Laman

Minggu, 28 April 2013

Kewajiban vs Hak


Asal muasalnya bahasan ini adalah taujih pernikahan dari gurunda Mohammad Fauzil Adhim yang diemailkan kepada saya dalam bentuk power point. Sejatinya ini adalah tentang bagaimana berinteraksi, lebih khusus lagi, berinteraksi antara suami dan istri dalam rumah tangga. Walaupun saya sudah jadi ‘ibu rumah tangga’, tapi karena belum ketemu bapak rumah tangga yang sesungguhnya, jadi saya ndak akan menuliskan secara spesifik tentang interaksi suami istri. Saya coba menuangkan .ppt itu ke dalam power  paragraph, dengan bahasa yang berbeda dan sedikit kontekstual.
Di antara yang sangat membekas bagi saya adalah soal hak dan kewajiban. Mana yang harus didahulukan? Saya ingat, saat masih SD dulu ada pelajaran PPKn (sekarang giliran saya jadi guru pelajaran ini sudah ndak ada). Nah, dalam PPKn itu diajarkan bahwa kita boleh meminta hak jika kita sudah melaksanakan kewajiban. Pertanyaannya, sudahkah yang kita lalukan sehari-hari selaras dengan pengamalan Pancasila? Terlebih jika tujuh kata yang raib itu kembali bertandang di sila pertama.
Sunnatullahnya tak akan ada dua kesibukan dalam waktu yang bersamaan. Sehebat apapun kemampuan multi tasking yang dilakukan raga, jiwa kita bukanlah komputer berprosesor ganda. Jika kita tidak disibukkan oleh taat, kita akan disibukkan oleh maksiat. Pun dengan ini, jika kita tidak disibukkan dengan kewajiban, kita akan disibukkan dengan hak.
Mereka yang bersibuk-sibuk dengan hak, berlelah-lelah dengan tuntutan, bersiaplah jika mereka akan mudah kecewa. Meski secara prinsip haknya terpenuhi, mereka takkan berhenti mencari kepuasan hati. Dan kepuasan hati ini sangat sulit ditemui, manakala mereka memperturutkan ambisi.
Sedangkan yang mengutamakan kewajiban, dadanya akan lebih lapang. Ridha dan besar hati. Mereka sangat ringan berucap terima kasih dan mudah menyampaikan maaf. “Terima kasih” untuk kebaikan orang lain sekecil apapun, dan “Maaf” untuk kesalahan diri sekecil apapun. Mereka yang mendahulukan kewajiban, akan sangat peka untuk merasakan dan mengenali kebaikan. Hanya pengabaian serius yang membuatnya kecewa. Karena semangat mereka bukan semata mencari kesenangan diri, tetapi melayani.
Contoh sederhana. Kewajiban seseorang yang berjanji adalah menepati. Bahkan Baginda yang Mulia mengisyaratkan bahwa yang mengingkari janji adalah satu di antara tanda orang munafik. Perkara yang dijanjeni lupa, berhalangan, atau mendadak tidak bisa, itu soal lain. Apalagi ketika sudah menyertakan “Insya Allah”, wuih, ini nih. Insya Allah ini pengganti kata “iya”, bukan pengganti kata “mungkin”. Sudah 99,99% bisa. “Ho’o tenan, tak usahakke!”, kasarnya. Dan hanya udzur syar’i yang menggugurkannya.
Kewajiban seseorang yang meminjam adalah merawat barang pinjaman sebaik-baiknya, lalu mengembalikan. Jika ada seseorang yang meminjam sesuatu kepada saudaranya dengan niat tidak mengembalikan, sudah dianggap mencuri lho! Ayo, dihitung. Dicek lagi. Yang di rumah masih ada barang pinjaman, yang di catatan keuangan masih tertulis hutang, berusahalah untuk segera menuntaskan. Seorang syahid saja, kalau masih punya tanggungan di dunia, bisa tertunda masuk surga. Apalagi yang belum jelas begini macam kita?
Kewajiban tamu? Ketuk pintu, salam, kula nuwun. Dan batasnya cukup tiga kali. Kalau dibukakan pintu dan dipersilahkan masuk, masuklah. Kalau ketukan pintu dan salam tak terjawab, pulang. Ndak boleh nggersula, karena memang begitu adabnya.
Yah, fokus saja pada kewajiban kita. Sementara hak kita, tak perlu pusing memikirkannya. Jika setiap jiwa berlomba-lomba untuk mendahulukan kewajibannya, tumbuh suburlah itsar dengan iffah yang terjaga.
Malam ini, ternyata Laila wan Nahaar punya kisah serupa. Sama-sama membuat janji untuk mengembalikan barang pinjaman. Tentu, karena status kami adalah peminjam, kami yang mendatangi si empu. Saya berniat mengembalikan buku, saudari saya ini mau mengembalikan kamera Digital Sing Larang Regane (DSLR), takut bawa lama-lama katanya. Sama-sama sudah sampai di tempat yang bersangkutan, sama-sama tepat seperti waktu yang dijanjikan, tetapi kami sama-sama belum bisa ketemu si empu. Dan kok ya sebabnya sama: sms ‘kula nuwun’ yang telat.
Maka menyepilah kami di salah satu sudut Jalan Godean. Ditemani dua gelas susu, tiga lembar roti gandum, dan empat tusuk sate.  Berbincanglah kami kemana-mana. Dan sepulangnya kami dari sana: jika hari ini kewajiban itu belum terlaksana, setidaknya Engkau tahu bahwa kami sangat ingin menuntaskannya. Semoga masih ada waktu untuk kami melakukan semua esok lusa.*** (an-270413)
NB: buat Lala, thank you so much, Say… anti berhasil membuatku memesan, meminum, dan menghabiskan segelas susu murni PERTAMA KALI seumur hidupku :D 

1 komentar: