Kehidupan menawarkan pilihan-pilihan, kadang dengan
kadar sakitnya masing-masing. Keinginan baik saja tak cukup untuk membawa
seseorang kembali berpulang dengan rela dan direlakan. Yang ridha lagi
diridhai. Harus ada ujian untuk melihat siapa yang benar-benar beriman, dan
siapa yang setengah, seperempat, atau sepersekian keimanannya. Artinya, harus
ada perjuangan. Harus ada kesiapan mental untuk hidup tidak nyaman, untuk
meninggalkan ketenteraman, ketenangan, dan kenikmatan. Harus ada ketegaran hati
sekuat baja untuk menghadapi semuanya.
Perjuangan adalah kata yang agung. Justru karena
berjuang, berarti kita mengesampingkan diri untuk suatu kepentingan yang lebih
besar dan (seharusnya) lebih luhur. Perjuangan artinya memberi, dan bukan
meminta.
Sepuluh partai yang sudah mendapatkan nomor urut
untuk meramaikan pesta demokrasi 2014 besok, sejatinya sedang menanggung
kewajiban yang amat besar. Menata kembali dari kehidupan bangsa ini. Meletakkan
segala sesuatu pada posisi yang empan
papan. Partai-partai itu semacam pedagang yang jualan, sedangkan rakyat
adalah pembelinya. Barang dagangannya adalah ide-ide perbaikan, janji-janji
keberpihakan, mimpi-mimpi perubahan, atau dalam bahasa yang lebih santun:
kesediaan untuk berbagi dan memperjuangkan nasib rakyat. Dan (kalau bisa) bukan
lagi sekedar kepentingan partai yang ndak
sejalan dengan kepentingan rakyat. Di mana-mana pembeli adalah raja. Dan ndilalah, konstitusi penyelenggaraan
negeri ini menyebutkan bahwa rakyat adalah pemegang kedaulatan yang tertinggi dan
sejati. Kalau sudah gitu, sebetulnya parta-partai itu seperti baru ikut tender
. Memperjuangkan (atau memperebutkan?) suatu proyek kepercayaan rakyat dalam
pengelolaan negara. Iya ndak sih?
Jika para pedagang dibekali bagaimana cara jitu
menarik pembeli, maka selayaknya, ia juga menjajakan dagangan yang layak beli.
Atau minimal nduduhke: mana yang
layak beli, mana yang tidak. Bangsa ini sangat membutuhkan pemerintahan yang
bisa ngayomi dan ngayemi. Dua ratus empat puluh juta jiwa di negeri ini sungguh
merindukan hari-hari pra pemilu yang demokratis dan santun, kampanye yang
bersahaja, dan pemilihan yang terbuka. Mereka juga menantikan hari-hari paska
pemilu yang damai, hari-hari berhentinya pengangkangan aparat hukum atas
institusi hukumnya sendiri, hari-hari dimana koruptor tak bisa lepas dari jerat
hukum seperti yang selalu dialami para maling ayam dan pencuri jemuran,
hari-hari yang memanusiakan manusia, hari-hari yang rendah hati, hari-hari
dengan tawar-menawar yang lebih adil antara rakyat sebagai pemilik kedaulatan
dan pemerintah sebagai para pelayannya.
Bangsa yang besar
bukan saja yang bisa menghargai jasa para pahlawannya. Apalagi hanya sekedar
dengan bintang jasa, lencana, emblem, atau sertifikat kepahlawanan. Bangsa yang
besar adalah bangsa yang juga bersedia belajar dari kesalahannya, dari
ketidaktepatan gerak sejarahnya, dari ongkos mahal yang harus dibayar untuk trial n’ error masa lalunya.
Bangsa yang (akan
menjadi) besar selalu membutuhkan kesabaran untuk setia dalam proses. Tidak
sekedar melakukan perubahan instan dalam hitungan hari atau bulan. Bangsa yang
besar adalah bangsa yang bersedia berpikir panjang, termasuk dalam memikirkan
gerak perjuangannya.
Selalu ada tempat
dan panggilan bagi setiap orang yang mau berpikir dan berbuat dengan kejujuran,
kedewasaan, dan keutuhan. Ada sunnatullah,
ada maqam, ada titik koordinat
gerakan, dan orbit perjuangan yang harus dipahami oleh para pelakunya agar tak
saling bertabrakan satu sama lain.
Ah, ndak perlu repot-repot ribut siapa
kader, siapa konstituen, siapa ketua umum, siapa pendiri, siapa dewan pembina.
Itu semata-mata pilihan model perjuangan. Siapa yang merasa terpanggil, merasa lebih pas, lebih enjoy, akan menghayati pilihannya itu.
Dan dia akan bekerja keras untuk membuktikan pada rakyat, termasuk pada dirinya
sendiri, bahwa dia tak sia-sia ada di sana.
Setiap
perjuangan, apapun bentuknya, di manapun tempatnya, membawa resikonya
sendiri-sendiri. Apa boleh buat. Biar waktu yang menjawab: akankah menjadi
pejuang sejati atau pahlawan kesiangan!***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar