Laman

Jumat, 31 Agustus 2012

Kagem Ngarsa Dalem



Ngarsa Dalem yang kuhormati, surat ini ditulis oleh rakyat kepada rajanya. Seorang yang lahir dan tumbuh besar di pangkuan Ngayogyakarta Hadiningrat. Di tlatah ini, legawa telah menjelma menjadi senopati. Tak peduli ada atau tak ada dapur mengepul, rakyatmu telah bahagia dengan semboyan mangan ora mangan sing penting kumpul. Tak terhitung berapa cendekiawan yang menyelesaikan dan melahap ilmu pengetahuan di sini. Di sinilah teh ginasthel dan sega kucing menjadi teman obrolan semalaman.  Di sinilah uni menjadi mbakyu, beta menjadi kawula, dan encing menjadi paklik. Jogja adalah legawa, nrima, dan sendika.

Ngarsa Dalem yang kuhormati, kami sudah lama merindukan cinta bersemi di bumi nusantara. Sebab, kami tak pernah diajari mencintai dengan sepenuh hati. Kami tak biasa dididik mensyukuri karunia. Melainkan yang kami lihat adalah sebaliknya. Paduka, inilah kenyataannya. Para penguasa sibuk berebut tahta, memainkan kekayaan negara, dan berdalih memajukan kesejahteraan bangsa. Sementara banyak rakyat kecil harus terpaksa maling ayam tetangga untuk mengganjal perut mereka. Paduka, cinta bukan kemauan meminta dan menerima, tetapi soal memberi dan melayani. Cinta juga soal prinsip dan tujuan. Cinta adalah ketulusan.

Ngarsa Dalem yang kuhormati, kami sempat merasakan kelemah lembutan dan kearifan tlatah kecil ini menunjukkan sisi lain. Halus budi andhap asor itu siap muntab. Saat seluruh rakyatmu menuntut sematan istimewa sebagai ijab qabul yang harus ditunaikan. Ketika masing-masing pihak di negara ini menunjukkan eksistensi dengan kepentingan mereka masing-masing. Dua periode bukan waktu yang singkat bagi kami untuk mencium intrik yang begitu menyengat. Namun sekali lagi, cinta tak akan berhenti pada poster referendum atau umbul-umbul penetapan. Cinta adalah kesungguhan yang tak dibatasi waktu dan ruang.

Ngarsa Dalem yang kuhormati, setelah ketok palu para wakil rakyat kemarin, sekarang adalah saat pembuktian. Bahwa bumi di mana kita berdiri saat ini adalah istimewa. Istimewa negerinya, istimewa rakyatnya, istimewa pula rajanya. Paduka tak perlu malu untuk turun ke Kali Code, tak perlu sungkan menyapa para simbok bakul di Pasar Niten. Bahkan, pelataran Kraton itu, sesekali Paduka bisa menyapunya sendiri. Tak usah berpikir tentang citra. Sebab pemimpin sejati takkan pernah berlelah-lelah mengejar citra. Sepi ing pamrih, rame ing gawe. Sebagaimana Umar bin Khaththab rela memanggul sendiri karung gandum menembus malam yang dingin. Sebagaimana dengan uangnya Utsman bin Affan pernah membebaskan sumur-sumur untuk rakyat saat kemarau panjang melanda. Sebagaimana Umar bin Abdul Aziz tak beranjak tidur sebelum menyelesaikan urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawabnya. Mereka dicintai rakyatnya, tanpa perlu membangun citra dan memoles rupa.

Ngarsa Dalem yang kuhormati lagi kucintai, jika syarat yang diajukan Istana adalah Paduka harus melepas selempang kepentingan, maka lepaskan. Jika Senayan menghendaki Paduka menanggalkan atribut golongan, maka tanggalkan. Tak usah ragu. Karena dengan begitu, kami justru akan lebih mencintaimu. Sebab Paduka bukan lagi milik sekelompok orang saja, tapi milik kami semua, rakyat Yogyakarta.

Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Pedoman itu sudah diajarkan sejak kami duduk di sekolah dasar. Dan keistimewaan ini Paduka, bukanlah koar-koar belaka. Istimewa tak hanya manis di bibir saja. Kita akan bersama-sama mengabarkan pada dunia, Jogja adalah istimewa. Istimewa mendidik bocah-bocah kecilnya, istimewa mengajari anak-anah mudanya, istimewa mengayomi jiwa-jiwa sepuhnya. Jogja adalah istimewa dalam keistimewaan itu sendiri. Juga bahwa perjuangan akan sampai di ujung penantian. Bahwa cinta masih ada. Bahwa harga diri belum mati. Bahwa rasa handarbeni, rasa memiliki, akan membuat keistimewaan ini lebih berarti.

Ngarsa Dalem yang kuhormati, Paduka adalah raja yang dicintai rakyatnya. Maka pimpinlah kami dengan cinta, dan bimbinglah kami agar semakin mencintai RAJA segala raja. Sehingga ketika Paduka menaati-NYA, kami akan ringan hati menaati Paduka. Dan ketika Paduka membelot dari-NYA (sungguh, kami tak pernah ingin), bukti cinta kami adalah tak segan mengingatkan Paduka. Sebab yang kita tuju adalah sama: cinta-NYA, ridho-NYA, surga-NYA! Semoga…

Ngarsa Dalem yang kucintai, tetaplah rendah hati. Teruslah berbagi dan melayani. Jadilah istimewa dengan sederhana dan bersahaja. Karena kepemimpinan akan dimintai pertanggung jawaban. Dan pemimpin ada bukan untuk diagung-agungkan, melainkan dijadikan teladan…!***

Yogyakarta, 13 Syawal 1433
31 Agustus 2012


Ainun Nahaar