Asal muasalnya bahasan ini adalah taujih pernikahan dari gurunda Mohammad Fauzil Adhim yang
diemailkan kepada saya dalam bentuk power
point. Sejatinya ini adalah tentang bagaimana berinteraksi, lebih khusus
lagi, berinteraksi antara suami dan istri dalam rumah tangga. Walaupun saya
sudah jadi ‘ibu rumah tangga’, tapi karena belum ketemu bapak rumah tangga yang
sesungguhnya, jadi saya ndak akan
menuliskan secara spesifik tentang interaksi suami istri. Saya coba menuangkan
.ppt itu ke dalam power paragraph, dengan bahasa yang berbeda dan
sedikit kontekstual.
Di antara yang sangat membekas bagi saya adalah soal hak dan
kewajiban. Mana yang harus didahulukan? Saya ingat, saat masih SD dulu ada
pelajaran PPKn (sekarang giliran saya jadi guru pelajaran ini sudah ndak ada).
Nah, dalam PPKn itu diajarkan bahwa kita boleh meminta hak jika kita sudah
melaksanakan kewajiban. Pertanyaannya, sudahkah yang kita lalukan sehari-hari
selaras dengan pengamalan Pancasila? Terlebih jika tujuh kata yang raib itu
kembali bertandang di sila pertama.
Sunnatullahnya tak akan ada dua kesibukan dalam waktu yang bersamaan. Sehebat
apapun kemampuan multi tasking yang
dilakukan raga, jiwa kita bukanlah komputer berprosesor ganda. Jika kita tidak
disibukkan oleh taat, kita akan disibukkan oleh maksiat. Pun dengan ini, jika
kita tidak disibukkan dengan kewajiban, kita akan disibukkan dengan hak.
Mereka yang bersibuk-sibuk dengan hak, berlelah-lelah dengan
tuntutan, bersiaplah jika mereka akan mudah kecewa. Meski secara prinsip haknya
terpenuhi, mereka takkan berhenti mencari kepuasan hati. Dan kepuasan hati ini
sangat sulit ditemui, manakala mereka memperturutkan ambisi.
Sedangkan yang mengutamakan kewajiban, dadanya akan lebih lapang.
Ridha dan besar hati. Mereka sangat ringan berucap terima kasih dan mudah
menyampaikan maaf. “Terima kasih” untuk kebaikan orang lain sekecil apapun, dan
“Maaf” untuk kesalahan diri sekecil apapun. Mereka yang mendahulukan kewajiban,
akan sangat peka untuk merasakan dan mengenali kebaikan. Hanya pengabaian serius yang membuatnya kecewa.
Karena semangat mereka bukan semata mencari kesenangan
diri, tetapi melayani.
Contoh sederhana. Kewajiban seseorang yang berjanji adalah menepati.
Bahkan Baginda yang Mulia mengisyaratkan bahwa yang mengingkari janji adalah
satu di antara tanda orang munafik. Perkara yang dijanjeni lupa, berhalangan, atau mendadak tidak bisa, itu soal
lain. Apalagi ketika sudah menyertakan “Insya
Allah”, wuih, ini nih. Insya Allah
ini pengganti kata “iya”, bukan pengganti kata “mungkin”. Sudah 99,99% bisa. “Ho’o tenan, tak usahakke!”, kasarnya. Dan
hanya udzur syar’i yang
menggugurkannya.
Kewajiban seseorang yang meminjam adalah merawat barang pinjaman sebaik-baiknya, lalu mengembalikan. Jika ada seseorang yang meminjam sesuatu kepada
saudaranya dengan niat tidak mengembalikan, sudah dianggap mencuri lho! Ayo,
dihitung. Dicek lagi. Yang di rumah masih ada barang pinjaman, yang di catatan
keuangan masih tertulis hutang, berusahalah untuk segera menuntaskan. Seorang
syahid saja, kalau masih punya tanggungan di dunia, bisa tertunda masuk surga.
Apalagi yang belum jelas begini macam kita?
Kewajiban tamu? Ketuk pintu, salam, kula nuwun. Dan batasnya cukup tiga kali. Kalau dibukakan pintu dan
dipersilahkan masuk, masuklah. Kalau ketukan pintu dan salam tak terjawab,
pulang. Ndak boleh nggersula, karena memang begitu adabnya.
Yah, fokus saja pada kewajiban kita. Sementara hak kita, tak perlu
pusing memikirkannya. Jika setiap jiwa berlomba-lomba untuk mendahulukan
kewajibannya, tumbuh suburlah itsar
dengan iffah yang terjaga.
Malam ini, ternyata Laila wan
Nahaar punya kisah serupa. Sama-sama membuat janji untuk mengembalikan barang
pinjaman. Tentu, karena status kami adalah peminjam, kami yang mendatangi si
empu. Saya berniat mengembalikan buku, saudari saya ini mau mengembalikan
kamera Digital Sing Larang Regane
(DSLR), takut bawa lama-lama katanya. Sama-sama sudah sampai di tempat yang
bersangkutan, sama-sama tepat seperti waktu yang dijanjikan, tetapi kami
sama-sama belum bisa ketemu si empu. Dan kok ya sebabnya sama: sms ‘kula nuwun’ yang telat.
Maka menyepilah kami di salah satu sudut Jalan Godean. Ditemani dua
gelas susu, tiga lembar roti gandum, dan empat tusuk sate. Berbincanglah kami kemana-mana. Dan sepulangnya
kami dari sana: jika hari ini kewajiban itu belum terlaksana, setidaknya Engkau
tahu bahwa kami sangat ingin menuntaskannya. Semoga masih ada waktu untuk kami
melakukan semua esok lusa.***
(an-270413)
NB: buat Lala, thank you so much, Say… anti berhasil
membuatku memesan, meminum, dan menghabiskan segelas susu murni PERTAMA KALI
seumur hidupku :D
Berarti besok bisa bawain susu, nih...
BalasHapus