Lepas ashr. Saya keluarkan Gaza dan siap meretas jalan
perjuangan lagi bersamanya. Bersamaan dengan itu, langit yang sedari tadi
berwarna kelabu menumpahkan tetes-tetes air hujan. Namun agenda harus tetap
berjalan, janji harus tetap dipenuhi.
Menghitung-hitung jarak, waktu, dan agenda yang akan
dilalui. Dengan kondisi yang hujan deras begitu, pergi bareng Gaza bukan tidak
bisa. Hanya kurang efisien. Rumah saya di Jl. Magelang, masih masuk ke barat.
Agenda saya sore tadi ke Karangwaru, ambil stempel dan sekilas membicarakan FASI
dengan Ketua BADKO TKA-TPA Rayon Tegalrejo. Lanjut ke Sagan, kampung halaman
saya dulu. Ini sudah janji berbulan-bulan yang lalu, tapi belum juga
terlaksana. Silaturahim dan ngangsu
kawruh ke salah satu TPA. Waktu saya hanya ba’da ashr sampai maghrib.
Karena setelah itu saya harus memberi les privat. Belum lagi salah satu remaja
masjid minta bimbingan untuk persiapan OSN Fisika SMA. Yang saya sebut terakhir
ini, bisa disemayani, sudah saya
jawab saat di Kediri kemarin Jum’at, kalau Sabtu-Ahad ini jadwal saya full. Akhirnya saya coba sms ke dua
orang, pinjam motor. Alhamdulillah salah satunya pas luang, motornya nganggur.
Bismillah, 15.20 sekian saya berangkat. Gaza saya
tinggal di rumah mbak-mbak yang motornya saya pinjam. Tak bisa langsung
berangkat, ngayawara dulu dengan
bapaknya si mbak, karena beliau pas di ruang tamu. Sampai di Karangwaru jam
berapa tepatnya saya ndak tahu,
langsung apa perlune aja. Kemarin
saya menawarkan ketemu jam 16.00 untuk silaturahimnya, maka saya usahakan
betul, jam segitu saya sudah berada di lokasi. Pukul 15.48 saya pamit dari
rumah Ketua Rayon. Melewati Jl. AM. Sangaji, belok kiri ke Jl. Prof. Dr.
Sardjito, lurus sampai Bundaran UGM, lalu ke selatan menuju Jl. Cik Di Tiro.
Sampai gang di setalan RS Panti Rapih itu ke timur, masuk Kampung Sagan. Karena
cuma gerimis, tak seperti di Tegalrejo yang deras pakai sekali, saya berhenti
beberapa meter setelah masuk gapura. Saya melepas jas hujan, lalu saya lipat.
Ah, iya, sekalian buka hp. Ternyata ada sms, mengabarkan bahwa pengirimnya –sang
Direktur TPA- sedang dalam perjalanan dari luar kota. Intinya telat, gitu.
Kemudian saya berpikir, enaknya nunggu dimana? Saya timbang-timbang, ke toko
buku aja. Jadilah saya balik, urung ke TPA, menyusuri Jl. Cik Di Tiro ke
selatan.
Pukul 16.02 saya sampai di toko buku. Toko buku yang
dekat Perpus Kota lho, bukan yang pas perempatan Sudirman. Saya sudah lama ndak beli apa-apa di sana. Saat SMP bisa
dibilang sepekan tiga kali saya ke sana, karena sekolah saya (SMPN 8) memang
dekat Gr*m*d**. Tapi saya ndak pernah
beli. Cari aja buku yang bagus di sana, belinya di luar. Alasannya? Mahal,
hehe. Kalau sekarang bukan itu. Walaupun harga juga salah satu faktornya :D peningkatanlah,
lebih ke alasan ideologis. Saya habiskan sore tadi dengan menjelajahi rak buku
di T*g* M*s. Saya baca beberapa buku bagus yang segelnya terbuka. Sudah pukul
16.48, tak terasa. Saya cari buku lagi, kalau ada yang cocok nanti beli. Saya
dapat satu: Khadijah, karya Sibel Eraslan. Lalu saya kembali berkendara ke
utara.
Pukul 17.01 saya berhenti tepat di depan mushalla. Saya sudah mengirimkan sms ke
direkturnya, tapi belum ada balasan. Saya tunggu. Saya masih di atas motor.
Lima belas menit berlalu. Orang yang saya tunggu belum juga nampak. Baiklah, saya
tunggu saja di rumah pakdhe saya, tak
jauh dari mushalla. Bi idznillah, sampai ba’da maghrib tak
ada sms yang masuk ke hp saya. “Pakdhe,
Budhe, Mbak, kula wangsul nggih…”, saya pamit. Dan saya (lagi-lagi) belum
bisa sowan ke TPA tadi.
Di perjalanan pulang saya berpikir. Memikirkan
perjalanan saya sore tadi. Dan entah kenapa, saya jadi kepikiran sa’i. Mungkin karena bolak-balik. Hanya
saja, saya belum ketemu zamzamnya.
Ngomong-ngomong soal sa’i, ini tulisan note fb saya sekitar satu tahun yang
lalu:
Derap
langkah empat kaki itu melintas di sebuah lembah padang pasir. Kosong, terik,
liar, gersang, dan tak berpenghuni. Derap langkah itu adalah milik seorang
lelaki yang mulai menua, dan seorang wanita dengan bayi merah di gendongannya.
Perjalanan dari Al-Quds menuju Baitil Atiq sungguh lebih dari cukup untuk
membuat kaki terasa penat. Mereka berhenti. Dan bayi yang menangis kehausan itu
mulai menyusu pada ibunya.
Tetapi
laki-laki itu, suaminya yang shalih, tiba-tiba saja berjalan ke arah utara.
Sekilas sang istri melihat ada kaca-kaca di pelupuk matanya. Dan sang suami
terus berjalan. Hingga kemudian sang istri sadar: ia dan bayinya telah
ditinggalkan. Ia mengejar. Wanita yang shalihah ini berlari kecil. Sambil
menenangkan putranya yang terguncang dalam gendongan.
“Mengapa
kau tinggalkan kami, Ibrahim?”, serunya penuh tanya.
Ibrahim
tak menjawab. Ia hanya berhenti sejenak, menghela nafas dan menahan isak.
“Mengapa
kau tinggalkan kami, Ibrahim?”
Yang
ditanya tetap diam. Ia tak mampu menjawab. Sungguh-sungguh tak mampu menjawab.
Ia hanya melangkah lagi, mengambil arah sedikit menyerong, menghindar dari
istrinya yang menghadang.
“Mengapa
kau tinggalkan kami, Ibrahim?”
Ibrahim
masih tidak bergeming. Dalam hatinya berkecamuk sejuta rasa. Berpuluh tahun ia
menanti hadirnya waris, buah hati tercinta. Ia lalui setiap malam dengan do’a,
memohon ada tangis kecil yang memecah kesunyian rumahnya. Dan Allah memberinya
anugerah itu: Isma’il. Tapi kini, tiba-tiba Allah memintanya meninggalkan
Isma’il dan ibunya di tempat tak bersahabat ini.
Mengapa
harus berprasangka pada Allah dengan yang tak semestinya? Sungguh, Ibrahim
ridha dengan perintah-Nya. Hanya saja ia tak sanggup menjawab Hajar. Lapis
bening di matanya sudah berubah menjadi genangan. Hatinya gerimis.
“Apakah
ini perintah Allah?”, tiba-tiba Hajar mengubah pertanyaan.
Ibrahim
terhenyak. Ia berhenti sesaat, kemudian berbalik. Ibrahim memandang bola mata
Hajar yang bening dalam-dalam. Kedua tangannya menggenggam lengan-lengan Hajar.
“Ya”, katanya. Ia kembali menghela nafas, panjang dan berat. “Ini perintah
Allah.”
Sesaat
hening. Hanya angin gurun yang terdengar. Mereka berpelukan. “Kalau ini
perintah Allah”, bisik Hajar di telinga suaminya, “Dia sekali-kali takkan
pernah menyia-nyiakan kami.”
***
Keluarga
kecil ini, sungguh menjadi potret bagaimana sebuah keluarga berdiri di atas
iman yang amat kokoh. Ya, mereka: Ibrahim, Hajar, dan Isma’il.
Yang sangat masyhur adalah kisah
ketegaran Ibrahim dan kesabaran Isma’il saat perintah tak dinyana-nyana itu
datang. Bapak dan anak ini mampu menjadi tonggak kemenangan penaklukan hawa
nafsu. Juga kekalahan nyata tipu daya kelicikan iblis yang bersemayam tidak di
kuburan, tempat angker, atau segitiga bermuda. Justru yang paling bahaya: di
kedalaman hati manusia. Kita boleh saja berdalih, bahwa pengorbanan yang ‘tidak
manusiawi’ Ibrahim dan Isma’il itu terjadi semata-mata karena keduanya adalah
nabi dan rasul. Sehingga tentu saja dikaruniai ketegaran, kesabaran, dan
kekuatan iman yang luar biasa dari Allah.
Tapi benarkah begitu? Jika anak
yang dikasihinya, ditunggu-tunggu puluhan tahun lamanya, akhirnya anak shalih
yang sedang tumbuh dewasa ini atas kehendak Allah harus disembelih untuk-Nya,
siapa yang paling sedih? Hati mana yang paling sakit saat itu: Ibrahim sebagai
bapak atau Ibrahim sebagai nabi? Pun sebelumnya Allah tak memberi tahu bahwa
Dia akan menggantikan Isma’il dengan hewan sembelihan. Kalau sudah tahu duluan,
kita mah juga bisa…
Maka
tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa
aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab:
"Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah
kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (Ash-Shaffat:
102)
Sekarang
keduanya telah menjadi bagian dari masa lalu, yang selain indah dikenang, juga
menjadi ibrah bagi generasi
sesudahnya.
***
Sekarang kita bersama-sama
mencoba mengambil ibrah dari sosok
wanita luar biasa dalam keluarga mereka: Bunda Hajar.
Ya
Rabb kami, sesungguhnya telah kutempatkan sebagian keturunanku di lembah yang
tak bertanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati. Ya Rabb kami, (yang demikian
itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia
cenderung kepada mereka, dan karuniailah mereka rizqi dari buah-buahan,
mudah-mudahan mereka bersyukur. (Ibrahim: 37)
Membaca
ayat ini hatiku bergetar. Betapa sungguh keluarga itu dibangun dengan dasar
iman, ditata sedemikian rupa dengan iman, dan tetap dimahkotai dengan iman.
Ibrahim, kekasih Allah, bapak para anbiya’
itu membuktikan cintanya dengan iman. Begitu juga dengan istrinya.
“Kalau
ini perintah Allah, Dia sekali-kali takkan pernah menyia-nyiakan kami.”
Luar
biasa mendengarnya! Ya, ini adalah gejolak rasa yang menjelma jadi percaya.
Betapa yakinnya, betapa teguhnya.
Kita
bisa membayangkan, sangat manusiawi jika saat itu Hajar tak terima ditinggalkan
begitu saja di padang gersang. Tanpa tumbuhan, tanpa makan, tanpa kawan. Apa
yang dilakukan Hajar bukan hal yang mudah. Lebih tepatnya, sama sekali tidak
mudah. Kita berandai-andai, kalau keberatan manusiawi itu ia turutkan, tentu
kita takkan mengenal zamzam. Dan tentu, tak ada sa’i antara Shafa dan Marwah…
***
Tangis Isma’il makin menjadi. Ia
kehausan akibat terik yang membakar. Air susu ibunya tak cukup untuk
menghilangkan dahaga. Sejauh mata memandang, Hajar tak melihat mata air, satu
pun. Hajar hanya berdua dengan bayi yang terus menangis di gendongannya.
Ibrahim meninggalkan mereka berdua. Sungguh, Hajar yakin Tuhannya takkan pernah
menyia-nyiakan mereka. Tapi si kecil terus meminta.
Air. Dimana ia harus mencari?
Hajar tinggalkan bayinya sendirian di gurun tak berpenghuni. Ia berlari menuju
Shafa. Tidak ia jumpai. Ia berlari lagi, ke bukit Marwah. Hasilnya juga sama.
Ia kembali berlari. Melawan panasnya matahari dan liarnya gurun siang itu.
Peluh menetes ke tanah tak bertuan itu entah yang keberapa. Ia terus berlari,
Shafa-Marwah, sampai tujuh kali banyaknya.
Allah menjawab keyakinan Hajar.
Air jernih menyejukkan itu dihadirkan-Nya. Bukan di Shafa, bukan pula di
Marwah. Tapi justru di bawah telapak kaki putranya. “Zam! Zam!” dari hentakan kaki si kecillah air itu muncul. Sungguh,
Allah takkan pernah menyia-nyiakan mereka.
***
Allah
abadikan perjuangan Hajar dengan sebuah rukun dalam haji dan umrah. Luar biasa
bukan? Ya, Sa’i. Berlari-lari kecil dari Shafa ke Marwah. Lewat seorang al-akh (yang tidak disebut namanya ini)
saya jadi tahu, sa’i berasal dari kata sa’aa
- yas’a - sa’yun. Terdiri dari sin,
‘ain, dan ya’ yang artinya
berjalan. Secara bahasa lagi, kali ini yang ngendika
ustadz Ghozali Mukri, bisa berarti berjalan, lari, usaha, kerja.
Bunda Hajar, istri dari bapak
para nabi ini memberikan teladan, bahwa kebaikan apapun yang kita upayakan, hendaknya
mengandung minimal satu diantara empat pengertian tadi. Berjalan, lari, usaha,
atau kerja. Tak ada yang menyangsikan keyakinan Hajar. Tapi apa kemudian bunda
kita ini hanya berhenti pada keyakinan? Tidak. Ia sempurnakan keyakinannya dengan usaha yang sungguh-sungguh.
Ditinggal seorang diri bersama si kecil di tengah gurun itu sudah berat, namun
ia memilih untuk tidak memberatkan diri. Hajar tetap bekerja keras. Ia terus
berlari, menerjang ganasnya padang gersang siang hari.
Saat
Isma’il kecil terus menangis kehausan, Hajar memulai pencariannya dari Shafa
dan berhenti di Marwah. Menariknya adalah, kalau sekedar melihat ada atau
tidaknya air, bukankah sekali saja cukup? Tapi mengapa Hajar mengulang larinya
sampai tujuh kali? Karena Hajar berusaha menyempurnakan
ikhtiarnya mencari penawar dahaga untuk putra tercinta. Walaupun akhirnya
air itu justru tidak Hajar dapatkan di Shafa atau Marwah. Namun di bawah
telapak Isma’il, keluar dari hentakan-hentakan kakinya, zamzam.
Shafa mempunyai arti
bersih, suci. Sedangkan Marwah berarti puas. Jika kita mau
merenungkan lebih dalam, kedua bukit ini tidak semata-mata simbol. Dua bukit
ini adalah saksi. Bahwa di antara keduanya pernah ada wanita yang mendidikkan
kesungguhan sekaligus ketangguhan luar biasa untuk memperjuangkan sesuatu yang lebih
menarik lagi, BUKAN untuk dirinya.
Setiap
usaha, setiap kerja, setiap kebaikan yang kita upayakan harusnya berangkat dari
‘shafa’ ini. Dari kebersihan hati, dari kesucian niat. Dengan berangkat dari
situ, semoga ikhtiar kita bisa berhenti pada ‘marwah’, pada kepuasan.
Sekalipun, ‘zamzam’ kita mungkin tidak di situ. Sekalipun jawaban ikhtiar kita
bisa jadi berada di tempat yang lain, dalam bentuk yang lain. Kewajiban kita
adalah berusaha sebaik-baiknya. Sekalipun harus berpayah-payah, harus
berlelah-lelah, namun di situlah nikmatnya. Dan berbaik sangkalah bagaimanapun
nanti Allah menentukan hasil sa’i kita. Biarkan iman yang bicara, bahwa tiada
yang sia-sia di hadapan-Nya. Insya Allah.
Kesediaan
untuk tidak melulu memperjuangkan diri sendiri juga perlu kita tanamkan. Jika
kita bisa bermanfaat bagi orang lain, mengapa tidak? Justru kemauan untuk
berbuat lebih banyak bagi umat inilah yang akan menumbuhkan komitmen.
Dan ketika komitmen itu sudah mengakar dalam diri kita, kita akan memiliki
pandangan yang jauh ke depan tentang apa yang ingin kita beri pada Islam.
Sebuah visi yang benar dan BESAR, yang sungguh-sungguh kita upayakan.
Sehingga dengan itu, semoga Allah berkenan membalasnya dengan ajran kabiiran. Juga surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai, yang Allah janjikan bagi siapa yang
berjuang di jalan-Nya. Wallahu a’lam bish
shawab. (an)
Dalam sa’i –kalau boleh diibaratkan begitu- sore tadi,
ternyata zamzam saya tidak di Karangwaru, tidak pula di Sagan. Tapi saya
peroleh di Kotabaru, dan kesejukannya justru saya teguk di ruang tamu rumah
saya. Zamzamnya belum ketemu sore tadi, baru setelah ngeles saya temui. Zamzam yang membuat saya kembali mengolah
tulisan lama. Zamzam yang membuat saya mengoreksi Shafa-Marwah perjalanan saya.
Karena tak disangka-sangka, saat saya baca, buku ini mengisahkan Hajar pada 18
halaman prolognya…*** (an-200413)
ajarkan pada kami, Bunda
Hajar…
bagaimana iman menghalau
kekhawatiran yang membakar…
NB: zamzam-nya masih ada satu lagi, dapat kursi gratis Training
Marketing Online yang harga tiketnya ratusan ribu :) alhamdulillah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar