Tempat-tempat istimewa adalah tempat-tempat menyimpan
cerita yang membekas di jiwa. Dan perjalanan istimewa bukan bergantung pada
berapa kilo jaraknya, tetapi sejauh apa jiwa bisa berkelana, hingga menemukan
tempat yang membuatnya bahagia. Bahkan bisa jadi, kawan istimewa adalah mereka
yang setia bersama dalam perjalanan-perjalanan kita. Oleh karena itu, aku
sangat menyukainya. Bepergian, berada dalam perjalanan, safar, bagiku adalah
saat-saat istimewa.
Safar tak hanya membawaku ke tempat-tempat luar biasa
yang membuatku terpana. Lebih dari itu safar menghadirkan tantangan yang
menghadapkanku pada keputusan hitam putih, sehingga aku tahu seperti apa diriku
sejatinya. Safar juga memiliki ruhnya sendiri, ia tumbuh dalam kemampuan untuk
menghitung setiap resiko, memikirkan tiga langkah ke depan, bahkan sebelum
langkah pertama diambil. Safar menggelar sekian banyak pilihan yang
mensyaratkan toleransi dan daya tahan. Safar itu mendewasakan.
Maka takzimku kepada Baginda Nabi yang mengijinkan
bagi siapa yang sedang dalam perjalanan, sedang dalam kondisi safar, dapat
menggabung dan meringkas shalatnya. Karena beliau tahu, safar bukanlah hal yang
gampang. Bahkan Allah pun memberikan keringanan untuk tidak berpuasa Ramadhan.
Oh iya, satu lagi rahasia safar yang sangat kusukai.
Amirul Mukminin ‘Umar bin Khaththab ra pernah menyebutkan tiga hal sebagai
bukti ikatan sebuah perkenalan. “Demi Allah”, kata ‘Umar, “kau sama sekali
tidak mengenalnya!” jika kau belum pernah melalui satu di antara ketiganya.
Apakah itu? Safar, bermalam, dan berhutang. Yap! Jika ingin mengenali diri dan
akhlaq seseorang, maka safar adalah salah satu cara paling bisa diandalkan.
Lebih khusus tentang safar,
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Ustaimin berkata, “Diistilahkan safran [سَفْرًا l] karena diambil dari makna al-isfar [الْإِسْفَارُ ] yaitu: keluar dan terang, nyata. Sebagaimana
dikatakan dalam ungkapan [أَسْفَرَ الصُّبْحُ] yaitu bersinar atau bercahaya. Secara
makna disebut assafaru–safran karena “membuka perihal akhlak seseorang.” Maksudnya,
menjadikan jelas dan nyata keadaannya. Berapa banyak orang yang belum terkuak
jati dirinya, bisa terungkap setelah melakukan safar/bepergian bersamanya.
Ketika dalam safar itulah engkau mengetahui akhlak, perangai dan
wataknya.”
Baiklah.. cukup membahas safar. Kali ini aku akan
bercerita tentang safar yang baru saja kulalui. Berawal dari kepungan tugas dan
amanah di Jogja, tiba-tiba ingin merasakan rehat sebentar saja. Bi idznillah, do’a itu terjawab. Adek
yang mondok Gontor menelpon, “Mbak,
bisa ke pondok? Aku perlu ini ini ini..”. That’s
it! Mbolang Jawa Timur, Rek.. Dan
rencana perjalanan pun dimulai.. Here the
proof:
Tips nya dulu ya…
Pertama: sebisa mungkin sebelum pergi rampungkan tugas,
delegasikan amanah, dan kosongkan waktu agar ketika pergi ndak kepikiran ini
itu.
Kedua: hunting tiket yang sesuai
dengan budget. Biasanya jika ke
Jawa Timur (karena tujuannya adalah Kediri via Jombang), Sancaka atau Argo
Wilis yang jadi andalan. Tapi karena perjalanan kali ini lain dari yang lain,
paket ekonimis pun jadi: berangkat Pasundan jurusan Lempuyangan-Jombang
harganya Rp 55.000,-, pulang pakai Kahuripan jurusan Kediri-Lempuyangan cuma Rp
50.000,-
Ketiga: cari info dan rencanakan trip yang sesuai
dengan waktu dan (sekali lagi) anggaran ^O^
Keempat: bersiaplah dan nikmati kejutan-kejutan
selama perjalanan, hehehe
Kamis,
13 November 2014
Hujaaaaan.
Do’anya: Allahumma shayyiban nafi’an,
Ya Allah turunkanlah hujan yang bermanfaat.. Tenang saja, hujan masih hujan air
kok. Tapi kalau kereta berangkat 14:16 dan jam 13:30 barengannya belum datang,
itu yang rada bikin ndak tenang. Bismillah,
keep calm and stay cool.. Wong mau diburu-buru atau ndak tetap
saja waktunya sudah mepet. Akhirnya yang ditunggu datang juga! :D Karena
kehujanan dan masih lengkap dengan pakaian kantor, jadilah harus menunggu
beliau ganti baju. Ndak jelas berangkat jam berapa, Jogja muacet pol, ditambah
jalan yang licin karena hujan, di tiket parkir stasiun tertera 14:13:33. Dihujani
dag dig dug karena dari kejauhan terdengar PPKA, “Persiapan diberangkatkan dari
jalur 2, KA Pasundan tepat pada waktunya”. Hwaaa, lariiiiiiiiiiiiiiii >_<
Alhamdulillah,
begitu sampai pintu masuk Stasiun Lempuyangan ada security di dalam peron yang melihat kami, “Tahan, satu”. Sambil
memeriksa kartu identitas petugas boarding
pass berkomentar, “Kok bisa hampir ketinggalan ta, Mbak?” Injury time, gumam kami. Peluit
dibunyikan dan kereta berjalan begitu kami naik ke gerbong. Yah, luar biasa!
Jadi harus mensyukuri nikmatnya berjuang sampai detik-detik terakhir, dan harus
siap dengan resiko serta rencana selanjutnya: kalau ketinggalan kereta terus
mau apa..
Menyusuri
rangkaian kereta, kami naik di gerbong 1 padahal tempat duduk kami di gerbong
6, lumayan.. Begitu waktunya cek tiket kereta, Mas Yogi –petugas yang kami tahu
dari name tag di jasnya- berkata,
“Ini yang mau ketinggalan tadi ya?” Jawabku, “Hehe, iya.. kok hafal, Mas?”. “Apal, wong keri dewe, wis arep tak semprit
mau.” Kejadian di Stasiun Lempuyangan itu sangat berkesan, bahkan sampai
kami turun di Stasiun Jombang. “Hati-hati..”, kata Mas Yogi. Hehehe, matur nuwun, Mas..
Sampai
di Jombang, kami shalat dulu, maghrib-isya’ dijamak. Setelah itu barulah kami
mengawali dolan di Alun-alun Jombang, yang notabene cuma di depan stasiun. Oh
iya, tata kota Jombang ini tersentral. Alun-alun, Masjid Agung, dan Pendopo
Kabupaten berada dalam satu komplek, jadi aji
mumpung. Ssst, karena belum sempat buka puasa di kereta, jadilah kami
berburu makan malam sekalian. Ketemu sama Nasi Pecel Tumpang. Makanan khas yang
begitu melihat porsinya, “Lha, kok akeh
banget?” tapi ternyata habis juga, hahaha. Murah meriah, nasi pecel lengkap
dengan kerupuk dan minumnya, berdua Rp 15.000,-. Molas ewu arek loro.. Alhamdulillah..
Puas
mbolang di Jombang, kami meneruskan
perjalanan ke pondok. Gontor Putri 5 Bobosan, Kemiri, Kandangan, Kediri.
Biasanya dari stasiun bisa naik Bus Puspa Indah jurusan Jombang-Malang, per
orang Rp 7.000,- sampai Kandangan. Bus ini beroperasi pertama jam 3 pagi dan
terakhir jam 19.30 dari Jombang. Dari Kandangan naik ojeg ke pondok, harga
standar Rp 10.000,-. Tapi karena kemarin sudah jam 9 malam, kami naik bentor,
Rp 50.000,- sampai pondok. Mas Cokro nama pengemudinya, asli Jombang. Bagi yang
mau mampir ziarah, jalur Jombang-Kandangan ini lewat persis di depan Tebu
Ireng, pondok pesantren sekaligus komplek makam KH. Hasyim Asyari, KH Wahid
Hasyim, dan KH. Abdurrahman Wahid. Sampai Gontor sudah sekitar jam 10, kami istirahat
di Bapenta. Karena Bapenta penuh, tamu yang jenguk santriwati banyak, tengah
malam baru kami bisa beranjak tidur.
Alhamdulillah ‘ala kulli hal, termasuk first experience bagi yang baru pertama dolan ke Jawa Timur.. J
Jumat,
14 November 2014
Segala
puji bagi Allah, yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan hanya
kepada-Nya kami kembali. Jumat Mubarak. Alhamdulillah ndak ketinggalan adzan
shubuh dan tetap bisa shalat berjamaah. Alhamdulillah juga kami dipertemukan
dengan orang-orang baik. Sekeluarga dari Semarang yang memberikan air minumnya,
ibu-ibu dari Bojonegoro yang semalam menawarkan kasurnya dan membelikan teh
panas paginya, juga bapak-bapak yang menunggui putrinya yang baru sakit.
Berasa, “Ini lho, keluarga baru..”. Sarapan di DLP (Depot Laa Tansa Putri),
mumpung adek libur, kemudian kami menghabiskan waktu di pondok saja sampai
waktunya shalat Jumat.
Ba’da
shalat Jumat siap-siap mbolang lagi.
Tujuannya Kediri Kota. Setelah kepo ke dua orang teman yang asli Jombang dan
asli Kediri, kami direkomendasikan untuk sewa kendaraan saja. Setelah
tanya-tanya di sekitar pondok, kami bisa meminjam motor milik tukang ojeg yang
baik hati tapi rada ndak jelas, hehehe. Mengganti Rp 50.000,- ke Pak Sukamto
dan Mas Andi, kami bawa motornya ke Kediri Kota. Menembus hujan, bingung cari
mantol, tapi sudahlah kepalang tanggung niat mbolang. Maju terus pantang mundur. Bahkan sampai Kampung Inggris
di Pare kami belum ketemu toko yang menjual jas hujan. Baru sebelum perbatasan
Pare-Gurah ada toko yang sedia jas hujan. Jalur dari pondok ke Kampung Inggris
bisa dibilang mudah, apalagi dari Pare ke Kediri, plang penunjuk arah gampang
dijumpai. Jadi jangan khawatir kesasar, apalagi kalau ponselnya support untuk GPS. Kalaupun ndak, ada
juga GPS yang tak kalah akurat, Gunakan Penduduk Setempat, hehehe
Dari
Kampung Inggris, kami menuju ke Simpang Lima Gumul (SLG), ikonnya Kediri.
Monumen yang mirip sama L’Arc De Triomphe, Paris. Berasa di Eropa kalau di
sana. Masuk kawasannya gratis, masuk monumennya yang bayar, tapi juga ndak
mahal kok, ndak sampai lima ribu. Monumen SLG hanya dibuka pada hari libur.
Karena kami ke sana hari Jumat, jadi cuma foto-foto di halaman aja. Tapi tetep
kereeenn, apalagi burung-burungnya, bikin atmosfer Eropa makin kentara. Hmmm J
Adzan
ashr kami pindah haluan ke Masjid Agung Kediri. Jaraknya lumayan dari SLG.
Harap dijadikan periksa Saudara-saudara, kami berangkat dari pondok belum makan
siang, jadilah (lagi-lagi) kami kelaparan, hehehe. Muter-muter, cari rawon ndak
nemu yang pas. Ada bebek goreng H. Slamet, gulai kepala ikan Mas Agus, Ayam
Penyet Suroboyo sih sebenernya, tapi kan di Jogja juga ada. Walhasil kami sampai
di Jalan Erlangga, rada kesasar sebenernya. Harusnya belok satu lampu merah
lagi setelah Stadion Brawijaya. Ndakpapa.. Ada dua tempat makan yang jejeran,
Ayam Taliwang sama Batagor Siomay Bakso. Kami pilih warung makan Mr. Jabrik,
pesan siomay, batagor, jus sirsat, dan jus alpukat. Harganya standar, berdua
habis Rp 35.000,- tapi rasanya maknyus (y)
Ada yang menarik waktu kami
makan. Awalnya kami cuma bayar 32ribu, karena tagihannya emang segitu. Tapi
begitu selesai justru kami yang mikir, “Kayaknya yang harus kami bayar ndak
segitu deh, kurang.. Soalnya di daftar menu jus alpukat itu 9ribu, kalau kami
bayar 32, artinya jus alpukat cuma 6ribu..”. Akhirnya kami kroscek lagi ke
kasir, dan ternyata bener, mbak pelayannya salah tulis. Nah, kalau terus ndak
kebayar, kasihan mbaknya harus tombok kan?
Kasihan kami juga kalau ada yang kami makan statusnya samar-samar..
Alhamdulillah, masih dijaga sama Allah J
Berbekal petunjuk dari si
mbak di warung makan kami melanjutkan perjalanan. Sampailah kami di Masjid
Agung Kediri. Masjidnya satu kawasan dengan alun-alun. Seberangan jalan juga
dengan beberapa mall. Setelah shalat (setelah foto-foto juga tentunya) kami ke
alun-alun lewat jembatan penyeberangan, sampai jelang adzan maghrib. Ba’da
shalat maghrib kami berencana ke Dhoho, Malioboronya Kediri. Tetapi karena
hujan, niat itu kami urungkan. Balik kanan saja, menikmati kembali SLG di malam
hari. Bagus kalau malem, tapi kami salah tempat parkir. Jadi harus nyebrang
jalan yang rame banget. Padahal siangnya dari parkiran masuk lewat terowongan
bawah tanah.
Puas di SLG, kami kembali
ke pondok. Mampir Kampung Inggris buat dinner,
without candle light, hehehe. Ndak tahu kenapa, makanan di Pare itu
murah-murah buat hitungan makanan di kawasan wisata. Nasi+ayam goreng
Singgahan+lalap+sambel 8ribu doang, jahe panas 2.500 aja, sambel terong 2ribu
perak. Pare sendiri sejatinya hanya salah satu kecamatan yang ada di Kediri,
tapi saking majunya, sampai punya alun-alun dan terminal sendiri. Joss
pokoknya. Begitu sudah kenyang, siap-siap deh, go back.. Sudah disms adek, jaros
hari Jumat lebih awal setengah jam dari biasanya. Berdo’a bisa sampai pondok
tepat pada waktunya. 20:55, lima menit sebelum jaros. Sebelum masuk ke pondok, kembalikan motor dulu ke Pak Kamto
dan Mas Andi, sambil tanya angkutan kalau mau ke Kediri besok pagi. “Besok nek mau berangkat ngabari aja, tak
anter” Wuih, sip, Mas! :D
Begitu
masuk Bapenta, berasa famous banget..
Diserbu komentar para ibu-ibu PKK, “Si eneng jalan-jalan nggak
ngajak-ngajak..”, “Ini cewek Jogja habis main kemana aja baru pulang?”, “Yang
habis dari Kediri oleh-olehnya mana ini?” Dan senyumku sudah menjawab semuanya
:D
Sabtu,
15 November 2014
Hari
terakhir. Bisa bangun shalat malam saat sebelumnya kelelahan dan kehujanan itu
rasanya awesome J
selepas rangkaian ibadah pagi, mandi, kemas-kemas dimulai. Berencana keluar
dari pondok mruput, karena tujuan kami agak jauh, Air Terjun Dolo di Kawasan
Wisata Besuki. Konon katanya Dolo adalah air terjun paling indah di antara yang
ada di Besuki. Katanya juga transpotnya tidak begitu sulit. Tiket masuknya juga
murah meriah, 3 ribu rupiah! Maka bersemangat sekali kami ke sana.
Namun
tidak tega karena kami membuat adek menunggu malamnya, kami tebus dengan kembali sarapan bersama.
Baru bersamaan adek masuk sekolah, kami pamit pulang. Hohoho, ternyata kami
sudah ditunggu Mas Andi dan kawan ojegnya, weitz
siap siaga nek iki..
Motoran
dari pondok sampai Terminal Pare, 15ribu. Oh ya, kami lewat Candi Surowono juga
lho. Jangan bayangkan candi di Kediri sama dengan Prambanan apalagi
Borobudur.. Hanya areal kecil.
Terminal
Pare. Ponsel kami menunjukkan 07:01. Oke, kita hitung, berapa waktu yang
diperlukan sampai Kediri, kemudian estimasi waktu dari Kediri-Besuki. Kira-kira
juga dari Besuki-Stasiun Kediri (plus cari oleh-oleh) gimana waktunya. Tekad
kami, don’t be late! Ndak lucu kalau
harus lari-lari karena injury time
lagi, hehehe. Hampir satu jam kami menanti Bus Puspa Indah Malang-Kediri. Dua
armada yang datang pertama tujuan Malang semua. Bus ketiga, masih dengan
teriakan, “Malang, Malang, Malang”, membuat kami tak beranjak. Baru setelah bus
itu pergi, ada bapak-bapak menanyai, “Sampean
Kediri?”. Kami mengangguk. “Lha kuwi gek
ntas lewat..”. Eh? Saling berpandanganlah kami. Satu jam menanti, terus kepancal. Tapi ya sudahlah, legawa saja. Ternyata Allah ganti
kemudian, tak sampai lima menit ada bus di belakangnya, busnya juga jauh lebih
nyaman. Kalau sebelumnya tadi bus kota standar ala Kopaja atau Aspada, nah, yang
kami tumpangi bus AC tarif biasa. Alhamdulillah.. Pare-Kediri ongkosnya 6ribu.
Terminal
Tamanan Kediri. Sesuai petunjuk kondektur Puspa Indah, kami harus menyambung
angkot untuk sampai ke Besuki, jurusan Selomangleng katanya. Kami berjalan ke
tempat di mana angkotnya ngetem. Di persimpangan kami ditawari bentor, 20ribu
sampai Selomangleng. Kami menolak. Baru ketika kami diberitahu bapak-bapak dan
ibu-ibu di sebuah warung kalau Besuki itu masih 40 km dari Tamanan, kami
berpikir ulang. Mau ke mana ini? Waktu baru menunjukkan jam 9, sementara kereta
kami masih jam 2 siang. Tapi kalau ke Besuki jelas tak memungkinkan. Atas
arahan pemilik warung, kami pindah haluan ke Selomangleng. Naik bentor. Bentor
yang berada di dekat warung mematok harga 35ribu, itupun dengan sikap yang
kurang bersahabat. “Mbaleni sing pisanan
wau cobi..”. Walhasil, bentor Pak Sukardi yang mengantarkan kami ke
Selomangleng, sekaligus nanti menjemput dan mengantar kami sampai ke stasiun.
Entah
karena Kediri termasuk kabupaten yang kaya, entah model pengelolaan wisatanya
semacam apa, yang jelas retribusi kawasan wisata di Kediri itu keterlaluan
murahnya. Kawasan Besuki cuma Rp 3.000,-. Kawasan Selomangleng Rp 2.000,- untuk
dewasa, Rp 1.000,- untuk anak-anak. Masuk museum Airlangga Rp 1.000,- untuk
dewasa, Rp 500,- untuk anak-anak. Murah sekali kan?
Pagi
jelang siang itu kami habiskan di Selomangleng. Baru mulai kami menjelajahi
pertapaan Dewi Kilisuci itu, ada sebuah pesan masuk, dari Pak Sukardi. “Selamat
bersantai ria”, katanya. Batinku, betul-betul pengemudi sejati beliau ini. Top.
Pukul 11 kami menyudahi jalan-jalan kami. Menuju ke TPR mengambil titipan tas
ransel, kemudian meluncur berburu oleh-oleh. Pak Sukardi menunjukkan di mana
kami bisa mencari oleh-oleh. Kami belanja, Pak Sukardi setia di bentornya. Kemudian
kami percaya, masih banyak orang baik di dunia ini. Dan Alhamdulillah, sejak
awal perjalanan ini kami dipertemukan dengan orang-orang yang baik. Empat puluh
ribu untuk transpot Tamanan-Selomangleng-pusat tahu takwa-stasiun dengan servis
yang sangat memuaskan bukanlah harga yang mahal.
Btw, jika waktu datang kami
melewati Tebu Ireng, pulangnya kami juga melewati pesantren yang tak kalah
kondang: Lirboyo.
Stasiun
Kediri, tepat saat dhuhur. InsyaAllah shalat terakhir dalam safar kami di Jawa
Timur. Masih tergoda mencicipi rawon asli Jawa Timur, sebelum shalat kami
singgah di warung makan dekat stasiun yang menampilkan menu rawon di depan
warung makannya. Sayang kami belum beruntung, rawonnya habis. Tak apalah,
seadanya. “Wong maem kuwi”, kata Ibu,
“lawuhe ngelih..” Ah, iya.. kalau
laper, maem apa saja pasti enak :D
Menikmati
penuh sesak Stasiun Kediri dengan segala rupa dan aktivitas orang-orangnya. Sembari
mengulang ingatan perjalanan tiga hari ini. Sungguh ini tayangan nyata. Babak kehidupan
yang diputar real time di depan mata.
Maka amat sayang jika kita tak dapat mengambil pelajaran darinya. Setiap yang
hadir, yang kita lewati, pasti bukan kebetulan belaka. Atas ijin Allah, semua
bisa menjadikan kita bijaksana jika kita tepat menyikapinya.
Terima
kasih.. Safar ini telah mengajarkan banyak hal.. Safar ini telah mendidikkan
akhlak dan menanamkan kedewasaan.. Safar ini membahagiakan.. :')
14:05.
Lempuyangan, kami datang.. Yogyakarta, kami pulang..
“Barangsiapa
yang ketika bersafar mengalami kesusahan dan keletihan ia tetap berakhlak yang
baik, maka ketika tidak bersafar ia akan beraklak lebih baik lagi. Sehingga
dikatakan, jika seseorang dipuji muamalahnya ketika tidak bersafar dan dipuji
muamalahnya oleh para teman safarnya, maka janganlah engkau meragukan
kebaikannya.” (Ibnu
Qudamah Al-Maqdisi)
mb ainun mahar,sy juga ingin nengok putri sy di gontor kediri bisa minta no telp biar sy bisa japri untuk tahun info rutenya lebih jelas
BalasHapusMbak Ainun... kalo ke Gontor 5 lebih mudah mana bus nya antara dari stasiun jombang dan stasiun Kediri?
BalasHapus