Laman

Kamis, 21 Maret 2013

Allah Ndak Laku



Ini sharing cerita dari sahabat saya. Beberapa kali dia berhubungan dengan instansi untuk urusan pembiayaan. Dan baru gol belakangan di sebuah BMT. Awalnya, hampir semua yang tak berbuah kesepakatan bersama itu sebabnya satu: ketiadaan jaminan.
Asbabun nuzulnya, jaminan berfungsi membuat pemberi pinjaman (dalam hal ini bank atau semacamnya) lebih percaya pada yang meminjam. Jika ada masalah, jaminan bisa dilelang untuk menyelamatkan pinjaman. Tapi jika kita percaya atau dipercaya, maka jaminan sering tidak dibutuhkan. Contohnya ketika kita pinjam pada teman dekat atau kerabat.
Sayangnya, urusan percaya tidak percaya ini harus berhenti pada hal-hal yang sifatnya fisik belaka. Padahal kepercayaan itu bentuknya non fisik. Saya berandai-andai, jika suatu saat tiba giliran saya mengajukan pinjaman, kira-kira dialognya akan begini:
Bank      : “Mbak, jaminannya apa untuk pinjaman ini?”
Saya       : “Jaminan fisik saya ndak punya. Tapi saya punya Allah yang menjamin saya ndak akan menyalahgunakan pinjaman ini. Tuhan saya itu pemilik alam semesta, termasuk seluruh asset bank ini.”
Saya kok menduga bahwa bank tak akan pernah mengucurkan kredit kepada orang yang menjadikan tuhannya sebagai jaminan, sekalipun direktur banknya muslim. Allah ndak laku dalam transaksi bisnis.
Sebetulnya sangat wajar ketika bank tak percaya Tuhan, lha wong sifatnya kapitalis gitu. Atau minimal, tidak percaya kata-kata saya karena menganggapnya aneh. Dan bank takkan memberi pinjaman pada orang aneh. Ndilalah, melibatkan Tuhan dalam membimbing langkah kita untuk membangun bisnis yang diridhai-Nya (bagi sebagian besar orang) adalah hal yang aneh.
Kata Baginda nabiku yang mulia, kelak akan ada suatu zaman dimana mempertahankan kebenaran Islam itu ibarat menggenggam bara api. Jika digenggam, tangan akan terasa sangat panas. Jika dilepas, ya bablas. Lepaslah ia sebagai pedoman hidup.
Rasanya itu kok sudah tiba. Sudah kita temui sehari-hari. Jadi, bersyukur aja kalau bank ndak mengabulkan pembiayaan yang kita ajukan. Karena artinya, kita masih menggenggam bara itu. Atau gampangnya, kita dianggap aneh… :D ***

#terinspirasi dari sharing sahabat tentang pembiayaan laptopnya
dan kisah “Kayu Ajaib” di buku Ketika Cinta Berbuah Surga

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. suka banget mb.. setuju. lucu juga ya hahahahaha ternyata, bank yang mengaku syariah, atau bank yang notabenenya berbasis agama apapun, g bakal meng "iya" kan Tuhan sebagai jaminan pinjaman dana dari bank. Yo, secara logika seluruh esensi2 yang ada di agamapun yang awalnya dijadikan dasar dalam mendirikan sebuah bank digunakan semaksimal mungkin dengan tujuan memakmurkan kesejahteraan rakyat tanpa mengabaikan profit yang di dapat bank atas dasar suka sama suka dengan kreditur

    BalasHapus
  3. hahaha..
    mata kuliah ekonomi makro-nya nanti kita lanjutkan di rumah ya? tugasnya buat analisis, sistem perkreditan bank syariah..
    tenang ndak 'berat' kayak ISDpedia kok, paling cuma 11-12, hehehehe

    BalasHapus