Tempat istimewa itu adalah tempat yang menyimpan ‘cerita’ yang membekas di jiwa. Dan perjalanan istimewa itu ternyata tak ditentukan oleh berapa kilo jauhnya, namun sejauh apa jiwa bisa berkelana, hingga menemukan tempat yang membuatnya tenang dan bahagia.
Dan tempat yang paling istimewa bagi saya beberapa hari yang lalu adalah sungai. Sudah sembilan bulan saya tidak berarung jeram, bi idznillah rindu itu terbayar. Ketika remaja masjid se-kota mengadakan rafting bersama, diajaklah saya. Tanpa ba-bi-bu, saya jawab, “Ya”. Di situlah saya bertemu dengan seorang kenalan lama. Beliau pernah KKN di kampung saya. Saya kaget, dia lebih kaget. “Lho, kok bisa ada di sini?”, kami mengajukan pertanyaan yang sama.
Selepas acara kami bertukar cerita. Dan tak lupa saya ngaturi beliau mampir, karena kebanyakan mahasiswa, habis KKN ndak tahu rimbanya ke mana, hehe. Ndak pernah napak tilas tempat KKNnya. Tanpa disangka-sangka, paginya beliau sms saya:
Dik, kenal baik sama mbak-mbak yang kemarin duduk di belakangmu waktu di perahu ndak?
Beliau juga menyebutkan ciri-ciri dan identitas mbak-mbak yang dimaksud tadi.
Iya Mas, pripun?
Nanti habis sholat aja tak ceritain.
Benarlah. Selepas dhuhur beliau mengirimkan pesan lagi. Bercerita. Beliau itu sebenarnya ndak enak kalau ikut suatu acara, trus ketemu sama mbak-mbak tadi. Karena dulu pernah ta’aruf dan dua-duanya sudah sama-sama oke. Tetapi setelah dibawa ke keluarga beliau, ternyata ibunya belum merestui. Dan beliau berencana, jika ibunya sudah ridha, beliau akan melamar mbak-mbak tadi.
Menurutmu gimana?
Weitz, minta pendapat kayak gitu kok ke saya. Tapi baiklah, saya coba. Bismillah, saya berpendapat dalam konteks prosesnya secara umum. Kalau soal personal mbak-mbak tadi, beliau kan sudah tahu. Atau bisa ditanyakan lagi ke guru ngajinya. Lagipula baik atau tidak itu relatif. Baik menurut saya, kalau ndak satu visi dengan yang bersangkutan ya sama saja. Agak panjang saya membalasnya. Seingat saya menghabiskan 8 karakter. Dan saya coba menuliskannya di sini.
Kalau menurut saya begini:
Pertama, jadikan ibrah. Bahwa menikah itu bukan hanya urusan dua orang, tapi dua keluarga, dua masyarakat, dua lingkungan yang berbeda. Memutuskan untuk ta’aruf dengan siapapun itu, sebaiknya sudah sepengetahuan orangtua akan siapa calon pasangan kita. Supaya sama-sama ridha dan meminimalisir masalah di belakang.
Kedua, sebagai laki-laki beliau punya kewajiban berbakti pada ibu seumur hidup. Atas anak laki-lakinya seorang ibu punya hak, prerogatif sampai veto sekalipun. Ibu juga berkepentingan pada anaknya dan (kelak) menantunya. Kalau ada yang ndak sepaham, langkah yang paling tepat adalah komunikasi. Bicarakan baik-baik apa yang membuat kita mantap memilihnya, apa yang membuat ibu keberatan, dan bagaimana yang ibu inginkan. Jika setelah diyakinkan ibu berubah pikiran, ya Alhamdulillah. Tapi kalau ndak, mungkin memang belum jodoh. Husnuzhan saja dan terus berdoa. Semoga Allah berikan ganti yang terbaik. Untuk kita, untuk orang tua, dan untuk ummat.
Ketiga, istikharah lagi. Ndak ada yang lebih pantas dimintai petunjuk selain Allah.
Keempat, kita ini da’i, dipertemukan Allah juga di jalan da’wah. Maka usahakan betul, dimanapun kita berada, apapun langkah yang kita ambil, itu bisa menjadi tarbiyah bagi diri sendiri dan orang lain. Ta’aruf, misalnya. Itu hanya satu di antara banyak fase yang Allah hadirkan untuk kelanjutan da’wah ke depan. Ndak perlu pekewuh. Kalau jadi, itu Allah yang menghendaki. Kalau belum, ya tetap berhubungan baik: aku tetap saudaramu, kamu tetap saudaraku, dan kita harus tetap berda’wah.
Kelima, nikah itu ibadah. Jadi jangan sampai menyakiti hati orang lain. Entah orang tua, calon pasangan, orang yang mendampingi prosesnya, atau siapapunlah.
Wallahu a’lam.
Itu pendapat saya.
Kadang jadi aneh ya? Ketemu baik-baik, selama ini sudah berhubungan baik, menjalani prosesnya juga baik, tapi karena suatu hal yang berhenti di tengah jalan hubungannya jadi ndak baik. Padahal ketika kita sudah mewakafkan diri untuk berda’wah, setiap fase hidup akan kita bawa untuk menopang da’wah. Pun dengan menikah. Biarlah segala proses yang hadir sebelum, saat, dan sesudah menikah adalah bagian dari langkah kita membangun da’wah. Hingga seperti katanya Pak Cah: di jalan da’wah aku menikah…***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar