Laman

Senin, 15 April 2013

Lensa Kebaikan

Menjelajahi Gunung Kidul minimal sekali dalam selapan membuat kami -Tim Akreditasi BADKO TKA-TPA DIY- menemukan dan belajar banyak hal. Betapa guyub, betapa sederhana, namun begitu tinggi ghirah perjuangannya. Selapan yang lalu kami bertandang ke Rayon Girisubo, dulunya pemekaran dari Kecamatan Rongkop. Berbekal peta (kalau kertas HVS kucel dengan denah yang ruwet itu layak disebut demikian), kami berangkat. Unit yang kami kunjungi itu ternyata benar-benar adoh ratu cedhak watu. Pengurusnya menuturkan, tempat mereka berada itu daripada ke Jogja, lebih dekat ke Pacitan. Dan daripada ke Wonosari, jauh lebih dekat ke Wonogiri. Allahu Akbar!, pekik saya lirih. Untuk menghidupi TPA, unit ini tak menarik SPP dari santri-santrinya. Pun tak mencoba mencari donatur. Sebab kesadaran beragama di sana miris dirasa. Harap dicatat, sekitar 96 KK tak beragama! Maka di KTP mereka, "AGAMA: -". Namun, mereka yang sadar, yang sedikit itu, rela dan suka hati menyerahkan jagung atau kacang tiap kali mereka panen. Jagung dan kacang ini disimpan di gudang TPA, lalu nantinya dijual untuk memenuhi biaya operasional.

Untuk bulan ini, kami singgah di Karangmojo. Saat menuju ke lokasi, kami menjumpai sekitar 15 truk dan minibus membentuk antrian panjang di SPBU Karangmojo. Dan saat kami menoleh ke SPBU, plang itu sudah bicara: SOLAR BERSUBSIDI HARI INI HABIS. Ketika pulang dan mengisi BBM di SPBU Kota Wonosari, terdapat tulisan: SPBU INI HANYA MENYEDIAKAN SOLAR NON SUBSIDI. Asal muasalnya, ini merupakan bagian dari penerapan kebijakan pengendalian penggunaan BBM, dalam hal ini oleh Kementerian ESDM. Kita husnuzhan tujuannya baik. Tapi tanpa sosialisasi yang cukup kepada masyarakat, dampaknya akan sangat terasa. Distributor melakukan pembatasan dengan dalih kuota, lalu masyarakat jadi kehilangan pasokan dan terjadi kepanikan.
Sepekan yang lalu saya juga merasakan sendiri efeknya. Trans Jogja, angkutan umum yang sering saya naiki, berhenti di SPBU Maguwo untuk mengisi BBM. Namun kejadiannya sama, solar bersubsidi habis. Padahal saat itu masih tengah hari. Padahal juga Trans Jogja sudah berlangganan dan sudah ada MoU antara pihak SPBU dan JTT bahwa setiap armadanya diperbolehkan mengisi full tank. Hanya saja yang biasanya armada Trans Jogja ini mengisi BBM sesudah beroperasi (jam 21.30 ke atas), sekarang harus mengisi siang hari, karena kalau malam jelas sudah kehabisan. Akibatnya, waktu tunggu di shelter jadi makin lama, yang biasanya 10-15 menit, bisa jadi 30-50 menit.
Tak mudah memang untuk menguraikan dan menyelesaikan ini dalam waktu singkat. Namun cobalah untuk duduk bersama, dalam hal ini pemerintah sebagai pemegang kebijakan, Pertamina sebagai suplier, pengusaha SPBU sebagai distributor, dan masyarakat sebagai konsumen. Karena satu kebijakan akan berimbas pada kebijakan yang lain. Dan negara ini tak hanya berdiri di atas peraturan. Negara ini bisa berdiri jika peraturan itu ditegakkan oleh setiap warganya dengan penuh kesadaran. 

Ah, sudah ah, ngomongin solarnya. Di tengah hiruk-pikuk reaksi atas kebijakan pemerintah yang dalihnya demi kebaikan bersama, kepentingan dan kemanfaatan di masa datang, hari itu saya justru melihat bentuk kebaikan yang konkret saat berada dalam bus Trans Jogja. Sederhana tapi nyata. Pertama, saat saya naik jalur 3B menuju Kentungan, entah kenapa saya ingin mengalihkan pandangan ke kanan. Dan di depan restoran cepat saji Mc. D*n*ld Sudirman itu saya melihatnya. Seorang pemuda, kulitnya sawo matang tapi bersih. Rambutnya sebahu, menggunakan kaos berwarna hitam dan celana jeans coklat muda. Namun dia menggendong seorang nenek bertubuh legam dan berpakaian compang-camping di punggungnya! Bahkan ketika pemulung tua itu meminta pemuda itu mengambil barang bekas di sudut trotoar, pemuda itu menundukkan badan, memungutnya, kemudian menyerahkan barang berwarna hijau itu kepada nenek di gendongannya. Kemudian pemuda itu tetap menggendongnya, sampai berbelok ke Jl. I Dewa Nyoman Oka, dan saya tidak bisa lagi melihatnya.

"Jeng, sayang aku tadi ndak bawa kamera...", keluh saya pada seorang kawan di samping saya. Saya tak bisa mengabadikan gambarnya. Sebuah kebaikan yang sederhana tapi nyata.

Kedua, saat pulang dari Gedung Mandala Bhakti Wanitatama, seusai berburu beberapa kitab. Naik jalur 1A, transit 3A di Gondolayu. Satu halte sebelum turun, bus berhenti di shelter Bethesda. Disinilah naik seorang ibu yang saya duga usianya sudah lebih dari kepala lima. Saat beliau tengak-tengok mencari tempat duduk yang kosong, saya persilahkan beliau duduk di samping saya, karena memang kosong. Tanpa saya duga, reaksinya luar biasa. "Makasih nggih, Nak... Ibu ndak lihat tadi...", saya jawab dengan senyum dan anggukan kecil. Sesudah beliau duduk, saya bertanya, "Ibu badhe tindak pundi?". Kemudian kami ngayawara kemana-mana. Setelah obrolan itu, beliau melihat seorang gadis di depan saya tertidur pulas. "Nak, mbaknya di depan ini tidurnya pules banget. Ada barengannya ndak ya? Kasihan kalau kebablasan, apalagi ini hujan..."
"Kirang pirsa, Bu..."

Tanpa saya duga, beliau bertanya pada bapak-bapak yang duduk di sebelah kiri gadis tadi, "Pak, anaknya bukan?". Bapak itu menggeleng. Karena tak ada yang kelihatannya membersamai gadis itu, si ibu kemudian berusaha membangunkan gadis itu dengan mengguncang kakinya. "Mbak... Mbak... Bangun..."
Barulah kemudian, pasangan muda di sebelah kanannya bereaksi. Lalu si ibu bertanya, "Ini bareng masnya?", laki-laki di sebelah gadis itu mengangguk. "Oh, ya sudah, kalau ada barengannya. Tidurnya pules banget, kasihan kalau sendirian terus kebablasan..."

Splash! Mantap. "Ya Allah, peduli sekali ibu ini...", batin saya dalam hati. Sebuah kepedulian yang sederhana tapi nyata.

Yah, kebaikan itu sederhana. Yang cinta pada kebaikan, akan mudah melihat dan mencintainya, meskipun ia masih berwujud tunas yang kecil. Tapi yang kadung benci, walau sudah ditunjukkan secara detail, hanya akan menambah kebenciannya... Sejauh mana kita bisa mengenali setiap kebaikan di sekitar kita. Percayalah, mata adalah lensa paling canggih di dunia. Ia mampu membidik obyek sekecil apapun, lalu mentransfernya untuk didisplay mata yang lain: mata hati manusia.

Pengalaman itu membuat saya percaya, banyak tunas-tunas kebaikan di luar sana. Dan semoga, kita mampu menangkapnya dengan lensa kebaikan itu pula...***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar