dari rumahnya. Pelataran seluas apapun, jalanan sepanjang apapun, akan mampu ia bersihkan. Daun, ranting, plastik, bahkan batu, bisa ia bawa. Terkadang caranya halus, hanya cukup menyentil pelan. Tapi tak jarang ia harus bekerja ekstra, mencongkel kotoran dari tempatnya. Hebatnya, tempat kering berdebu sampai tempat yang becek berlumpur sekalipun, ia tetap bisa bertahan.

Keempat sapu tadi bahannya adalah bahan alami. Orang-orang yang berperan seperti sapu-sapu itu, sudah punya bekal untuk berperan di tempatnya masing-masing. Tapi ada juga sapu yang berbahan sintetis. Ia tak bisa jadi begitu saja. Perlu ditambahkan sekian campuran untuk menjadikannya siap pakai. Ia juga butuh sekian sentuhan untuk menyempurnakan bahan. Namun, jika sapu-sapu sintetis ini sudah jadi, ia akan siap digunakan untuk membersihkan kotoran, dimanapun ia diperlukan. Tak kalah fungsi dari sapu berbahan alami.

Setiap pribadi memiliki potensi. Setiap orang memiliki keistimewaan. Ada yang menjadi sapu cemara, sapu ijuk, sapu sepet, juga sapu lidi. Jika setiap hal itu dapat dipadukan, alangkah luar biasa. Tak perlu memaksakan, karena itulah keberagaman. Allah tak pernah mempersoalkan darimana asal dan bagaimana rupa kita. Allah hanya ingin melihat kontribusi terbaik kita, tanpa kita harus malu untuk menunjukkan siapa diri kita.

Para sahabat adalah figur-figur menarik yang penuh warna. Selama itu berlandas iman dan berhias taqwa, keberagaman itu justru akan menjadi istimewa. Sebab tujuan mereka sama: tegaknya kalimat Allah ‘azza wa jalla.

Abu Bakr Ash-Shiddiq. Benar, membenarkan, dan dibenarkan. Sosoknya lembut, tubuhnya kecil. Pernah suatu ketika, harus membenahi sarungnya yang melorot beberapa kali saat mengimami sholat. Tapi keyakinannya begitu kuat. Kata Baginda SAW, “Andaikan iman seluruh manusia ditimbang pada suatu dacing, dan iman Abu Bakr pada dacing yang lain, niscaya iman Abu Bakr lebih berat.” Allahu Akbar!

Umar Al-Faruq. Sosok yang kuat. Adalah dia yang bersinnya saat memeriksa shaf membuat empat jamaah terjengkang. Pribadi yang tak pernah menyembunyikan perasaannya. Jujur pada Allah, jujur pada manusia. Blak-blakan, keras, tak kenal takut. Berdiri di Ka’bah sebelum hijrah, “Siapa yang ingin anaknya menjadi yatim, istrinya menjadi janda, dan ibunya meratap tiada henti, silahkan hadang Umar di balik bukit ini.” Sang pembeda, yang tak hanya kafir Quraisy, bahkan setan pun takut kepadanya.

Utsman Dzun Nurain. Si pemilik dua cahaya. Si pemalu berakhlaq mulia. Malunya tak hanya pada manusia, tetapi lebih dari itu, pada Allah.

Ali bin Abi Thalib. Pemuda cerdas luar biasa. “Jika aku adalah kota ilmu,” kata Rasulullah, “maka Ali adalah pintunya.”

Abu Ubaidah bin Jarrah. Kepercayaan umat ini. Penampilannya rapi jali. Cerdas, adil, dan pandai mengadministrasi. Sangat dipercaya, sampai orang Romawi yang beragama Nashrani merindukannya. Sangat dipercaya, sampai Baitul Maal kesulitan mencari penggantinya. Ialah orang yang paling terpercaya, bahkan kata Nabi, untuk seluruh umatnya.

Khalid bin Walid, pedang Allah yang terhunus. Ia memang hanya hafal sedikit ayat, tapi ia tak pernah melewati bukit atau lembah melainkan dengan berpikir: jika tempat ini menjadi tempat perang, bagaimana caranya untuk menang. Syaifullah, yang lebih mencintai satu malam yang dingin berjaga dalam perang, daripada bermalam pertama dengan gadis perawan. Ia syahid, meski ia wafat di ranjang.

Hudzaifah bin Yaman. Intelejen paling gemilang, yang bisa duduk di hadapan Abu Sufyan. Ketika yang lain bertanya pada Rasulullah tentang amal yang harus dilakukan, ia bertanya tentang laku yang harus dijauhi. Ia, manusia yang takkan bisa dipaksa bicara, meski oleh Umar sahabatnya. Ia, sang pemegang rahasia.

Abdurrahman bin Auf. Miliyarder yang diberkahi shodaqah dan simpanannya. Orang yang hartanya halal lagi bersih. Dermawan yang masih meninggalkan untuk keluarganya jauh lebih banyak dan lebih baik dari yang ia infaqkan. “Berapa?”, tanya Rasulullah. “Sebanyak rizki, kebaikan, dan pahala yang dijanjikan Allah.”

Generasi pilihan ini adalah manusia biasa yang istiqomah dengan potensi kebaikan yang dimilikinya. Kecenderungan mereka memang berbeda. Dan jadilah itu warna-warna.


Sibghah (celupan warna) Allah. Dan siapakah yang lebih baik sibghah (celupan warna) nya dari pada Allah?...” (Al-Baqarah: 138)


Biarkan masing-masing dari kita mengambil bagian dalam da’wah sesuai porsinya. Ada yang jauh lebih penting untuk dijaga: niat karena Allah ta’ala. Menegakkan panji-Nya hingga tinggi menggapai surga. Hanya kemudian, ingatkan jika ada yang lalai atau terlupa. Dengan akhlaq seorang muslim: tawaa shaubil haqq, wa tawaa shaubish shabr, wa tawaa shaubil marhamah. Dalam kebenaran, dalam kesabaran, dan juga dalam kasih sayang…*** (an)



* untuk kawan-kawan seperjuangan, khusushan para F***M fighters

terinspirasi dari mbah putri seorang ukhti, beberapa waktu lalu di rumah beliau


Referensi:

Departemen Agama RI. 2004. Al-Quran Dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro.

Khalid Muhammad Khalid. 2007. 60 Sirah Sahabat Rasulullah saw.. Jakarta: Al-I’tishom.

Salim A. Fillah. 2005. GueNeverDie. Yogyakarta: Pro-U Media.

Sayyid Muhammad Nuh, DR. 2008. The Winning Generation. Yogyakarta: Uswah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar