Hari kedua saya berada di ibukota. Saya menyempatkan diri
untuk berkunjung ke rumah pakdhe saya
di bilangan Klender, Jakarta Timur. Rumah itu besar, kamarnya banyak mirip
kos-kosan. Memang, karena anak pakdhe
saya jumlahnya empat, eh, belum selesai: empat belas. Ya, cukup untuk membentuk
satu tim sepakbola, satu wasit, dua hakim garis, satu pemain cadangan, lengkap
dengan pelatih dan co. pelatih, yaitu pakdhe
dan budhe saya.
Laman
Kamis, 28 Februari 2013
Senin, 25 Februari 2013
Kita vs Allah
Yang membuat hidup yang kita jalani ini terasa begitu sempit, sulit, dan menghimpit, seringkali karena kita terlalu serius memikirkannya. Bukan berarti berpikir serius itu salah, baik banget malah, tapi terlalunya itu lho! Misalnya tentang Piala AFC, setelah Timnas keok, maka AFC dengan segala hiruk pikuknya seketika tak menarik lagi. Atau UN, setelah belajar hidup-hidupan (hidup aja, kalau mati gimana mau belajar?) ternyata ndak lulus, maka seolah hidup ndak ada gunanya lagi. Atau soal Jamkesmas atau KMS, kalau ndak dapat seakan dunia sudah berakhir.
Rabu, 13 Februari 2013
Sabtu, 09 Februari 2013
Belajar Memahami
Enam tahun yang lalu saya
didaulat dalam sebuah musyawarah bersama untuk memegang amanah sebagai
direktur. Kesannya jumawa betul, anak
kemarin sore ditunjuk menjadi pilot yang penumpangnya bahkan sudah sepuh-sepuh. Yang dipimpin itu banyak
yang sudah sarjana, bapak-bapak, ibu-ibu, dan remaja yang semuanya lebih tua,
dan saya baru SMP kelas tiga. Silahkan tertawa. Itulah kenyataannya. Jelang
akhir 2007, saya menjadi Direktur TPA (waktu itu belum namanya belum pakai
TKA-TPA-TQA) Baiturrahman, Tegalrejo, Yogyakarta untuk masa bhakti 2007-2012.
Ya, direktur dalam kurun waktu lima tahun ke depan.
Senin, 04 Februari 2013
Supervisor Or Superman
Tugas mulia seorang supervisor itu mensilaturahimi, bukan menghakimi. Ia cukup merekam, lalu menuliskannya dalam instrument penilaian. Jika ada yang janggal, ada ndak pas saat diperhatikan, maka yang harus ia sediakan lebih dulu adalah telinga untuk mendengar, bukan pertanyaan penuh tuntutan…
Sabtu, 02 Februari 2013
S3
Setelah seorang ukhti mengomentari bahwa tulisan saya beberapa waktu lalu “gokil”, saya sempat mencoba mengulang kegokilan itu di tulisan ini. Tapi entah kenapa saya ndak bisa. Cukup lama saya terdiam, sebelum akhirnya tulisan ini lahir dalam bahasa yang demikian.
Ini tentang sebuah persaudaraan. Bagaimana rasanya jika ada yang mengatakan pada kita, “Aku ini saudaramu!”. Pasti bahagia sekali. Saudara itu adalah wujud kekerabatan yang amat dekat. Bahkan lisan manusia paling mulia di dunia ini pernah bersabda, “Tidak beriman sesorang hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri”. Salah satu ukuran iman yang beliau minta pembuktiannya adalah mencintai saudara. Karena saat mencintai, kita pasti akan memberikan yang terbaik bagi yang kita cintai. Dan kita tak pernah ingin sesuatu yang buruk –sekecil apapun- terjadi pada orang yang kita cintai.
Langganan:
Postingan (Atom)