Putaran kedua pelatihan Mahir 1 bagi ustadz/ah se-Kota Yogyakarta selesai besok Ahad (17/3) pagi, insya Allah. Saya ingin melakukan pengakuan dosa. Dan mohon maaf yang sebesar-besarnya. Sebagai yang diamanahi bidang ini langsung di tingkat kota, saya tidak bisa mendampingi, atau minimal ngaruhke pelatihan ini kecuali di Tegalrejo, yang tidak lain memang rayon saya. Semoga berita acara, rekap peserta, sertifikat, dan angket evaluasi yang masih jadi PR bidang Diklat di kota, bisa sedikit menebus kesalahan saya.
Untuk yang sesi dua ini, sebenarnya saya ada barengan tiga acara
sekaligus. Tetapi karena mas’ul saya tidak bisa hadir, saya merasa tidak enak
untuk meninggalkan pelatihan. Kemudian saya pamit kepada teman-teman remaja
masjid yang sedang mengadakan bazaar. Saat mendampingi pelatihan itu, saya
sempat eyel-eyelan dengan seorang
ustadz. Sampai salah satu ustadzah dari Wirobrajan berkomentar, “Kok sampai
segitunya ta, Mbak? Pakai helm yang itu juga ndakpapa kan?”
Selain saya, ada beberapa ustadz yang stand
by di luar. Jika ada sesuatu yang kurang, fotocopy misalnya, mereka yang
langsung go. Nah, karena pengurus
diharapkan hadir lebih awal daripada peserta, jadilah motor yang kami parkir
juga menjadi motor di posisi paling dalam. Bersyukur ada pengurus yang motornya
berada di baris paling belakang. Dua ustadz kemudian meminjam motornya.
Nah, tiba saatnya berangkat, mereka baru sadar bahwa helmnya cuma satu. Lalu
secara reflek, yang satu mengambil helm di motor yang paling dekat dengannya.
Dan saya melihatnya.
“Eh, Dek!” karena kebetulan usianya lebih muda dari saya. “Helm
siapa itu?”
“Ndak tau, Mbak”,
jawabnya.
“Jangan. Mending pakai helm mbak aja…”
“Helm mbak dimana?”
“Itu”, sambil menunjuk motor yang posisinya tidak jauh beda dengan
motor mereka.
“Ah, ini aja Mbak, yang deket…”
“Jangan…”,
Debatpun dimulai. Bukan debat sih sebetulnya. Hanya berusaha saling
memahamkan.
“Dek”, di akhir perdebatan (apa sih, kata yang lebih halus?) itu,
“kalau ustadznya aja pakai barang orang lain tanpa ijin, gimana nanti
santrinya?”
Sepele tampaknya, tapi sering terjadi dan dianggap biasa,
sehingga lama-lama tak merasa berdosa. Salah satunya adalah ghashab (menggunakan
milik orang lain tanpa hak). Jika itu banyak terjadi, maka cukuplah sebagai
petunjuk bahwa kita masih belum memiliki rasa takut terhadap yang haram.
Tentang sikap terhadap kepemilikan, ada
satu hal yang harus senantiasa kita ingatkan agar mereka memiliki kehati-hatian
yang tinggi. Kita perlu terus-menerus menumbuhkan rasa khauf pada diri mereka tentang hari akhir ketika mereka harus mampu
mempertanggungjawabkan darimana ia memperoleh harta dan kemana ia membelanjakan
hartanya. Dua-duanya harus benar. Menggunakan untuk perkara yang benar, tetapi
mendapatkannya dari sumber yang haram, maka tak ada yang layak baginya kecuali
api neraka. Begitu pun sebaliknya, meski halal sumbernya dan bersih caranya,
tetapi ia tetap berkewajiban untuk menggunakannya di jalan yang benar, untuk
tujuan yang benar.
Jika di TKA-TPA masih banyak santri yang menyerobot pensil kawannya begitu saja (sekalipun untuk menulis pelajaran) tanpa ijin, atau ketika di pondok banyak baju atau kaos kaki di jemuran yang berpindah tangan, ini merupakan peringatan agar kita berusaha lebih serius menanamkan kehati-hatian pada mereka terhadap perkara yang haram maupun syubhat.
Sebagai ustadz/ah, sebagi pendidik, kitalah yang bertanggung-jawab mengantarkan santri-santri kita
agar kelak menjadi manusia yang benar-benar mampu menunaikan taklif (bebanan
syari’at). Salah satu perkara yang harus kita persiapkan pada diri mereka
adalah kemampuan membelanjakan harta atau kepemilikan (tasharruf)
secara bertanggung-jawab. Tidak terjatuh pada tabdzir, tidak pula tergelincir kepada sikap bakhil. Sesungguhnya, salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh
setiap mukallaf adalah mentasharrufkan harta sesuai peruntukannya.
Mengajari mereka menggunakan kepemilikan
dengan benar sesuai haknya menurut syari’at, merupakan bekal berharga dalam
mengantarkan mereka menjadi manusia dewasa. Kemampuan mentasharrufkan harta sangat penting bagi pembentukan adab mereka,
kerena lurusnya mereka dalam urusan harta, berpengaruh pada sikap mereka
terhadap ilmu dan agama.
Nah, jika kita saja sebagai pendidik belum
menghidupinya, bagaimana nanti dengan anak-anak kita?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar