Tugas mulia seorang supervisor itu mensilaturahimi, bukan menghakimi. Ia cukup merekam, lalu menuliskannya dalam instrument penilaian. Jika ada yang janggal, ada ndak pas saat diperhatikan, maka yang harus ia sediakan lebih dulu adalah telinga untuk mendengar, bukan pertanyaan penuh tuntutan…
Ia nampak sebagai orang yang
paling suka jalan-jalan, tapi dipundaknya jugalah tanggung jawab akan pembinaan
unit ke depan berdasar temuan di lapangan. Sepintas memang menyenangkan. Setiap
pekan jalan-jalan, mulai dari perkotaan sampai pelosok yang harus blusukan. Dan memang menyenangkan.
Bertemu dengan banyak orang, mengamati banyak keadaan, dan mengenal banyak
medan. Terkadang juga memperoleh bonus berupa sega abang lombok ijo saat menyambangi Gunung Kidul, menjinjing
seplastik geblek dan benguk sepulang dari Kulon Progo, atau
menyantap gudeg manggar di Jogja
Selatan. Namun sepulangnya dari menunaikan tugas negara, tugasnya belum
selesai. Kebahagiaan yang dirasakan saat terjun ke lapangan tadi ibarat
suplemen awal seorang atlit dalam sebuah pertandingan maraton. Suara yang
mereka dengar, kondisi yang mereka rekam, dan temuan yang mereka dapatkan tak
lantas dianggurkan. Ada PR besar menanti kemudian. Temuan-temuan itu dikaji,
dimusyawarahkan, dan disusunlah sebuah arah pembinaan jangka pendek, jangka
menengah, dan jangka panjang. Namun maraton itu juga sebuah kenikmatan, karena
di tengah kelelahan, selalu ada semangat besar yang tertular kemudian…
Ia bukan orang yang serba tahu,
tapi ia juga bertugas memberi masukan demi peningkatan mutu. Ia memang duduk di
level teratas dalam struktur koordinasi, membawahi daerah, rayon, dan unit.
Tetapi justru di situlah tantangannya. Semakin luas wilayah da’wah, semakin
banyak orang yang menjadi amanah, maka bekal ilmunya juga harus ditambah.
Supervisor bukan orang yang paling pintar, melainkan orang yang masih dan harus
banyak belajar…
Ia bukan ksatria baja hitam, tapi
ia harus memiliki ekstra daya tahan. Daya tahan saat harus mengunjungi
tempat-tempat yang jangkauaannya ndak
ketulungan. Daya tahan bersahabat dengan alam apapun cuacanya, mau panas
atau hujan. Daya tahan saat dihadapkan dengan sesuatu yang di luar dugaan. Daya
tahan menghadapi banyak orang yang tidak semuanya kooperatif saat dibutuhkan.
Daya tahan menyikapi waktu untuk menemukan esensi yang paling mendasar entah
yang tersedia dua jam, satu jam, setengah jam, atau bahkan seperempat jam! Juga
daya tahan dalam tim yang kadang tak selalu sepaham…
Termasuk saat kemarin ketinggalan
mobil rombongan. Daya tahan itu diuji dengan dua pilihan: menyusul ke Ngawen
naik motor sendirian menerobos hujan atau pulang dengan legawa, tanpa mutung,
kecewa berlebihan, dan tiada protes pada ketua rombongan karena ndak ngasih tahu pengajuan
keberangkatan…
>.<
>.<
suasana akreditasi (ndak ada fotoku, karena aku yang motret )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar