Laman

Senin, 08 April 2013

Arti Kehadiranmu


  Jum’at adalah hari istimewa. Ah, sebetulnya istimewa itu sederhana, tergantung bagaimana mengartikannya. Tetapi entah kenapa, ada yang lain di hari itu bagi keluarga saya. Hari Jum’at –bagi banyak orang- merupakan hari pendek. Bagi saya tidak, tetap 24 jam, sama, bahkan kuduga sejak 1993.

  Jika kalian merasa kehangatan dan kedekatan keluarga adalah istimewa, berarti kita sama. Namun itu justru saya rasakan lewat cara yang sangat sederhana. Dulu sekali, saat ibu masih sugeng, sepulang sekolah di hari Jum’at (karena pulang gasik), kami sering memasak bersama. Dan disela-sela mengupas bawang, memotong wortel, mencincang seledri, dan menggoreng tempe itu saya dan ibu sering ngobrol kesana-kemari. Mulai dari kenapa kalau masak lebih baik bawangnya berjumlah ganjil dan cabainya berjumlah genap, sampai terkadang wejangan yang saat itu saya hanya bisa berucap, “Nggih”. Nggih yang jarang kepanggih. Heran betul saya waktu itu, bocah durung gaduk kuping kok dituturi werna-werna ta, Bu? Tak menyangka itulah bekal yang ibu saya siapkan sedari awal, ajaran yang ibu saya didikkan, karena lisan mulia itu takkan bisa lagi bercerita, 9 hari setelah hari lahir ketigabelas putrinya.

  Selepas kepergian ibu, hari Jum’at tetap menjadi hari yang istimewa.Di hari yang merupakan harinya ummat Islam itu, banyak yang Rasul ajarkan sebagai bagian dari sunnah. Memotong kuku, membersihkan telinga, mencukur kumis. Hal yang nampak sederhana sekali bukan? Tetapi di saat itulah momen yang paling tepat, paling dekat, dan paling hangat –di keluarga saya- untuk berbagi asa dan cerita. Kami bertiga.

  Adik saya adalah laki-laki yang cuek, tapi sejatinya sangat sensitif. Sama seperti bapak, lebih banyak diam. Karena itu dia tidak biasa mengungkapkan perasaannya, apa yang ada dalam hatinya. Pada satu titik, perasaan itu terkadang muncul dalam dua titik ekstrem: menangis atau marah.

  Pernah suatu hari, seharian saya mendapati wajah tak bersahabat dan kalimat ketus dari adik saya. Pagi sebelum berangkat sekolah, ia tetap berpamitan, tetapi beda dari biasanya. Diam, tanpa kata-kata yang menjadi “ritual” wajibnya. Tiada cipika-cipiki. Hanya cium tangan lantas mengucap salam. Siangnya, saya tak sempat pulang ke rumah karena langsung mengisi sebuah training. Saya kirimkan sms kepadanya:
Mas, maaf, mbak ngisi, nanti pulang sore..
Adik saya membalas:
Ra sah pulang sisan, Mbak

  Deg! Dalam hati saya bertanya-tanya, salah apa saya? Sejak tadi pagi sampai sesiang itu adik saya belum luluh juga. Saya mengingat-ingat. Dan, astaghfirullah! Ini hari Jum’at, batin saya. Pagi buta ba’da shubuh saya harus menemani tetangga ke warnet untuk ngeprint kerjaan, karena malamnya printer di rumah saya ngadat. Saat kembali ke rumah, sudah hampir jam 6. Saya langsung bergegas menyiapkan kebutuhan pagi adik saya, tapi saya melupakan satu hal! Saya belum memotongkan kuku dan membersihkan telinganya.
  Pun ketika mengenang bapak. Sebelum seda, bapak menderita sakit jantung, organnya sudah mengalami penurunan fungsi sehingga tak mampu lagi optimal memompa cairan ke seluruh tubuh. Maka cairan yang tak bisa teralirkan itu turun ke kaki, dan kaki beliau menjadi bengkak. Tahukah apa yang membuat hati ini menangis? Bapak membiarkan kuku jempolnya tumbuh panjang, sedikit menusuk kulit, melukai jari, dan meninggalkan bekas menganga di ujung-ujung kakinya. Dengan demikian, bapak begitu berharap sayalah yang akan membersihkan luka dan memotongkan kukunya. Sekalipun beliau bisa melakukannya sendiri. Beliau juga begitu berharap tidak kehilangan satu momen berbagi dengan putri semata wayangnya.

  Paska sakitnya bapak, estafet tulang punggung keluarga memang beralih pada saya. Tetapi bukan berarti saya boleh mengabaikan kebutuhan mereka akan hadirnya sosok wanita di sisi mereka. Semestinya saya memberikan kekuatan dan dukungan penuh, melengkapi separuh kekuatan yang mereka peroleh dari beragam tempaan dan ujian. Semestinya pula saya menjamin cinta dari seorang kakak kepada adiknya, lebih-lebih cinta dari seorang anak kepada ayahnya tetap terpenuhi. Bukankah cinta tak dapat ditukar dengan uang yang saya berikan?

  Saya tak ingin kembali merasakan kemirisan yang sama dan karenanya saya berusaha memaksimalkan kehadiran saya untuk keluarga saya. Bukan soal tujuh menit atau tujuh puluh tahun saya bersama mereka, tetapi yang terpenting dari waktu adalah bagaimana makna kehadiran saya untuk mereka. Tidakkah kalian juga begitu?***

Ibu.. Bapak.. Allahummaghfirlahum, warhamhum, wa ‘afihi, wa’fuanhum
Ibu, Bapak, Mas… Aku mencintai kalian… sungguh-sungguh mencintai kalian… karena Allah…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar