Laman

Minggu, 21 April 2013

Zamzam


Lepas ashr. Saya keluarkan Gaza dan siap meretas jalan perjuangan lagi bersamanya. Bersamaan dengan itu, langit yang sedari tadi berwarna kelabu menumpahkan tetes-tetes air hujan. Namun agenda harus tetap berjalan, janji harus tetap dipenuhi.
Menghitung-hitung jarak, waktu, dan agenda yang akan dilalui. Dengan kondisi yang hujan deras begitu, pergi bareng Gaza bukan tidak bisa. Hanya kurang efisien. Rumah saya di Jl. Magelang, masih masuk ke barat. Agenda saya sore tadi ke Karangwaru, ambil stempel dan sekilas membicarakan FASI dengan Ketua BADKO TKA-TPA Rayon Tegalrejo. Lanjut ke Sagan, kampung halaman saya dulu. Ini sudah janji berbulan-bulan yang lalu, tapi belum juga terlaksana. Silaturahim dan ngangsu kawruh ke salah satu TPA. Waktu saya hanya ba’da ashr sampai maghrib. Karena setelah itu saya harus memberi les privat. Belum lagi salah satu remaja masjid minta bimbingan untuk persiapan OSN Fisika SMA. Yang saya sebut terakhir ini, bisa disemayani, sudah saya jawab saat di Kediri kemarin Jum’at, kalau Sabtu-Ahad ini jadwal saya full. Akhirnya saya coba sms ke dua orang, pinjam motor. Alhamdulillah salah satunya pas luang, motornya nganggur.
Bismillah, 15.20 sekian saya berangkat. Gaza saya tinggal di rumah mbak-mbak yang motornya saya pinjam. Tak bisa langsung berangkat, ngayawara dulu dengan bapaknya si mbak, karena beliau pas di ruang tamu. Sampai di Karangwaru jam berapa tepatnya saya ndak tahu, langsung apa perlune aja. Kemarin saya menawarkan ketemu jam 16.00 untuk silaturahimnya, maka saya usahakan betul, jam segitu saya sudah berada di lokasi. Pukul 15.48 saya pamit dari rumah Ketua Rayon. Melewati Jl. AM. Sangaji, belok kiri ke Jl. Prof. Dr. Sardjito, lurus sampai Bundaran UGM, lalu ke selatan menuju Jl. Cik Di Tiro. Sampai gang di setalan RS Panti Rapih itu ke timur, masuk Kampung Sagan. Karena cuma gerimis, tak seperti di Tegalrejo yang deras pakai sekali, saya berhenti beberapa meter setelah masuk gapura. Saya melepas jas hujan, lalu saya lipat. Ah, iya, sekalian buka hp. Ternyata ada sms, mengabarkan bahwa pengirimnya –sang Direktur TPA- sedang dalam perjalanan dari luar kota. Intinya telat, gitu. Kemudian saya berpikir, enaknya nunggu dimana? Saya timbang-timbang, ke toko buku aja. Jadilah saya balik, urung ke TPA, menyusuri Jl. Cik Di Tiro ke selatan.
Pukul 16.02 saya sampai di toko buku. Toko buku yang dekat Perpus Kota lho, bukan yang pas perempatan Sudirman. Saya sudah lama ndak beli apa-apa di sana. Saat SMP bisa dibilang sepekan tiga kali saya ke sana, karena sekolah saya (SMPN 8) memang dekat Gr*m*d**. Tapi saya ndak pernah beli. Cari aja buku yang bagus di sana, belinya di luar. Alasannya? Mahal, hehe. Kalau sekarang bukan itu. Walaupun harga juga salah satu faktornya :D peningkatanlah, lebih ke alasan ideologis. Saya habiskan sore tadi dengan menjelajahi rak buku di T*g* M*s. Saya baca beberapa buku bagus yang segelnya terbuka. Sudah pukul 16.48, tak terasa. Saya cari buku lagi, kalau ada yang cocok nanti beli. Saya dapat satu: Khadijah, karya Sibel Eraslan. Lalu saya kembali berkendara ke utara.
Pukul 17.01 saya berhenti tepat di depan mushalla. Saya sudah mengirimkan sms ke direkturnya, tapi belum ada balasan. Saya tunggu. Saya masih di atas motor. Lima belas menit berlalu. Orang yang saya tunggu belum juga nampak. Baiklah, saya tunggu saja di rumah pakdhe saya, tak jauh dari mushalla. Bi idznillah, sampai ba’da maghrib tak ada sms yang masuk ke hp saya. “Pakdhe, Budhe, Mbak, kula wangsul nggih…”, saya pamit. Dan saya (lagi-lagi) belum bisa sowan ke TPA tadi.
Di perjalanan pulang saya berpikir. Memikirkan perjalanan saya sore tadi. Dan entah kenapa, saya jadi kepikiran sa’i. Mungkin karena bolak-balik. Hanya saja, saya belum ketemu zamzamnya.
Ngomong-ngomong soal sa’i, ini tulisan note fb saya sekitar satu tahun yang lalu:

Derap langkah empat kaki itu melintas di sebuah lembah padang pasir. Kosong, terik, liar, gersang, dan tak berpenghuni. Derap langkah itu adalah milik seorang lelaki yang mulai menua, dan seorang wanita dengan bayi merah di gendongannya. Perjalanan dari Al-Quds menuju Baitil Atiq sungguh lebih dari cukup untuk membuat kaki terasa penat. Mereka berhenti. Dan bayi yang menangis kehausan itu mulai menyusu pada ibunya.
 Tetapi laki-laki itu, suaminya yang shalih, tiba-tiba saja berjalan ke arah utara. Sekilas sang istri melihat ada kaca-kaca di pelupuk matanya. Dan sang suami terus berjalan. Hingga kemudian sang istri sadar: ia dan bayinya telah ditinggalkan. Ia mengejar. Wanita yang shalihah ini berlari kecil. Sambil menenangkan putranya yang terguncang dalam gendongan.
“Mengapa kau tinggalkan kami, Ibrahim?”, serunya penuh tanya.
Ibrahim tak menjawab. Ia hanya berhenti sejenak, menghela nafas dan menahan isak.
“Mengapa kau tinggalkan kami, Ibrahim?”
Yang ditanya tetap diam. Ia tak mampu menjawab. Sungguh-sungguh tak mampu menjawab. Ia hanya melangkah lagi, mengambil arah sedikit menyerong, menghindar dari istrinya yang menghadang.
“Mengapa kau tinggalkan kami, Ibrahim?”
Ibrahim masih tidak bergeming. Dalam hatinya berkecamuk sejuta rasa. Berpuluh tahun ia menanti hadirnya waris, buah hati tercinta. Ia lalui setiap malam dengan do’a, memohon ada tangis kecil yang memecah kesunyian rumahnya. Dan Allah memberinya anugerah itu: Isma’il. Tapi kini, tiba-tiba Allah memintanya meninggalkan Isma’il dan ibunya di tempat tak bersahabat ini.
Mengapa harus berprasangka pada Allah dengan yang tak semestinya? Sungguh, Ibrahim ridha dengan perintah-Nya. Hanya saja ia tak sanggup menjawab Hajar. Lapis bening di matanya sudah berubah menjadi genangan. Hatinya gerimis.
“Apakah ini perintah Allah?”, tiba-tiba Hajar mengubah pertanyaan.
Ibrahim terhenyak. Ia berhenti sesaat, kemudian berbalik. Ibrahim memandang bola mata Hajar yang bening dalam-dalam. Kedua tangannya menggenggam lengan-lengan Hajar. “Ya”, katanya. Ia kembali menghela nafas, panjang dan berat. “Ini perintah Allah.”
Sesaat hening. Hanya angin gurun yang terdengar. Mereka berpelukan. “Kalau ini perintah Allah”, bisik Hajar di telinga suaminya, “Dia sekali-kali takkan pernah menyia-nyiakan kami.”
***
Keluarga kecil ini, sungguh menjadi potret bagaimana sebuah keluarga berdiri di atas iman yang amat kokoh. Ya, mereka: Ibrahim, Hajar, dan Isma’il.
                Yang sangat masyhur adalah kisah ketegaran Ibrahim dan kesabaran Isma’il saat perintah tak dinyana-nyana itu datang. Bapak dan anak ini mampu menjadi tonggak kemenangan penaklukan hawa nafsu. Juga kekalahan nyata tipu daya kelicikan iblis yang bersemayam tidak di kuburan, tempat angker, atau segitiga bermuda. Justru yang paling bahaya: di kedalaman hati manusia. Kita boleh saja berdalih, bahwa pengorbanan yang ‘tidak manusiawi’ Ibrahim dan Isma’il itu terjadi semata-mata karena keduanya adalah nabi dan rasul. Sehingga tentu saja dikaruniai ketegaran, kesabaran, dan kekuatan iman yang luar biasa dari Allah.
                Tapi benarkah begitu? Jika anak yang dikasihinya, ditunggu-tunggu puluhan tahun lamanya, akhirnya anak shalih yang sedang tumbuh dewasa ini atas kehendak Allah harus disembelih untuk-Nya, siapa yang paling sedih? Hati mana yang paling sakit saat itu: Ibrahim sebagai bapak atau Ibrahim sebagai nabi? Pun sebelumnya Allah tak memberi tahu bahwa Dia akan menggantikan Isma’il dengan hewan sembelihan. Kalau sudah tahu duluan, kita mah juga bisa…
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (Ash-Shaffat: 102)
Sekarang keduanya telah menjadi bagian dari masa lalu, yang selain indah dikenang, juga menjadi ibrah bagi generasi sesudahnya.
***
                Sekarang kita bersama-sama mencoba mengambil ibrah dari sosok wanita luar biasa dalam keluarga mereka: Bunda Hajar.

Ya Rabb kami, sesungguhnya telah kutempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tak bertanaman di dekat rumah-Mu yang dihormati. Ya Rabb kami, (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka, dan karuniailah mereka rizqi dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (Ibrahim: 37)

Membaca ayat ini hatiku bergetar. Betapa sungguh keluarga itu dibangun dengan dasar iman, ditata sedemikian rupa dengan iman, dan tetap dimahkotai dengan iman. Ibrahim, kekasih Allah, bapak para anbiya’ itu membuktikan cintanya dengan iman. Begitu juga dengan istrinya.
“Kalau ini perintah Allah, Dia sekali-kali takkan pernah menyia-nyiakan kami.”
Luar biasa mendengarnya! Ya, ini adalah gejolak rasa yang menjelma jadi percaya. Betapa yakinnya, betapa teguhnya.
Kita bisa membayangkan, sangat manusiawi jika saat itu Hajar tak terima ditinggalkan begitu saja di padang gersang. Tanpa tumbuhan, tanpa makan, tanpa kawan. Apa yang dilakukan Hajar bukan hal yang mudah. Lebih tepatnya, sama sekali tidak mudah. Kita berandai-andai, kalau keberatan manusiawi itu ia turutkan, tentu kita takkan mengenal zamzam. Dan tentu, tak ada sa’i antara Shafa dan Marwah…
***
                Tangis Isma’il makin menjadi. Ia kehausan akibat terik yang membakar. Air susu ibunya tak cukup untuk menghilangkan dahaga. Sejauh mata memandang, Hajar tak melihat mata air, satu pun. Hajar hanya berdua dengan bayi yang terus menangis di gendongannya. Ibrahim meninggalkan mereka berdua. Sungguh, Hajar yakin Tuhannya takkan pernah menyia-nyiakan mereka. Tapi si kecil terus meminta.
                Air. Dimana ia harus mencari? Hajar tinggalkan bayinya sendirian di gurun tak berpenghuni. Ia berlari menuju Shafa. Tidak ia jumpai. Ia berlari lagi, ke bukit Marwah. Hasilnya juga sama. Ia kembali berlari. Melawan panasnya matahari dan liarnya gurun siang itu. Peluh menetes ke tanah tak bertuan itu entah yang keberapa. Ia terus berlari, Shafa-Marwah, sampai tujuh kali banyaknya.
                Allah menjawab keyakinan Hajar. Air jernih menyejukkan itu dihadirkan-Nya. Bukan di Shafa, bukan pula di Marwah. Tapi justru di bawah telapak kaki putranya. “Zam! Zam!” dari hentakan kaki si kecillah air itu muncul. Sungguh, Allah takkan pernah menyia-nyiakan mereka.
***
Allah abadikan perjuangan Hajar dengan sebuah rukun dalam haji dan umrah. Luar biasa bukan? Ya, Sa’i. Berlari-lari kecil dari Shafa ke Marwah. Lewat seorang al-akh (yang tidak disebut namanya ini) saya jadi tahu, sa’i berasal dari kata sa’aa - yas’a - sa’yun. Terdiri dari sin, ‘ain, dan ya’ yang artinya berjalan. Secara bahasa lagi, kali ini yang ngendika ustadz Ghozali Mukri, bisa berarti berjalan, lari, usaha, kerja.
                Bunda Hajar, istri dari bapak para nabi ini memberikan teladan, bahwa kebaikan apapun yang kita upayakan, hendaknya mengandung minimal satu diantara empat pengertian tadi. Berjalan, lari, usaha, atau kerja. Tak ada yang menyangsikan keyakinan Hajar. Tapi apa kemudian bunda kita ini hanya berhenti pada keyakinan? Tidak. Ia sempurnakan keyakinannya dengan usaha yang sungguh-sungguh. Ditinggal seorang diri bersama si kecil di tengah gurun itu sudah berat, namun ia memilih untuk tidak memberatkan diri. Hajar tetap bekerja keras. Ia terus berlari, menerjang ganasnya padang gersang siang hari.  
Saat Isma’il kecil terus menangis kehausan, Hajar memulai pencariannya dari Shafa dan berhenti di Marwah. Menariknya adalah, kalau sekedar melihat ada atau tidaknya air, bukankah sekali saja cukup? Tapi mengapa Hajar mengulang larinya sampai tujuh kali? Karena Hajar berusaha menyempurnakan ikhtiarnya mencari penawar dahaga untuk putra tercinta. Walaupun akhirnya air itu justru tidak Hajar dapatkan di Shafa atau Marwah. Namun di bawah telapak Isma’il, keluar dari hentakan-hentakan kakinya, zamzam.
Shafa mempunyai arti bersih, suci. Sedangkan Marwah berarti puas. Jika kita mau merenungkan lebih dalam, kedua bukit ini tidak semata-mata simbol. Dua bukit ini adalah saksi. Bahwa di antara keduanya pernah ada wanita yang mendidikkan kesungguhan sekaligus ketangguhan luar biasa untuk memperjuangkan sesuatu yang lebih menarik lagi, BUKAN untuk dirinya.
Setiap usaha, setiap kerja, setiap kebaikan yang kita upayakan harusnya berangkat dari ‘shafa’ ini. Dari kebersihan hati, dari kesucian niat. Dengan berangkat dari situ, semoga ikhtiar kita bisa berhenti pada ‘marwah’, pada kepuasan. Sekalipun, ‘zamzam’ kita mungkin tidak di situ. Sekalipun jawaban ikhtiar kita bisa jadi berada di tempat yang lain, dalam bentuk yang lain. Kewajiban kita adalah berusaha sebaik-baiknya. Sekalipun harus berpayah-payah, harus berlelah-lelah, namun di situlah nikmatnya. Dan berbaik sangkalah bagaimanapun nanti Allah menentukan hasil sa’i kita. Biarkan iman yang bicara, bahwa tiada yang sia-sia di hadapan-Nya. Insya Allah.
Kesediaan untuk tidak melulu memperjuangkan diri sendiri juga perlu kita tanamkan. Jika kita bisa bermanfaat bagi orang lain, mengapa tidak? Justru kemauan untuk berbuat lebih banyak bagi umat inilah yang akan menumbuhkan komitmen. Dan ketika komitmen itu sudah mengakar dalam diri kita, kita akan memiliki pandangan yang jauh ke depan tentang apa yang ingin kita beri pada Islam. Sebuah visi yang benar dan BESAR, yang sungguh-sungguh kita upayakan. Sehingga dengan itu, semoga Allah berkenan membalasnya dengan ajran kabiiran. Juga surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, yang Allah janjikan bagi siapa yang berjuang di jalan-Nya. Wallahu a’lam bish shawab. (an)

Dalam sa’i –kalau boleh diibaratkan begitu- sore tadi, ternyata zamzam saya tidak di Karangwaru, tidak pula di Sagan. Tapi saya peroleh di Kotabaru, dan kesejukannya justru saya teguk di ruang tamu rumah saya. Zamzamnya belum ketemu sore tadi, baru setelah ngeles saya temui. Zamzam yang membuat saya kembali mengolah tulisan lama. Zamzam yang membuat saya mengoreksi Shafa-Marwah perjalanan saya. Karena tak disangka-sangka, saat saya baca, buku ini mengisahkan Hajar pada 18 halaman prolognya…*** (an-200413)

ajarkan pada kami, Bunda Hajar…
bagaimana iman menghalau kekhawatiran yang membakar…

NB: zamzam-nya masih ada satu lagi, dapat kursi gratis Training Marketing Online yang harga tiketnya ratusan ribu :) alhamdulillah…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar