Iron Man 3 kayaknya bakal heboh. Tapi percayalah,
saya tidak bermaksud menambah kehebohan itu dengan menghubungkannya sama UN. Memang
karena ndak ada hubungannya. Iron Man
3 itu cocoknya kalau dihubungkan sama Man of Steel, baru tambah heboh. Saking hebohnya,
kita sering terlupa, bahwa tetap saja mereka fiktif, representasi dari rasa
frustasi tentang dunia yang semakin tidak pasti. Juga keyakinan bahwa hanya ada
satu dua orang extra ordinary people
yang mampu membuat perubahan.
Lalu mengakarlah di alam bawah sadar tentang
pahlawan yang membawa perubahan instan. Menjamur pula media-media yang
mewajibkan perubahan satu malam. Akhirnya lahirlah generasi yang tidak sabar
terhadap perubahan. Mudah memuja, pun mudah mencaci. Kita lupa kalau di dunia film,
kita bisa menyulap masa-masa penuh nestapa, merombak carut marut secara
suka-suka, dan menentukan sendiri ending
cerita. Di dunia nyata, kita harus menghadapi dan merasakan setiap detik dari
setiap peristiwa, tanpa tahu cerita akan berujung seperti apa.
Nah, kalau sudah sampai di sini, barulah dia persis
seperti UN. Hari ini (22/4) UN tingkat SMP dimulai. Di tingkat SMA kemarin, 11
provinsi harus menunggu hingga Kamis (18/4) untuk melahap soal UN 2013.
Faktornya ‘remeh’, teramat teknis bagi penyelenggaraan evaluasi tahap akhir
siswa. Apapun bentuk dan namanya, program ini sudah berjalan puluhan tahun,
lebih tua dari usia saya. Percetakan terlambat produksi, kualitas menurun, dan
produksi tersentral di Jawa. UN tingkat SMP juga aneh-aneh lagi, di Palu soalnya kurang dan harus difotocopy. Efeknya persis, mental siswa terganggu, guru-guru
resah, distributor kelabakan untuk pengiriman, muncul dugaan tak sedap saat
tender, ramai perbincangan “Mendikbud turun saja”, dan kini justru terbit lagi wacana
(lama) UN dihapus.
Yang pertama jadi sorotan, jelang UN
sekolah-sekolah ramai mengadakan berbagai acara: do’a bersama, muhasabah, istighasah, shalawatan, training
motivasi, dan sebagainya. Entah UN itu dianggap momok yang mengerikan hingga
harus memberanikan diri dengan acara-acara seperti ini, entah acara-acara
seperti ini sudah jadi ritual tahunan yang wajib diselenggarakan layaknya MOS,
atau motif yang lain. Husnuzhan kita
tujuannya menyiapkan psikologis untuk menghadapi UN. Acara semacam ini
sebetulnya bagus. Tetapi sama saja bohong kalau saat muhasabah semua siswa nangis kenceng-kenceng, guru pontang-panting prepare acara, lalu pada hari H kunci
jawaban, kertas contekan, sms bocoran, uang pelicin, atau apapun bentuk
kecurangan lainnya bertebaran dimana-mana. Air mata dibalas dengan air tuba.
Soal teknis dan dugaan-dugaan saat tender itu saya
hanya mencoba yang merangkum beberapa pertanyaan dan pernyataan. “Kalau tidak
siap“, singgung Bang Miing, “kenapa bisa menang tender? Geografis Indonesia
yang luas, kenapa semua terpusat di Jawa?”. Banyak siswa menanyakan kenapa
kertasnya sangat tipis. Inspektur IV Inspektorat Jenderal Kemendikbud
menyatakan PT. Ghalia Printing tidak mampu menyelesaikan soal beres H-2 UN. Di
sisi lain, direktur utamanya mengaku banyak bahan materi tidak tertampung dan
perlu menambah pekerja. Jadilah kita mengeryitkan dahi dan setengah geleng
kepala, kalau begini, spesifikasi perusahaan ikut tender bagaimana?
Wacana Pak Menteri mundur dan UN dihapus. Rak tenan ta? Pinginnya perbaikan
simsalabim lagi. Bangsa kita ini terbiasa grusa-grusu.
Belajar ngaji bukan dari alif, belajar ngeja bukan dari a. Kalau tiap
kementerian ada masalah terus menterinya mengundurkan diri, lha ya repot. Bisa raib nanti kata
tanggung jawab dari KBBI. Lha wong
Century dan Hambalang belum beres juga walaupun menterinya sudah mengundurkan
diri. Ini harusnya bisa jadi momen tepat evaluasi total pelaksanaan UN.
Kriteria kelulusan yang tiap tahun berubah, membuat siswa jadi bahan percobaan.
Percobaan di laboratorium nasional, dengan sampel jutaan anak kelas 6 SD, 9
SMP, dan 12 SMA, dibiayai negara dengan budget
setengah trilyun pula! Belum lagi Kurikulum 2013 yang tak luput dari
kontroversi. Imbasnya nanti evaluasi tahap akhir juga harus diselaraskan dengan
kurikulum yang diterapkan. Gonta-ganti kebijakan UN selama ini sudah cukup jadi
‘uji coba’ yang menempatkan calon penerus bangsa sebagai taruhannya.
Adik-adikku yang mengikuti UN tahun ini, stay cool, kalem, dan fokus. Persiapan
yang cukup membuat berapapun set soal, kita pandang bukan sebagai masalah.
Soal-soal itu tetap hidangan penutup istimewa. Dengan 20 varian menu yang
berbeda.
Guru-guru yang (kami do’akan) benar-benar bisa digugu lan ditiru, laksanakan
tugas kalian sebagai Panitia Pelaksana Ujian Nasional dengan sebaik-baiknya.
Tugas pelaksana itu bukan hanya melaksanakan UN sesuai juklak dan juknis,
tetapi juga mengajari semua siswa. Mengajari mereka untuk jujur dan bersahaja.
Orangtua yang harap-harap cemas menanti putra-putri
membabat LJK, teruslah membantu buah hati Ibu/Bapak semua dengan do’a dan
kelapangan dada.
Para pejabat UPT, Dinas, sampai Kemendikbud, bangsa
yang besar adalah bangsa yang bersedia belajar dari kesalahannya, dari
ketidaktepatan gerak sejarahnya, dari ongkos mahal yang harus dibayar untuk trial n’ error masa lalunya. Bangsa yang
(akan menjadi) besar selalu membutuhkan kesabaran untuk setia dalam proses.
Tidak sekedar melakukan perubahan instan dalam hitungan hari atau bulan. Bangsa
yang besar adalah bangsa yang bersedia berpikir panjang, termasuk dalam
memikirkan gerak perjuangannya.
Jadi pahlawan sesungguhnya adalah mereka yang
bertahan di jalan perjuangannya masing-masing, dan tidak kehilangan harapan. Hati
mereka tulus dan saling terkait, dengan penduduk bumi, lebih-lebih penduduk
langit. Ikatan inilah yang sejatinya akan melahirkan extra ordinary power yang mampu membuat perubahan.
Tidak harus berotot kawat atau bertulang besi,
Kawan. Terus saja melangkah di jalan kebenaran, engkau takkan pernah berjalan
sendirian…***
Jangan lupa Iron Lady...
BalasHapus