Hari kedua saya berada di ibukota. Saya menyempatkan diri
untuk berkunjung ke rumah pakdhe saya
di bilangan Klender, Jakarta Timur. Rumah itu besar, kamarnya banyak mirip
kos-kosan. Memang, karena anak pakdhe
saya jumlahnya empat, eh, belum selesai: empat belas. Ya, cukup untuk membentuk
satu tim sepakbola, satu wasit, dua hakim garis, satu pemain cadangan, lengkap
dengan pelatih dan co. pelatih, yaitu pakdhe
dan budhe saya.
Setelah sesi ramah tamah dan edisi ngayawara ala Jawa bersama saudara di ruang tamu, saya santai di
ruang keluarga. Masuk waktu makan, saya diajak makan bersama.
“Bulik, maem yuk?
Biar bulik nyobain masakan mamah…”,
kata Michelle, anak kakak sepupu saya.
“Iya, mbak masak bayem sama bakso tuh”, sahut mamahnya.
“Iya…” tapi saya belum segera beranjak dari tempat duduk.
“Tenang, baksonya halal kok…”, kata sepupu saya sambil
tersenyum.
Deg!
Ucapan kakak sepupu saya itu sangat menyentuh, membekas
sungguh. Alasan saya belum beranjak ke meja makan sebenarnya memang karena saya
belum lapar. Namun betapa bersyukurnya saya ada orang yang peduli terhadap
kehalalan setiap zat yang akan menjadi darah dan daging saya. Terlebih lagi
keluarga pakdhe saya itu keluarga
dengan keyakinan Pancasila, macam-macam agamanya. Pakdhe, budhe, dan tiga
sepupu saya yang tinggal di Jakarta menganut agama Katholik. Sepupu saya yang lain
mayoritas muslim. Bagaimana jika kakak sepupu saya yang membuatkan makan malam
untuk saya dan bukan seorang muslimah itu tidak berbaik hati mencarikan makanan
yang halal, tak jujur soal kehalalan, dan membiarkan saya melahap makanan yang
tidak halal? Maka darah saya akan teraliri dan daging saya akan terbentuk dari
zat yang haram, juga betapa menyesal saya kemudian.
Saya terus berpikir. Kalau ada orang yang begitu peduli akan
kehalalan makanan yang saya masukkan ke dalam tubuh saya, apakah saya juga
teramat peduli pada diri saya sendiri? Bukan soal zat makanannya. Karena untuk
yang satu ini, saya sangat berusaha untuk hati-hati. Tapi lebih pada sumber
penghasilan untuk membelinya: apakah pekerjaan saya bersih? Apakah uang yang
saya dapatkan juga bersih? Bisa jadi zat yang saya makan memang halal, tapi
bagaimana jika dibeli dengan uang yang tidak halal?
Saat ini, saya mempunyai keluarga yang harus dinafkahi
setelah ibu dan ayah saya berpulang ke rahmatullah.
Tentu saya tak hanya mengkhawatirkan asupan dan sumber penghasilan saya untuk
diri saya sendiri. Jika uang yang saya hasilkan tidak bersih, juga makanan yang
saya belanjakan tidak halal, bagaimana jadinya keluarga saya jika terus menerus
disuapi ketidakhalalan? Sebagai yang mencari rezeki, sayalah yang paling
bertanggungjawab.
Mencari rezeki, bukan sekedar dapat. Jika sudah dapat, saya
masih harus benar-benar yakin bahwa sumbernya bersih, agar yang saya dan
keluarga saya makan juga bersih. Agar ilmu yang dibiayai dengan penghasilan
tersebut juga barakah. Agar kelak tubuh ini tak terlalu lama dicuci api neraka
karena sedemikian banyak zat haram yang diasup tubuh saya.
Jika masih ada yang peduli dengan kehalalan zat yang akan
menjadi darah dan daging saya, sudahkah saya peduli terhadap diri sendiri?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar