Laman

Selasa, 06 Agustus 2013

Senyuman Di Ujung Jalan


      Tulisan ini saya buat hari pertama Ramadhan. Karena satu dan banyak hal, saya belum sempat menguploadnya. Baru sekarang, di hari-hari penghujung Ramadhan. Berharap semoga bisa menjadi peringatan, tak ada jaminan saya akan bertemu Ramadhan tahun depan...
15 Juli 2006, hari pertama saya masuk dan duduk di kelas delapan sekolah menengah pertama. Paginya saya dilarang pergi ke sekolah oleh ibu saya. Sore jelang malamnya, lautan manusia menyesaki halaman rumah hingga ke dalam. Bendera putih terpasang. Ibu berpulang ke rahmatullah hari itu.
Adik, kakung, uti, bulik-bulik, saudara-saudara sepupu, dan semua keluarga kami menangis. Bapak tidak menangis, beliau orang yang sangat sukar mengeluarkan air mata. Tetapi tatap kosong matanya lebih dari cukup untuk mewakili rasa kehilangan atas kepergian istri yang sangat bapak cintai. Hari itu juga pengalaman pertama saya mengurusi jenazah, dan itu adalah jenazah ibu saya. Saat saya mengurus jenazah ibu, terlihat jelas seulas senyum manis dan wajah bersih bercahaya dari sosok yang ditangisi ratusan orang yang datang hari itu.
Kenangan tujuh tahun yang lalu itupun masih sangat jelas terekam dalam sanubari. Betapa saya saat itu juga menangis. Namun saya memandangi senyumnya dengan binar bahagia. Masih jelas hingga detik ini bagaimana senyum indah ibu di akhir hayatnya. Bahkan jika seandainya saya bisa melukis, mungkin saya akan melukiskannya dengan sangat detil.
Sejatinya ibu hanya seorang wanita yang biasa-biasa saja. Tapi semenjak beliau masih hidup hingga sepeninggal beliau, tak pernah saya mendengar orang membicarakan ibu kecuali tentang kebaikan.
Tahun 2010, bapak saya meninggal dunia. Lagi-lagi beliau sosok yang biasa saja sebetulnya. Namun perjuangan dan pengorbanan beliau untuk memperbaiki diri dan menjadi ayah terbaik bagi kami di ujung usia, itu hal luar biasa yang tak bisa kami pungkiri. Seperti halnya ibu, beliau juga menutup mata dengan senyuman. Bahkan entah dengan firasat apa sebelumnya, bapak sudah memposisikan diri sesuai tuntunan agama sebelum wafatnya. Seluruh pakaian yang bapak kenakan –maaf- sudah beliau lepas seluruhnya dan beliau letakkan di pinggir ranjangnya. Membujur dengan kepala di sisi utara, tangan bersedekap dan berselimut sampai ke dada. Sementara posisi kami –saya dan adik saya- tidak menunggu dan melepas kepergiaannya.
Saya sering menitikkan air mata mengingat keduanya. Sungguh saya juga sering menangis jika menghitung-hitung betapa miskinnya diri ini dari amal shalih. Bendungan air mata siap jebol tatkala mengingat betapa banyak dosa yang kerap tercipta, bahkan hingga detik ini. Jika demikian, adakah kemungkinan diri ini mengakhiri perjalanan hidup ini dengan senyuman? Mungkinkah saya menutup mata dengan indah? Adakah yang dibincangkan sepeninggal saya kebaikan atau keburukan?
Yaa Rabb, ijinkan hamba menutup mata dengan senyuman…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar