Beberapa
hari yang lalu saya nonton Mata Najwa, spesial menghadirkan Wakil Presiden RI,
Pak Boediono. Dari wawancara yang ndak
sempat saya simak dari awal itu, satu yang saya catat: tak ada ekspresi
berlebihan yang muncul dari Pak Boed. Beliau menanggapinya dengan biasa-biasa
saja, tanpa rasa khawatir atau justru rasa bangga yang berlebihan. Meninggalkan
kesan sederhana namun bersahaja. Yang sangat membekas bagi saya adalah karakter
dan prinsip beliau. Bahwa beliau sangat menjaga, begitu hati-hati dengan mana
yang hak dan mana yang bukan. Sebagai contoh, pada saat Pak Boed pergi haji
sekeluarga, beliau difasilitasi pesawat kepresidenan milik TNI AU. Setwapres
menuturkan, “Pak Boed bilang bahwa haji ini ibadah pribadi, bukan tugas negara.
Maka sepulang haji Pak Boed minta untuk dihitungkan biaya seluruh bahan bakar
dan biaya parkir selama di sana, dibagi jumlah kursi. Jadi berapa Pak Boed
harus membayar sesuai jumlah kursi yang keluarga beliau pakai. Uang itu lalu
disetorkan ke kas negara.”
Awesome! Ini harusnya jadi prinsip yang musti dipegang oleh semua: menjaga dari apa-apa yang bukan haknya.
Terus soal kriminalisasi
kebijakan. Kalau ndak salah itu yang
dibicarakan terkait kasus Century. Bagaimana awalnya saya ndak mengikuti, kelewatan segmen yang sebelum jam sembilan. Sosok
yang pernah jadi dosen di UGM, Menko Ekuin, dan Gubernur BI ini percaya bahwa
setiap persoalan (lebih khusus terkait ekonomi) kuncinya terletak pada logika
pemecahan masalah dan personal approach,
bukan hitungan angka-angka. Nah! Dari dulu saya ndak begitu nyaman dengan masalah keuangan. Walaupun pada akhirnya
saya tetap jadi manager keuangan di rumah yang harus menghandle mulai penganggaran sampai pembelanjaan. Hehe, dipaksa
keadaan. Bahkan sejak SMP kelas 2 menerima pelajaran pembukuan (semacam
akutansi sederhana), saya dapat nilai
bagus itu bukan karena enjoy,
sejujurnya saya malas betul kalau harus ikut perbaikan. Harus ketemu lagi sama
angka berderet dalam kolom dan tabel yang ndak
begitu eye catching. Eh, Pak Boed
yang pakarnya ekonomi justru bilang jangan mendahulukan angka-angka, tapi
logika berpikirnya. That’s it! Kalau
logika keuangannya bener, tentu lebih mudah mencari orang yang bisa
menerjemahkannya dalam hitungan angka-angka. Dan ndak perlu pobi lagi baca laporan keuangan dengan segala macam
bentuknya.
Sehari
setelah itu, pulang dari masjid saya mendapati adik saya sedang khusyuk pada
buku, kertas, dan kalkulator tapi terus mengernyitkan dahi.
“Ngerjain
apa, Dek?”, tanya saya.
“Ini lho,
Mbak..”, kemudian dia perlihatkan tugas akutansinya. Tentang Sekuritas-Ekuitas.
“Bantuin, Mbak..”, pintanya.
“Lha, Mbak
bukan anak ekonomi je, suruh bantuin
begituan..”
“Yah Mbak,
selembar ini..”
“Buat
kapan?”, tanya saya.
“Buat kuliah
besok..”
Akhirnya
saya lihat juga tugasnya. Lalu saya teringat jurus dari ‘kuliah singkat’ Pak
Boed kemarin. Logika, logika, batin saya. Saya baca materinya,
saya pahami contoh soal yang ada, kemudian saya coba mengerjakannya. Bi idznillah, bisa! Saya selesai sampai
poin a yang merupakan jawaban utama. Poin b dan c saya serahkan lagi pada
empunya. “Wis, ketemu ta? Salinen dewe ya
Dek, sesuai kaidah akutansi, kepiye kuwi
le nulis runtutan jawabane. Apa meneh sing b karo c: nyusun jurnal dsb, Mbak ra
mudeng.”
Hahaha..
aplikatif dan berguna betul jurusnya Pak Boed. Dahulukan logika berpikirnya, maka
akan lebih mudah menerjemahkannya dalam langkah nyata. Untuk soal-soal ekonomi,
maupun ‘soal-soal’ lainnya dalam hidup kita.
Matur nuwun, Pak Boed!*** (an)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar