Laman

Sabtu, 02 Februari 2013

S3

Setelah seorang ukhti mengomentari bahwa tulisan saya beberapa waktu lalu “gokil”, saya sempat mencoba mengulang kegokilan itu di tulisan ini. Tapi entah kenapa saya ndak bisa. Cukup lama saya terdiam, sebelum akhirnya tulisan ini lahir dalam bahasa yang demikian.

Ini tentang sebuah persaudaraan. Bagaimana rasanya jika ada yang mengatakan pada kita, “Aku ini saudaramu!”. Pasti bahagia sekali. Saudara itu adalah wujud kekerabatan yang amat dekat. Bahkan lisan manusia paling mulia di dunia ini pernah bersabda, “Tidak beriman sesorang hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri”. Salah satu ukuran iman yang beliau minta pembuktiannya adalah mencintai saudara. Karena saat mencintai, kita pasti akan memberikan yang terbaik bagi yang kita cintai. Dan kita tak pernah ingin sesuatu yang buruk –sekecil apapun- terjadi pada orang yang kita cintai.
Ibnul Khaththab pernah mensyaratkan tiga hal sebagai tingkatan tertinggi sebuah persaudaraan: bermalam, safar, dan berhutang. Atau gampangnya, belum disebut saudara kalau belum nginep, pergi bareng, dan ngutang. Bermalam bukan sekedar urusan menyediakan tempat tidur. Tapi lebih bagaimana menyediakan telinga, karena sepanjang malam itu tak mungkin hanya terlewat dengan dengkuran bersama. Entah itu cerita bahagia, atau (yang lebih sering) beban yang tengah melanda. Dan jika telinga itu telah mendengar, maka indera yang lain mau tak mau, suka tak suka, juga tak akan tinggal diam. Jika yang didengar adalah kabar gembira, maka mata ini juga kita sediakan untuk turut berbinar, bibir ini ikut menggulum, dan tangan ini akan segera menjabat, “Baarakallaahya…”. Namun jika yang saudara kita sampaikan itu adalah dukanya, laranya, atau bebannya, maka sepatutnya kita berusaha untuk meringankannya, entah dengan menyediakan tatapan empati, tepukan di punggung, atau tangan yang menghapus air matanya. Dan di sepanjang waktu itu, ketika tengah bermalam, tantangannya adalah bagaimana setiap detik yang berlaku tidak terlewat dengan hal-hal sia-sia apalagi dosa. Justru di malam itu haruslah ada hikmah yang bisa diambil, ada pelajaran yang bisa dipetik. Lalu setelah obrolan panjang itu, setelahngayawara ngalor ngidul kemana-mana, tugas mulia berikutnya adalah berlomba-lomba membangunkan saudaranya untuk tetap bangun di waktu yang paling utama. Horotoyo, arep mabit we warningnya uakeh tenan. :D

Safar itu bukan sekedar bepergian. Tapi juga tentang mengambil hikmah dan pelajaran. Attention please, safar itu bukan piknik lho! Safar itu berkelana. Sampai-sampai Allah berikan keringanan boleh membatalkan puasa Ramadhan saat seseorang tengah safar. Safar tak hanya mengantarkan kita pada tempat yang membuat kita terpana, terkadang ia juga menghadapkan kita pada keputusan hitam putih. Safar juga mendidik kita menghitung resiko, berpikir tiga langkah ke depan sebelum langkah pertama diambil. Safar menuntut toleransi dan daya tahan. Dan semua itu jelas lebih dari cukup untuk memahami “siapa aku, siapa kamu, dan siapa kita” sebenarnya.

Kalau bicara hutang, ini yang agak sensitif. Namun inilah salah satu syaratnya menurut ‘Umar. Hutang ini adalah bentuk real, contoh paling nyata, bagaimana kita meringankan beban saudara kita. Bersedia menanggung, terkadang tanpa jaminan bahwa apa yang kita hutangkan akan kembali. Meskipun begitu, berhutang juga ada adabnya. Aqad yang terucap, bukti yang tercatat. Namun jika hutang itu tak kunjung kembali, pilihan kita jelas. Pertama, ikhlaskan saja, toh Allah takkan menyia-nyiakan kebaikan seorang hamba. Kedua, kalau kita ingin hutang itu segera dibayar, jangan hanya menuntut, bantu saudara kita agar bisa mapan secara finansial. Carikan jalan, hubungkan relasi, buat dia berdaya dengan usaha. Nah, tapi yang dihutangi juga ndak boleh keenakan,njagakke terus. Kita ndak mau sepanjang hidup kita makan hutang kan? Gali lubang tutup lubang. Harap tahu, seorang yang mati syahid saja tertunda masuk surga jika di dunia masih meninggalkan hutang yang belum selesai urusannya lho!

Menangislah saya malam ini. Sepekan tak berjumpa santri-santri saya karena libur semester satu, tadi sore kami kembali mengaji bersama. Delapan belas. Ya, itulah jumlah ustadz/ah yang tercatat. Namun entah mengapa hanya dua yang hadir ke TPA, saya dan walikelas TPA Putra. Maka tak ada kelas TKA, TPA Putri, TPA Putra, dan TQA sore tadi. Hanya ada klasikal putra dan klasikal putri. Bukan, bukan menangani sekian banyak santri sendirian sebabnya. Namun apa frase-frase yang hadir sore tadi membuat mata ini basah.

Sore tadi ada dua santri yang menangis tiba-tiba. Satu putri, satu putra, tapi kebetulan dua-duanya kelas TKA. Dengan wajah yang ceria dia berangkat TPA. Makin lucu dengan dengan setelan hijau-kuning yang dipakainya. Najwa, baru empat tahun usianya. Sebelum TPA, kami biasa mengecek siapa yang sudah shalat ashr dan siapa yang belum. Jika belum shalat, silahkan shalat dulu sebelum KBM dibuka dengan doa. Seorang santri dari kelas TPA Putra didaulat menjadi imam oleh teman-temannya. Semua takzim mengangkat tangan saat takbiratul ihram, termasuk Najwa. Ruku’, I’tidal, sujud, duduk diantara dua sujud, lalu sujud yang kedua. Ya, di sinilah Najwa menangis tiba-tiba. Saya yang duduk mengawasi di belakang langsung mendekati Najwa, menggendongnya keluar dari shaf.

“Ibu… Ibu…”, itu saja yang keluar dari mulutnya sambil terus berurai air mata. Saya mencoba menenangkannya. Siapa sangka, tiba-tiba ada tangan terjulur, tertutup lengan panjang berwarna merah muda. Jari-jari mungil itu mengusap pipi Najwa, menghapus air matanya. Yaa Rabb, tangan itu milik Tsaqilla! Teman sekelasnya di TKA, usianya hanya terpaut dua tahun lebih tua dari Najwa. Dia bujuk Najwa turun dari pangkuan saya. “Kita nggambar bareng ya?”, ajak Tsaqilla sembari mengambil buku dan alat tulisnya. Yang terjadi maka terjadilah. Buku dan alat tulis Tsaqilla sempurna beralih ke tangan Najwa. Dan ketika tiba KBM, saya tugaskan anak-anak untuk menulis. Sampai saatnya menulis, Najwa belum mau menyerahkan dua benda itu pada pemiliknya. “Najwa, sudah belum? Aku mau gantian pakai…”, namun Najwa menggeleng. Gadis cilik enam tahun itu tidak ganti merengek. Seakan rela betul, dua barang miliknya menjadi dipakai saudaranya, meski saat itu ia sedang membutuhkannya.



“Illa coba lihat di lemari , Sayang. Illa pakai buku yang Illa tinggal di TPA aja…”, saya menengahi.
Dia bergegas mengambilnya. Buku sudah di tangan, tapi ia belum juga menulis. Masya Allah, dia belum pegang alat tulis. “Nak, tolong tasnya ustadzah dibawakan ke sini ya?”, pinta saya pada salah satu santri TPA Putri. “Najwa pakai pensil aja ya? Pulpennya biar dipakai Mbak Illa…”. Ketika saya membuka tempat pensil, Najwa yang ada di dekat saya melihat spidol, yang ternyata lebih menarik dari pulpen Tsaqilla. Najwa beralih seketika. Dan tahukah apa reaksi Tsaqilla? “Pulpennya udah Us, ini aku mulai nulis ya…” tanpa nada yang bagaimana-bagaimana, walaupun pulpennya tadi digondeli Najwa lalu ditaruh begitu saja.

Malu rasanya. Sehari-hari kami mengajarkan berprasangka baik dan mendahulukan kepentingan saudaranya. Sore tadi saya disuguhi sebuah tayangan real time dari dua santri luar biasa. Sementara beberapa waktu sebelumnya saya menaruh zhan dan sedikit rasa jengkel pada ustadz/ah yang tidak hadir tanpa keterangan. Maka menangislah saya malam ini…

Alangkah indahnya jika setiap kita memiliki banyak saudara. Saudara Sampai Surga, kami menyebutnya. Tapi bagaimana jika seseorang memiliki saudara yang alih-alih mengajak ke surga, sedang mereka Allah sebutkan akan menjadi penghuni neraka selama-lamanya. Sosok yang melihatnya membuat ngeri, mengikutinya membuat kerasnya hati, dan berkawan dengannya membuat kita jadi orang paling merugi. Dialah syaithan. Memang ada yang mau jadi saudaranya setan? Secara zhahir ya ndak bakal ada yang mau jadi saudaranya setan. Tetapi, secara tidak sadar kita terkadang menyediakan diri untuk menjadi saudaranya setan. Sederhana, halus sekali caranya. Satu saja: mubadzir, berlebih-lebihan. Pernah satu ketika saya membaca bahwa mubadzir adalah saudaranya setan. Redaksinya “ikhwansy syayathin” lho, bukan “shabibusy syayathin”, “saudaranya setan”, bukan sekedar “kawannya setan”. Jika redaksinya adalah manusia, maka saya jelas bertanya-tanya. Masak iya? ‘Hanya’ sekedar berlebih-lebihan, kita akan menjadi saudaranya setan? Tapi karena itu adalah redaksi Rajanya Manusia, saya mau protes gimana? Percaya dulu, itu kaidahnya. Jika di belakang tersingkap hikmah, biarlah itu jadi keyakinan yang paripurna.

Menangislah saya malam ini. Setelah Najwa, ada salah satu santri putra yang menangis. Dengan volume yang lebih kencang dan dalam waktu yang lebih panjang. Karena saya fokus pada santri-santri putri, maka Nafil, diurusi oleh ustadznya. Saya tidak begitu memperhatikan. Tetapi tangisnya berhenti ketika salah satu santri kelas TPA Putri membuka binder (gimana sih, nulisnya?), mengambil selembar kertas, lalu menyerahkannya ke Nafil. Selepas shalat maghrib, saya tanyakan ustadz yang tadi mengurusinya. “Nafil tadi nangis lama banget kenapa, Tadz?”

“Oh, itu, Us. Mau nulis, tapi takut bukunya habis. Aku bilang, “Nanti kalau habis minta Ummi…”, dia makin nangis, “Ummi nggak punya uang…”.Trus aku bilang, “Ya udah, nanti Ustadz beliin…”

Splash! Tamparan lagi untuk saya. Bergetarlah hati saja, dan saya ingin mengangis seketika. Nafil, anak nomor dua dari empat bersaudara. Dari empat itu, yang ikut TPA ada dua, Nafil dan abangnya. Dan dua-duanya masih di kelas TKA. Bisa bayangkan berapa usianya? Ya, lima tahun! Tetapi coba lihat apa yang membuatnya menangis! Bukan lagi soal rebutan mainan. Keinginan besar untuk menulis, tapi di saat yang sama dia takut bukunya habis. Karena saat ini umminya sedang tidak punya uang untuk membelikan buku baru! Bagaimana anak ini berusaha berdamai dengan keinginannya, bagaimana anak ini mencoba mengerti kondisi orang tuanya,  sungguh membuat saya setengah tidak percaya.

Malu rasanya. Kami biasa mengajarkan untuk tidak berlebih-lebihan, karena berlebih-lebihan itu saudaranya setan. Selepas maghrib saya mendengar kisah itu. Sementara beberapa waktu sebelumnya saya memungut sebuah kertas yang baru tercoret sedikit saja. Lalu kertas itu saya tekuk horizontal menjadi dua, kemudian saya tekuk lagi menjadi dua dengan arah vertikal, saya ambil ujung-ujungnya membentuk sayap, masing-masing saya tekuk ke dalam, dan kertas itu siap diterbangkan. Ya. Kertas itu saya buat pesawat-pesawatan. Padahal santri saya, yang tadi menangis sekian lama, juga karena kertas. Saya bukan mengumpulkan kertas itu agar bisa digunakan suatu ketika, namun justru mengubahnya menjadi sesuatu yang tidak berguna.

Orang yang mubadzir, berlebih-lebihan, Allah sebutkan sebagai saudaranya setan. “Dan setan itu”, kata Allah, “sangat ingkar kepada Tuhannya”. Maka menangislah saya malam ini…

Menangislah saya malam ini. Mengingat pelajaran yang tadi telah santri-santri saya suguhkan. Semoga persaudaraan yang kau bangun sekarang Nak, benar-benar akan menjadi S3-Saudara Sampai Surga… Dan pengingatmu akan kelalaian Ustadzah tidak mensyukuri kertas tadi Nak, semoga akan menjadi ‘pesawat’ yang akan menerbangkanmu, orang tuamu, saudara-saudaramu dan –semoga- juga ustadz/ahmu ke tempat yang tiada terkira indahnya…***

semoga benar-benar jadi baiturrahman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar