Tulisan ini saya buat hari pertama Ramadhan. Karena satu dan banyak hal, saya belum sempat menguploadnya. Baru sekarang, di hari-hari penghujung Ramadhan. Berharap semoga bisa menjadi peringatan, tak ada jaminan saya akan bertemu Ramadhan tahun depan...
15 Juli 2006, hari pertama saya
masuk dan duduk di kelas delapan sekolah menengah pertama. Paginya saya
dilarang pergi ke sekolah oleh ibu saya. Sore jelang malamnya, lautan manusia
menyesaki halaman rumah hingga ke dalam. Bendera putih terpasang. Ibu berpulang
ke rahmatullah hari itu.
Adik, kakung, uti, bulik-bulik, saudara-saudara sepupu, dan semua
keluarga kami menangis. Bapak tidak menangis, beliau orang yang sangat sukar
mengeluarkan air mata. Tetapi tatap kosong matanya lebih dari cukup untuk mewakili
rasa kehilangan atas kepergian istri yang sangat bapak cintai. Hari itu juga
pengalaman pertama saya mengurusi jenazah, dan itu adalah jenazah ibu saya.
Saat saya mengurus jenazah ibu, terlihat jelas seulas senyum manis dan wajah
bersih bercahaya dari sosok yang ditangisi ratusan orang yang datang hari itu.
Kenangan tujuh tahun yang lalu
itupun masih sangat jelas terekam dalam sanubari. Betapa saya saat itu juga
menangis. Namun saya memandangi senyumnya dengan binar bahagia. Masih jelas
hingga detik ini bagaimana senyum indah ibu di akhir hayatnya. Bahkan jika
seandainya saya bisa melukis, mungkin saya akan melukiskannya dengan sangat
detil.
Sejatinya ibu hanya seorang wanita
yang biasa-biasa saja. Tapi semenjak beliau masih hidup hingga sepeninggal beliau,
tak pernah saya mendengar orang membicarakan ibu kecuali tentang kebaikan.
Tahun 2010, bapak saya meninggal
dunia. Lagi-lagi beliau sosok yang biasa saja sebetulnya. Namun perjuangan dan
pengorbanan beliau untuk memperbaiki diri dan menjadi ayah terbaik bagi kami di
ujung usia, itu hal luar biasa yang tak bisa kami pungkiri. Seperti halnya ibu,
beliau juga menutup mata dengan senyuman. Bahkan entah dengan firasat apa
sebelumnya, bapak sudah memposisikan diri sesuai tuntunan agama sebelum
wafatnya. Seluruh pakaian yang bapak kenakan –maaf- sudah beliau lepas
seluruhnya dan beliau letakkan di pinggir ranjangnya. Membujur dengan kepala di
sisi utara, tangan bersedekap dan berselimut sampai ke dada. Sementara posisi kami
–saya dan adik saya- tidak menunggu dan melepas kepergiaannya.
Saya sering menitikkan air mata
mengingat keduanya. Sungguh saya juga sering menangis jika menghitung-hitung
betapa miskinnya diri ini dari amal shalih. Bendungan air mata siap jebol
tatkala mengingat betapa banyak dosa yang kerap tercipta, bahkan hingga detik
ini. Jika demikian, adakah kemungkinan diri ini mengakhiri perjalanan hidup ini
dengan senyuman? Mungkinkah saya menutup mata dengan indah? Adakah yang
dibincangkan sepeninggal saya kebaikan atau keburukan?
Yaa Rabb,
ijinkan hamba menutup mata dengan senyuman…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar