Laman

Kamis, 28 Februari 2013

Pedulikah Kita?


Hari kedua saya berada di ibukota. Saya menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah pakdhe saya di bilangan Klender, Jakarta Timur. Rumah itu besar, kamarnya banyak mirip kos-kosan. Memang, karena anak pakdhe saya jumlahnya empat, eh, belum selesai: empat belas. Ya, cukup untuk membentuk satu tim sepakbola, satu wasit, dua hakim garis, satu pemain cadangan, lengkap dengan pelatih dan co. pelatih, yaitu pakdhe dan budhe saya.
Setelah sesi ramah tamah dan edisi ngayawara ala Jawa bersama saudara di ruang tamu, saya santai di ruang keluarga. Masuk waktu makan, saya diajak makan bersama.
Bulik, maem yuk? Biar bulik nyobain masakan mamah…”, kata Michelle, anak kakak sepupu saya.
“Iya, mbak masak bayem sama bakso tuh”, sahut mamahnya.
“Iya…” tapi saya belum segera beranjak dari tempat duduk.
“Tenang, baksonya halal kok…”, kata sepupu saya sambil tersenyum.

Deg!

Ucapan kakak sepupu saya itu sangat menyentuh, membekas sungguh. Alasan saya belum beranjak ke meja makan sebenarnya memang karena saya belum lapar. Namun betapa bersyukurnya saya ada orang yang peduli terhadap kehalalan setiap zat yang akan menjadi darah dan daging saya. Terlebih lagi keluarga pakdhe saya itu keluarga dengan keyakinan Pancasila, macam-macam agamanya. Pakdhe, budhe, dan tiga sepupu saya yang tinggal di Jakarta menganut agama Katholik. Sepupu saya yang lain mayoritas muslim. Bagaimana jika kakak sepupu saya yang membuatkan makan malam untuk saya dan bukan seorang muslimah itu tidak berbaik hati mencarikan makanan yang halal, tak jujur soal kehalalan, dan membiarkan saya melahap makanan yang tidak halal? Maka darah saya akan teraliri dan daging saya akan terbentuk dari zat yang haram, juga betapa menyesal saya kemudian.
Saya terus berpikir. Kalau ada orang yang begitu peduli akan kehalalan makanan yang saya masukkan ke dalam tubuh saya, apakah saya juga teramat peduli pada diri saya sendiri? Bukan soal zat makanannya. Karena untuk yang satu ini, saya sangat berusaha untuk hati-hati. Tapi lebih pada sumber penghasilan untuk membelinya: apakah pekerjaan saya bersih? Apakah uang yang saya dapatkan juga bersih? Bisa jadi zat yang saya makan memang halal, tapi bagaimana jika dibeli dengan uang yang tidak halal?

Saat ini, saya mempunyai keluarga yang harus dinafkahi setelah ibu dan ayah saya berpulang ke rahmatullah. Tentu saya tak hanya mengkhawatirkan asupan dan sumber penghasilan saya untuk diri saya sendiri. Jika uang yang saya hasilkan tidak bersih, juga makanan yang saya belanjakan tidak halal, bagaimana jadinya keluarga saya jika terus menerus disuapi ketidakhalalan? Sebagai yang mencari rezeki, sayalah yang paling bertanggungjawab.

Mencari rezeki, bukan sekedar dapat. Jika sudah dapat, saya masih harus benar-benar yakin bahwa sumbernya bersih, agar yang saya dan keluarga saya makan juga bersih. Agar ilmu yang dibiayai dengan penghasilan tersebut juga barakah. Agar kelak tubuh ini tak terlalu lama dicuci api neraka karena sedemikian banyak zat haram yang diasup tubuh saya.

Jika masih ada yang peduli dengan kehalalan zat yang akan menjadi darah dan daging saya, sudahkah saya peduli terhadap diri sendiri?***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar