Apa yang terjadi diantara kami, aku dan Mas Bahar
adalah hal yang sangat memilukan. Aku tak memungkiri, hatiku menangis. Aku ini
siapa? Mas Bahar sungguh terlalu. Apakah dia bukan orang Jawa? Atau dia sudah
lupa dengan ke-Jawa-annya? Aku ini wanita. Aku ini orang Jawa. Khadimah Bu Nyai, batur para santri, anak seorang bakul sayur dan buruh bangunan. Mana mungkin berani mendongakkan
kepala, apalagi mengharap cinta dari putra seorang kyai besar.
Dua bulan yang lalu. Seisi pondok berkasak-kusuk
tentang Mas Bahar. Mas Bahar hendak menyunting seorang gadis. Bagiku biasa
saja. Apa yang istimewa? Dia memang sudah mapan. Usia sudah matang, penghasilan
sudah di tangan, agama tak perlu ditanyakan, nasab juga tak diragukan. Tetapi yang
membuat seisi pondok geger adalah
gadis yang ingin disunting Mas Bahar. Kali ini tak seperti biasanya. Mas Bahar,
sebagai putra KH. Imaduddin Sa’id pimpinan pondok, tak berniat melamar putri
kyai seperti kakak dan sanak kerabatnya. Dia justru memilih santriwati biasa.
Dan tahukah siapa santriwati itu? Nurusy Syamsiyah! Aku.
Dia sungguh terlalu.
Tak pernah terbayangkan Mas Bahar akan menaruh hati
padaku. Apa yang Mas Bahar lihat dariku? Aku hanya seorang yatim piatu. Anak
dari keluarga kere. Bapak dan ibuku
tak lulus SD. Dan aku sendiri tak tamat SMP. Sedangkan dia? Seorang sarjana
yang disegani adik-adik, teman-teman, bahkan kakak angkatannya. Salah satu pengasuh
pondok yang begitu luas wawasannya. Putra kyai besar, yang tak hanya beragama
dan dihormati, namun juga berpendidikan tinggi. Kenapa Mas Bahar tidak memilih
gadis lain yang sepadan dengannya?
Dia sungguh terlalu.
Selama ini Mas Bahar memang simpatik padaku.
Sepertinya tak hanya padaku, hampir semua anggota pesantren dia perhatikan. Dia
memang baik. Dia akrab dengan adikku. Tentang status pendidikanku, dia tak
pernah mempermasalahkan, bahkan mengungkitpun tidak. Dia hanya selalu mendukung
serta menyemangatiku untuk menuntut ilmu dan berkarya. Dia memang selalu ada
jika aku membutuhkan bantuan. Dia memang mendengarkan setiap yang kuceritakan:
tentang para santri, pengurus pondok, dan yang lain. Tapi bukankah itu memang
kewajibannya sebagai bagian pengasuhan? Kami sering bertemu dan berdiskusi.
Banyak hal. Urusan pesantren, urusan jamaah ta’lim di luar pesantren, bahkan
sampai urusan pribadi kami. Dia pernah melibatkanku dalam acara keluarganya.
Ketika KH. Imaduddin atau Hj. Muzayyanah memerlukan bantuan khusus, aku kerap ditimbali. Wajar. Aku ini santriwati
sekaligus pengurus pondok, dan beliau adalah pimpinan pondok. Ndherek saja. Namun, akhirnya aku menyadari:
memang aku yang paling sering!
Dia sungguh terlalu.
Aku meneteskan air mata. Tetesan itu semakin lama
semakin deras. Aku tergugu. Kenapa jalan takdirnya seperti ini? Kenapa berita
yang seharusnya membahagiakan hatiku datang sekarang. Satu-satunya nama pemuda
yang membuat hatiku bergetar mendengarnya adalah Mas Bahar. Muhammad
Baharuddin. Berita yang seharusnya membuat hatiku berbunga itu justru membuat
hatiku terasa pilu luar biasa.
Dia sungguh terlalu.
Kuakui pernah terbesit keinginan memiliki pendamping
hidup seperti Mas Bahar. Yang mau menerimaku apa adanya. Yang kami bersama-sama
memperjuangkan cita-cita. Yang bersamanya aku tak hanya bertambah aman, yang
lebih utama bertambah iman. Tapi membayangkan Mas Bahar sendiri yang
mencintaiku? Itu sama saja mengada-ada. Aku sadar. Aku ini pungguk, dan dia itu
bulan. Jika memang iya, semestinya Mas Bahar yang mengulurkan tangan. Hampir
setiap hari bertemu, tidak sekalipun Mas Bahar mengungkapkan perasaannya yang
mungkin hanya perlu waktu satu dua menit. Atau kalau tidak, hanya dengan
beberapa larik kata tulisannya.
Dia sungguh terlalu.
Menyatakan cinta untuk menikah di jalan Allah bukan
perbuatan tercela. Tetapi Mas Bahar tidak keliru. Dia telah menempuh jalan yang
benar. Mas Bahar adalah pemuda shalih yang penuh pertimbangan. Dia juga anak sangat
yang berbakti. Dia sudah mengutarakan isi hatinya, bukan padaku, tapi pada
orang tuanya. Yang terlalu sesungguhnya Pak Kyai dan Bu Nyai. Mereka berdua
sungguh terlalu. Atau justru akulah yang terlalu. Aku yang begitu dungu.
Mas Bahar sakit sekian lama. Bu Nyai murung, dirundung
bingung selama itu pula. Urusan pondok terbengkalai di mana-mana. Bahkan
kekerabatan dalam keluarga Pak Kyai juga merenggang. Semua ini karenaku? Karena
Mas Bahar mencintaiku? Mencintai seorang gadis yang tak menyelesaikan
pendidikan formal? Sedang di luar sana, banyak kyai yang membuka pintu
lebar-lebar untuk berbesanan dengan KH. Imaduddin Sa’id. Cinta macam apa yang
menyisakan nelangsa dan air mata?
Aku yang terlalu.
Tak tahu diri. Tak tahu berterima kasih. Diwenehi ati isih ngragah rempela!
Kurang baik apa keluarga Pak Kyai padaku? Sampai aku tega menyakiti sekian
banyak orang. Bahkan sampai menurunkan derajat dan nama baik keluarga beliau. Kurang
apa perhatian keluarga beliau sebagai guru? Sampai aku masih menaruh harap akan
hadir sebagai menantu.
Dalam hati aku mengutuk semboyan orang Jawa: alon-alon waton kelakon! Jadinya selalu
terlambat. Jika sejak awal aku matur pada
Pak Kyai semuanya tentang diriku, tak hanya pada Mas Bahar. Jika dua tahun lalu,
setelah aku sembuh, aku bersegera menyelesaikan semua ‘PR’ tentang pendidikanku,
membuatku minimal sama dengan para lulusan SMA. Jika sejak Mas Bahar mulai
mencintaiku, atau sejak Mas Bahar tahu semua tentang diriku, dia mengucapkan lima
kata saja: “Dik, maukah kau menikah denganku?” atau justru “Maaf Dik, jangan
berharap padaku!”. Maka takkan ada kepiluan ini.
Sungguh jika tak ada pilu sembilu ini, dan ternyata Mas
Bahar datang memilihku, aku tak perlu beristikharah berkali-kali untuk menjawab
“iya”. Aku sudah mengenal Mas Bahar. Mas Bahar juga sudah mengenalku. Namun
siapa yang yang mampu menarik mundur waktu.
Aku yang terlalu.
Dulu Pak Kyai sendiri yang memintaku nyantri sambil mengurusi pondok. Bersama
dengan berita pilu ini sampai ke telingaku, Pak Kyai kembali meminta, tapi kali
ini memintaku berhenti nyantri
sementara dari pondok. Aku paham maksud beliau. Aku tak menyalahkan kebijakan
beliau. Aku yakin, keputusan itu lahir dari kejernihan akal dan kebeningan
nurani. Ini demi kebaikan semuanya. Meski rasanya teriris, aku hanya bisa ndherek: nrima dan legawa.
Aku yang terlalu.
Apabila aku menyalahkan orang lain, sementara aku tak
menilik diriku sendiri. Apabila aku tak berbaik sangka pada-Nya, tapi juga tak
mencoba berburuk sangka pada diriku. Apabila setelah semua yang terjadi ini aku
tak kunjung berbenah dan menata diri. Apabila aku kembali menunda. Padahal kaidah
kebaikan yang Kanjeng Nabi ajarkan tak hanya bersegera, melainkan fastabiqul khairat: berlomba-lomba.
Aku yang terlalu.
Rasa cintaku pada Allah masih terlampau kecil,
sehingga tak takut membuat-Nya cemburu, tak mampu mengusir yang hadir di hatiku
yang mungkin menggeser cinta pada-Nya. Pada-Nya rinduku juga belum
menggebu-gebu. Karena jika aku sudah rindu yang teramat sangat, aku pasti hanya
merana karena mengharap rinduku terbalas oleh-Nya. Aku tak mungkin merana
karena rindu pada yang lain. Jika aku sudah sibuk memikirkan Allah, aku takkan
sibuk memikirkan yang lain. Seperti perkataan Ibnu Athaillah nomor 202 dalam
kitab Al-Hikam: Laa yukhrijusy syawata
minal qalbi illa khaufun muz’ijun aw syaqun muqliqun, tiada yang bisa
mengusir syahwat (kecintaan pada kesenangan dunia) dari hati selain ketakutan
(pada Allah) yang menggetarkan, atau kerinduan (pada Allah) yang meresahkan.
Aku yang terlalu.
Sudah tahu dalam hati ada penyakit, tak kunjung
mencari penawar. Sudah tahu luka semakin menganga, tak juga menutupnya.
Sungguh. Akulah yang terlalu.
Rabb, ampuni diri ini… ampuni diri ini… sampai sembuh
kembali…
Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu)
orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit,
dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang
apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat
akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang
dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan
perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. (QS. Ali Imran: 133-135)***
Reff:
Al-Qur’an dan Terjemahnya
Al-Hikam karya Ibnu Athaillah As-Sakandari, diterjemahkan
Ibnu Badawi
sebelum
besok pagi diperiksa lagi dan fisioterapi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar