Enam tahun yang lalu saya
didaulat dalam sebuah musyawarah bersama untuk memegang amanah sebagai
direktur. Kesannya jumawa betul, anak
kemarin sore ditunjuk menjadi pilot yang penumpangnya bahkan sudah sepuh-sepuh. Yang dipimpin itu banyak
yang sudah sarjana, bapak-bapak, ibu-ibu, dan remaja yang semuanya lebih tua,
dan saya baru SMP kelas tiga. Silahkan tertawa. Itulah kenyataannya. Jelang
akhir 2007, saya menjadi Direktur TPA (waktu itu belum namanya belum pakai
TKA-TPA-TQA) Baiturrahman, Tegalrejo, Yogyakarta untuk masa bhakti 2007-2012.
Ya, direktur dalam kurun waktu lima tahun ke depan.
Sudah bertahun-tahun menjalani
profesi itu, namun saya masih terus berusaha memahami posisi saya. Dan saya
semakin memahami, bahwa menjadi direktur bukan perkara mudah. Kemudian saya
juga belajar memahami, betapa seringkali bisa dimengerti apabila seorang
direktur (entah direktur unit, direktur rayon, direktur daerah, direktur
wilayah, atau direktur nasional) uring-uringan suatu hari. Dan saat periode
jabatan saya kini habis, pelajaran besar yang saya dapatkan adalah bagaimana
memahami orang lain.
Kalian bisa bayangkan ketika
musyawarah telah ditetapkan, maka menjadi direktur adalah seperti mengucap qabul atas ijabnya forum: “Kami serahkan kereta da’wah ini kepada Anda, dengan
besar hati dan Allah menjadi saksi”. Lalu inilah qabulnya: “Saya terima kereta da’wah ini dengan keikhlasan untuk
menjalankannya. Saya terima beserta seluruh amanah di dalamnya. Saya terima
beserta segala persoalan yang ada sebelum atau sesudahnya. Saya terima dengan
kesungguhan untuk membawanya ke arah yang lebih baik sejauh yang saya bisa. Saya
terima dengan keberanian untuk menanggung dosa jika terjadi sesuatu karena
kelalaian saya. Saya terima dengan kesanggupan untuk bertanggung jawab di dunia,
lebih-lebih di akhirat atas kepemimpinan saya.”
Penumpang yang mendapati pilotnya
terkesan tak bersahabat seringkali tak memahami bagaimana jika ia yang berada
di posisi itu. Di luar puluhan kali dihadapkan dengan masalah yang tak
terhitung kompleksnya, disibukkan dengan urusan birokrasi yang sering bikin
pusing kepala, atau dikejar-kejar deadline
yang kadang begitu memaksa. Di dalam harus berpikir keretanya mau dibawa ke mana,
berinteraksi dengan orang-orang yang sama, apalagi jika menemui keruwetan dengan
rasa kesal yang itu-itu juga. Bosankah mereka?
Kemudian saya berusaha memahami jika
ada direktur yang marah jika setiap gawean
di masing-masing divisinya berantakan. Kadang saya mendengar kalimat, “Jadi
direktur kok cuma bisa ngatur..”, “Ini kurang beres dikit aja kok ndak benerannya minta ampun..”. Bagi
saya, bukan soal sedikit atau banyak. Bukan urusan sepele atau rumit. Ini soal
masa depan. Kalian tak pernah berada di posisi mereka, sehingga kalimat itu
bisa meluncur dari mulut begitu mudahnya. Sungguh, sampai hari ini saya masih
berusaha memahami apa yang tak terlihat di balik semua yang tampak.
Berusaha memahami posisi dan
perasaan orang lain ternyata tidak mudah. Misalnya, nyaris setiap waktu seorang
direktur dimintai tanda tangan. Dan di antara tanda tangan itu, yang paling
sensitif adalah penandatangan urusan keuangan. Jika minus, mereka yang harus
memutar kepala, mencari cara bagaimana menutupnya. Jika surplus, mereka juga
yang akan ditempa pertanyaan: uang dari
mana? jumlahnya berapa? alokasinya buat apa? dipegang siapa?. Ketika sudah terpenuhi
segala biaya operasional, kegiatan demi kegiatan sudah berjalan, insentif sudah
semua terbayar, pasti ada yang berpikir bahwa yang diperoleh direktur lebih
besar. Saya hanya menduganya begitu dan terus menerka.
Apa yang sering saya terka akhirnya
terjawab. Ketika sebuah pesan masuk ke ponsel saya. Tiba-tiba menanyakan dana
bantuan untuk santri kurang mampu, unit kita dapat berapa. Sebuah pesan tanpa
nama. Saya balas dengan menanyakan, “Ngapunten,
sinten nggih?”. Setelah dijawab, saya jelaskan sejelas-jelasnya. Berapa
jumlah santri yang terdata, bagaimana pendataannya, bagaimana aqad pentasyarufannya, dan apa kebijakan
yang kami ambil. Detail. Runtut. Kemudian saya ditanya lagi tentang insentif
ustadz/ah. Yah, saya juga sampaikan semuanya. Berapa jumlah yang mendapat,
bagaimana jumlah itu didapat, berapa nominalnya, dan untuk apa dananya.
Kemudian beliau meminta lagi laporan tertulisnya. Ada. Kami persilahkan mau mirsani kapan. Kami terangkan apa
adanya. Tak ada yang kami tutup-tutupi. Jangankan pada satu-dua orang, itu
sudah kami laporkan, kami pertanggungjawabkan, dan kami sosialisasikan saat pertemuan
akhir semester. Di hadapan Dewan Pembina, Dewan Pertimbangan, Dewan Pengurus,
Dewan Asatidz, dan walisantri. Tapi beliau saat itu tidak hadir.
Sungguh saya tak keberatan
menjawab itu semua. Namun yang saya sayangkan adalah cara bertanya yang kurang ahsan. Sebagai yang lebih sepuh, berpendidikan, harusnya tak
berlaku demikian. Runtutan pertanyaan yang menurut saya bukan mencari
kejelasan, tapi lebih pada kecurigaan. Lebih-lebih hanya ditanyakan lewat sms. Jika
ingin tahu secara rinci, datanglah kepada kami, atau jika tidak berkenan,
undanglah, kami yang akan sowan. Bukan
sekali dua kali menghadapi seperti itu, membuat saya bisa merasakan bahwa
seseorang sangat mungkin tersinggung dengan sikap yang demikian. Berada di
posisi direktur TPA bukan seperti layaknya direktur biasa. Mereka memang
direktur dalam arti sebenarnya, tapi lain waktu mereka bisa menjelma direktur: direken batur. Mereka ujung tombak, tapi yang lebih sering mereka
juga harus siap menjadi ujung tombok.
Mereka memang bertanggungjawab pada semuanya, tapi apa yang mereka dapatkan? Hanya
harapan bahwa apa yang telah dilakukan bisa menjadi tabungan di BRI-Bank Raqib
Internasional. Harapan bahwa amalnya akan diterima dan mendapat ridha-Nya. Boleh
dipirsani, di tempat kami direktur
tak dapat gaji. Untuk materi, kami masih bisa –pinjam istilahnya Kak Bimo- ngamen di tempat yang lain. Direktur itu
sudah pasti lelah badan, pasti sangat terlukai jika ditambah dengan lelah hati karena dipaido sana-sini. Namun memang,
berusaha memahami perasaan dan posisi orang lain itu tidaklah mudah.
Dan sore tadi, seseorang datang
ke rumah saya, membawakan seplastik markisa. Beliau tahu, keluarga saya doyan markisa. Dan saya suka menyulapnya,
entah jadi sirup, puding, cake, atau
saus sebuah masakan. Saya tidak pernah meminta seseorang untuk membawakan
markisa ke rumah saya setiap panen. Tapi yang jelas, semua selalu seperti itu,
walaupun markisa yang beliau bawakan baru saya olah beberapa hari kemudian.
Lalu saya bertanya-tanya. Apakah Bu Ninik -orang yang setiap kali harus saya
berikan ucapan terima kasih itu- merasa ingin suatu hari ada orang yang
membawakan sesuatu ke rumahnya? Meski saya tahu, Bu Ninik ndak seperti itu. Ia teramat tulus melakukannya. Sementara saya,
seringkali mengalami kesulitan untuk sekedar berusaha memahami perasaan, peran,
dan posisi orang lain.
Semoga saya bisa lebih bijak
memahami semuanya…*** (040213)
salam juang untuk semua direktur di TKA-TPA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar