Laman

Selasa, 12 Maret 2013

Memaknai (Kembali)


Kehidupan menawarkan pilihan-pilihan, kadang dengan kadar sakitnya masing-masing. Keinginan baik saja tak cukup untuk membawa seseorang kembali berpulang dengan rela dan direlakan. Yang ridha lagi diridhai. Harus ada ujian untuk melihat siapa yang benar-benar beriman, dan siapa yang setengah, seperempat, atau sepersekian keimanannya. Artinya, harus ada perjuangan. Harus ada kesiapan mental untuk hidup tidak nyaman, untuk meninggalkan ketenteraman, ketenangan, dan kenikmatan. Harus ada ketegaran hati sekuat baja untuk menghadapi semuanya.
Perjuangan adalah kata yang agung. Justru karena berjuang, berarti kita mengesampingkan diri untuk suatu kepentingan yang lebih besar dan (seharusnya) lebih luhur. Perjuangan artinya memberi, dan bukan meminta.
Sepuluh partai yang sudah mendapatkan nomor urut untuk meramaikan pesta demokrasi 2014 besok, sejatinya sedang menanggung kewajiban yang amat besar. Menata kembali dari kehidupan bangsa ini. Meletakkan segala sesuatu pada posisi yang empan papan. Partai-partai itu semacam pedagang yang jualan, sedangkan rakyat adalah pembelinya. Barang dagangannya adalah ide-ide perbaikan, janji-janji keberpihakan, mimpi-mimpi perubahan, atau dalam bahasa yang lebih santun: kesediaan untuk berbagi dan memperjuangkan nasib rakyat. Dan (kalau bisa) bukan lagi sekedar kepentingan partai yang ndak sejalan dengan kepentingan rakyat. Di mana-mana pembeli adalah raja. Dan ndilalah, konstitusi penyelenggaraan negeri ini menyebutkan bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan yang tertinggi dan sejati. Kalau sudah gitu, sebetulnya parta-partai itu seperti baru ikut tender . Memperjuangkan (atau memperebutkan?) suatu proyek kepercayaan rakyat dalam pengelolaan negara. Iya ndak sih?
Jika para pedagang dibekali bagaimana cara jitu menarik pembeli, maka selayaknya, ia juga menjajakan dagangan yang layak beli. Atau minimal nduduhke: mana yang layak beli, mana yang tidak. Bangsa ini sangat membutuhkan pemerintahan yang bisa ngayomi dan ngayemi. Dua ratus empat puluh juta jiwa di negeri ini sungguh merindukan hari-hari pra pemilu yang demokratis dan santun, kampanye yang bersahaja, dan pemilihan yang terbuka. Mereka juga menantikan hari-hari paska pemilu yang damai, hari-hari berhentinya pengangkangan aparat hukum atas institusi hukumnya sendiri, hari-hari dimana koruptor tak bisa lepas dari jerat hukum seperti yang selalu dialami para maling ayam dan pencuri jemuran, hari-hari yang memanusiakan manusia, hari-hari yang rendah hati, hari-hari dengan tawar-menawar yang lebih adil antara rakyat sebagai pemilik kedaulatan dan pemerintah sebagai para pelayannya.
            Bangsa yang besar bukan saja yang bisa menghargai jasa para pahlawannya. Apalagi hanya sekedar dengan bintang jasa, lencana, emblem, atau sertifikat kepahlawanan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang juga bersedia belajar dari kesalahannya, dari ketidaktepatan gerak sejarahnya, dari ongkos mahal yang harus dibayar untuk trial n’ error masa lalunya.
           Bangsa yang (akan menjadi) besar selalu membutuhkan kesabaran untuk setia dalam proses. Tidak sekedar melakukan perubahan instan dalam hitungan hari atau bulan. Bangsa yang besar adalah bangsa yang bersedia berpikir panjang, termasuk dalam memikirkan gerak perjuangannya.
            Selalu ada tempat dan panggilan bagi setiap orang yang mau berpikir dan berbuat dengan kejujuran, kedewasaan, dan keutuhan. Ada sunnatullah, ada maqam, ada titik koordinat gerakan, dan orbit perjuangan yang harus dipahami oleh para pelakunya agar tak saling bertabrakan satu sama lain.
         Ah, ndak perlu repot-repot ribut siapa kader, siapa konstituen, siapa ketua umum, siapa pendiri, siapa dewan pembina. Itu semata-mata pilihan model perjuangan. Siapa yang merasa terpanggil, merasa lebih pas, lebih enjoy, akan menghayati pilihannya itu. Dan dia akan bekerja keras untuk membuktikan pada rakyat, termasuk pada dirinya sendiri, bahwa dia tak sia-sia ada di sana.
       Setiap perjuangan, apapun bentuknya, di manapun tempatnya, membawa resikonya sendiri-sendiri. Apa boleh buat. Biar waktu yang menjawab: akankah menjadi pejuang sejati atau pahlawan kesiangan!***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar