Laman

Selasa, 25 Februari 2014

Harga Sebuah Harga Diri

Apa sih yang sebetulnya disebut dengan harga diri? Samakah dengan harga-harga yang lain? Dipelajarikah ia di bangku sekolah? Adik saya yang mengambil jurusan ekonomi akan dapat mata kuliah Penilaian Properti, secara sederhana, itu mata kuliah yang membahas harga properti. Lha, kalau harga diri? Bagaimana menilainya? Dengan parameter apa kira-kira?

Jika harga diri itu justru malah mengganggu kehidupan jangka panjang kita, bisakah kita sandarkan masa depan kita padanya? Kenapa ada yang mengajarkan untuk menyerahkan pipi kiri ketika pipi kanannya ditampar? Tidakkah itu cukup memalukan jika mengukurnya dari harga diri seseorang? Kenapa kok ndak mengajarkan untuk membalas saja? Jika kita didustai, dikhianati, disakiti, dan tidak dianggap oleh orang yang paling kita sayangi, tetapi kita tetap menyayanginya karena percaya kasih sayang dan kebaikan bisa menyembuhkan banyak keburukan: apakah harga diri kita tergadai saat itu?

Kenapa banyak sekali perselisihan terjadi di dunia ini? Kenapa ada anak sekolah bentrok dengan teman sekolahnya yang lain? Kenapa silang pendapat ringan bisa jadi proses hukum berkepanjangan? Kenapa Fir’aun yang tahu persis bahwa Nabi Musa membawa berita kebenaran Rabb semesta alam, tetap ngotot tak mau menerimanya? Kenapa Kaisar Romawi yang bahkan sudah berujar bahwa kelak muslimin akan menguasai wilayahnya, tetap menolak risalah Rasulullah Muhammad SAW?

Harga dirilah jawabannya. Lebih tepat lagi: harga diri yang tidak diletakkan pada tempat yang semestinya.

Kalau saya pribadi, saya akan tetap menjaga harga diri dalam hal-hal paling substansial, hal-hal paling prinsip dalam hidup saya. Dan itu sebisa mungkin coba saya lakukan dengan kedewasaan. Bukan asal eyel-eyelan dan asal main gontok-gontokan. Itu namanya kekanak-kanakan, efek masa kecil kurang bahagia. Dan rasanya berpikir mashlahat lebih baik daripada terpaku apakah ini menyangkut harga diri atau tidak, apakah saya dilecehkan atau tidak.

Jika harga diri yang dirugikan sebatas berpengaruh secara personal pada saya, saya kok mending memilih untuk mengalah, memaafkan, atau bahkan kalau perlu meminta maaf. Tapi jika itu menyangkut kepentingan orang banyak, keluarga, apalagi agama, maka kalian akan menemui orang yang siap memperjuangkan itu dengan segala daya upaya. Tentu bukan dengan menghalalkan segala cara.

Maaf, kalau saya punya pandangan yang sedikit berbeda dengan banyak orang lainnya. Menurut saya, seseorang yang menyebut dirinya dewasa harus punya keyakinan yang akan ia pertahankan jika itu adalah kebenaran. Meskipun itu ongkosnya mahal dan banyak kecenderungan diri yang harus diabaikan.

Memperjuangkan kebenaran (seberat apapun), nah, itu kawan karib harga diri. Sedangkan mencari pembenaran (sekecil apapun), maaf, itu bukan harga diri, itu namanya gengsi.*** (an)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar