Laman

Minggu, 23 Maret 2014

Berguru Pada Pak Boed

Beberapa hari yang lalu saya nonton Mata Najwa, spesial menghadirkan Wakil Presiden RI, Pak Boediono. Dari wawancara yang ndak sempat saya simak dari awal itu, satu yang saya catat: tak ada ekspresi berlebihan yang muncul dari Pak Boed. Beliau menanggapinya dengan biasa-biasa saja, tanpa rasa khawatir atau justru rasa bangga yang berlebihan. Meninggalkan kesan sederhana namun bersahaja. Yang sangat membekas bagi saya adalah karakter dan prinsip beliau. Bahwa beliau sangat menjaga, begitu hati-hati dengan mana yang hak dan mana yang bukan. Sebagai contoh, pada saat Pak Boed pergi haji sekeluarga, beliau difasilitasi pesawat kepresidenan milik TNI AU. Setwapres menuturkan, “Pak Boed bilang bahwa haji ini ibadah pribadi, bukan tugas negara. Maka sepulang haji Pak Boed minta untuk dihitungkan biaya seluruh bahan bakar dan biaya parkir selama di sana, dibagi jumlah kursi. Jadi berapa Pak Boed harus membayar sesuai jumlah kursi yang keluarga beliau pakai. Uang itu lalu disetorkan ke kas negara.”

Awesome! Ini harusnya jadi prinsip yang musti dipegang oleh semua: menjaga dari apa-apa yang bukan haknya.

Terus soal kriminalisasi kebijakan. Kalau ndak salah itu yang dibicarakan terkait kasus Century. Bagaimana awalnya saya ndak mengikuti, kelewatan segmen yang sebelum jam sembilan. Sosok yang pernah jadi dosen di UGM, Menko Ekuin, dan Gubernur BI ini percaya bahwa setiap persoalan (lebih khusus terkait ekonomi) kuncinya terletak pada logika pemecahan masalah dan personal approach, bukan hitungan angka-angka. Nah! Dari dulu saya ndak begitu nyaman dengan masalah keuangan. Walaupun pada akhirnya saya tetap jadi manager keuangan di rumah yang harus menghandle mulai penganggaran sampai pembelanjaan. Hehe, dipaksa keadaan. Bahkan sejak SMP kelas 2 menerima pelajaran pembukuan (semacam akutansi sederhana),  saya dapat nilai bagus itu bukan karena enjoy, sejujurnya saya malas betul kalau harus ikut perbaikan. Harus ketemu lagi sama angka berderet dalam kolom dan tabel yang ndak begitu eye catching. Eh, Pak Boed yang pakarnya ekonomi justru bilang jangan mendahulukan angka-angka, tapi logika berpikirnya. That’s it! Kalau logika keuangannya bener, tentu lebih mudah mencari orang yang bisa menerjemahkannya dalam hitungan angka-angka. Dan ndak perlu pobi lagi baca laporan keuangan dengan segala macam bentuknya.

Sehari setelah itu, pulang dari masjid saya mendapati adik saya sedang khusyuk pada buku, kertas, dan kalkulator tapi terus mengernyitkan dahi.
“Ngerjain apa, Dek?”, tanya saya.
“Ini lho, Mbak..”, kemudian dia perlihatkan tugas akutansinya. Tentang Sekuritas-Ekuitas. “Bantuin, Mbak..”, pintanya.
“Lha, Mbak bukan anak ekonomi je, suruh bantuin begituan..”
“Yah Mbak, selembar ini..”
“Buat kapan?”, tanya saya.
“Buat kuliah besok..”
Akhirnya saya lihat juga tugasnya. Lalu saya teringat jurus dari ‘kuliah singkat’ Pak Boed kemarin. Logika, logika, batin saya. Saya baca materinya, saya pahami contoh soal yang ada, kemudian saya coba mengerjakannya. Bi idznillah, bisa! Saya selesai sampai poin a yang merupakan jawaban utama. Poin b dan c saya serahkan lagi pada empunya. “Wis, ketemu ta? Salinen dewe ya Dek, sesuai kaidah akutansi, kepiye kuwi le nulis runtutan jawabane. Apa meneh sing b karo c: nyusun jurnal dsb, Mbak ra mudeng.”

Hahaha.. aplikatif dan berguna betul jurusnya Pak Boed. Dahulukan logika berpikirnya, maka akan lebih mudah menerjemahkannya dalam langkah nyata. Untuk soal-soal ekonomi, maupun ‘soal-soal’ lainnya dalam hidup kita.

Matur nuwun, Pak Boed!*** (an)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar