Kemarin saya mendengarkan cerita dari seorang kawan tentang
tetangganya. Tentang ibu-ibu yang berusaha keras untuk menggugurkan
kandungannya. Alasannya adalah karena ia malu atas kehamilannya. Anak bungsunya
yang nomer delapan, sampai ia jemur, diikat di pinggir kali sejak jam tujuh
pagi. Entah apa yang ada di pikiran ibu tadi.
“Ya kayak gitu, stres, latar belakang ekonomi itu, Dek…”, tutur
kawan saya yang sudah ibu-ibu itu.
Getir mendengarnya. Yah, seperti bisa membayangkan. Hidup bersama
delapan anak, mau sembilan dengan yang dikandungnya sekarang bukan perkara
mudah bagi mereka yang kurang berada. Tak usah muluk-muluk, urusan makan saja.
Setiap hari berarti ada sepuluh mulut yang harus diberi makan tiga kali sehari.
Jika ibu ini tidak bekerja, dan suaminya hanya buruh serabutan yang
penghasilannya 20 ribu perhari, maka jatah uang makan per kepala setiap harinya
‘hanya’ 2 ribu!
Ini makin terasa saat dihadapkan pada kenyataan bahwa bawang
putih 70 ribu/kilo dan cabai rawit merah setengah ons harganya dua ribu lima
ratus. Masak tumis kangkung dua ikat yang harganya seribu rupiah saja, bumbunya
tak cukup lima ribu. Dan di saat yang sama, uang belanja tak bertambah.Kelakar ibu-ibu
di gardu sayur tempat saya biasa belanja, “Ra
sah dibumboni wae pa ya?” Lebih-lebih jika sebelum pergi belanja si sulung
menghentikan langkahnya, “Bu, aku belum bayar uang praktek…” dan adiknya
berkata, “Ibu, besok bayar LKS ya?”
Pasti sang ibu hanya menjawab, “Iya…” sembari menahan gundah
di dadanya.
Ngomong-ngomong, saya jadi teringat laporan beruntun dari
adik-adik saya. “Mbak, buku semester 2 paling lambat dibayar sebelum UTS…”, “Mbak,
hadrahnya tampil Ahad, bayar seragam telatnya Sabtu pagi…”, “Mbak, tolong dikirimi
jaket ya, aku mulai jaga malam di pondok…”, “Mbak, butuh kamus
Inggris-Indonesia sama kamus Al-Munawwir bahasa Arab…”. Dan itu semua belum
saya penuhi. Eh, yang paling kecil umur 5
tahun tak mau kalah, yang ini sepupu. Ia mengabsen satu per satu kawannya yang punya sepeda
baru. Bagus sekali, katanya. Ia juga baru belajar naik sepeda roda dua. Dia tidak
mengutarakan langsung, tapi saya tahu dia kepingin sepeda. Saya hanya menjawab,
“Insya Allah”, sambil berharap adik saya tak kecewa jika saya belum bisa
memenuhinya segera.
Betapa banyak ibu yang setiap hari menyimpan gundah mereka,
mengiringi setiap langkah dalam aktivitas hariannya. Uang belanja yang menipis,
beras yang sudah habis, bayaran sekolah yang tertunggak dua bulan, susu si
kecil yang tersisa di sendok terakhir, bayar tagihan listrik, saluran air yang
mampet, hutang di warung tetangga yang mulai mengganggu tidur, dan setumpuk
gundah lain yang kerap membuatnya melamun. Kalau tersedia uang cukup di dompet,
tak masalah. Bagaimana jika sebaliknya?
Tak sedikit ibu yang tangguh, ingin membuat sang suami
tersenyum dan meyakinkan anak-anaknya dengan satu kalimat, “Iya, semua beres
sama Ibu…”, meski dalam hati bergemuruh kencang dan otaknya diperas
habis-habisan mencari jalan untuk membereskan semua gundah yang ia simpan.
Maka sejarahpun digelar. Banyak ibu yang berakhir di tali
gantungan tak kuat mehanan beban ekonomi yang semakin mencekik lehernya. Tali
gantungan tak berbeda dengan jeratan hutang dan rengekan anak-anak. Bedanya,
tali gantungan menjerat lebih cepat dan tidak sesering rengekan mereka.
Tidak sedikit para ibu yang membiarkan lisannya untuk menuntut
suami dengan nada tinggi. Mengumpat setengah menghujat. “Ndak ngrasain gimana
mbelanjain uang. Situ enak, tiap hari berangkat kerja. Lha aku tiap hari di rumah ngadepi anak-anak yang minta ini-itu. Pergi pagi pulang petang, mana hasilnya!?”.
Padahal ia tahu berapa penghasilan suaminya dan ia juga yang membelanjakannya. Dan
kemarahan itu berbuah pertengkaran besar karena suami tak merasa dihargai. Si ayah
pergi, dan tentu tangis bayi tak berhenti, karena susunya tak terbeli.
Tak jarang pula ibu yang menggadaikan keimanannya. Menipu teman
atau mendustai tetangga dengan memanipulasi angka-angka di catatan arisan. Dan na’udzubillah,
ada yang sampai mencuri atau menjual diri. Keluarganya tak pernah tahu dan tak
pernah bertanya dari mana uang didapat sang ibu. Bersih dan halalkah? Karena yang
penting, teredam sudah gundah hari itu.
Sungguh, ada yang rela menanggung resiko dari itu semua demi segala gundah yang harus ia tuntaskan.
Namun di antara sekian banyak ibu itu, saya teramat salut
dengan sebagian ibu lain yang tetap bersabar menyimpan gundahnya,
menyertakannya dalam mimpi, mengadukannya dalam setiap sujud panjang di
penghujung malam, hingga membawanya kembali bersama pagi. Berharap ada rezeki
yang Allah berikan agar tuntas satu per satu gundah yang masih ia simpan. Ibu ini
masih percaya bahwa Allah takkan membiarkan hamba-Nya berada dalam kekufuran dan
kekafiran akibat gundah-gundah yang tak pernah usai.
Para ibu ini akan menyelesaikan semua gundahnya tanpa harus
menciptakan gundah baru bagi keluarganya. Karena ia takkan menuntaskan
gundahnya dengan tali gantungan, tangan berumuran darah, berakhir di balik
jeruji besi, atau bahkan membiarkan keluarganya mendengar kabar buruk bahwa ia
mengidap HIV/AIDS.
Saya, sebagai pengganti ibu bagi adik saya, dan sebagai calon ibu bagi anak-anak saya kelak, selalu berusaha, akan tetap menyimpan gundah saya dengan senyum. Saya yakin, Allah suka kepada hamba-hamba yang tersenyum dan terus melangkah di balik semua keluh dan gundahnya. Semoga…***
renungan bagi para manager keuangan keluarga
setelahrapatbersamapejuang2remajamasjid&tpa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar