Laman

Selasa, 27 Desember 2011

Teriakan Syifa

"Arung jeram itu apa sih, Bah?"

“Oh, itu berarti kita naik perahu karet, trus menyusuri sungai, Nak...” jawab suamiku.

“Aku pakai helm juga?” ia bertanya dengan polosnya. Melihat abahnya sedang memakai helm.

“Iya, Syifa. Coba pakai helmnya sendiri ya, Anak pintar…” kataku sambil tersenyum.

“Kayak abah waktu naik jembatan goyang dong, Mi?”

Sekarang giliran suamiku yang senyum-senyum. Kami memang beberapa kali mengajak anak-anak ke wahana high risk. Sekedar melihat abah dan uminya beraktivitas sebagai outbounders.

“Tapi Mi, kenapa harus pakai pelampung?”

Saya yang masih berjongkok memasangkan pelampung di badannya, sempat terkejut mendengar Syifa bertanya demikian. Berpikir, jawaban apa yang paling pas saya berikan padanya.

“Ehm… biar keren!” suamiku yang berdiri di belakang Syifa segera menyahut.

“Abah sukanya gitu kan Mi, kalau ditanya…”

Kami hanya saling pandang. Lalu tersenyum. Saya dan suami paham betul, Syifa bukan tipikal anak yang pemberani. Mengatakan agar tidak tenggelam padanya, akan membuat Syifa takut dan tidak mau ikut rafting.

“Aku nanti bawa dayung juga nggak, Bah?”

“Nggak, nanti abah sama umi aja yang bawa dayung…”

“Trus aku di perahu ngapain?”

“Ehm, menikmati pemandangan…” sahutku sambil mencubit pipinya.

Ketika family mengajak rekreasi bersama ke salah satu kawasan wisata keluarga di Bogor, saya dan suami setuju saja. Saat kemudian kami diajak rafting, awalnya kami sempat ragu untuk menyertakan Syifa. Kami memang suka beraktivitas di alam. Tapi untuk mengikutkan Syifa, harus dipikirkan matang-matang. Pertama, putri kedua kami ini benar-benar layaknya seorang putri, sangat halus dan cenderung penakut. Berbeda dengan kakaknya. Lahir sebagai putra pertama, sekaligus cucu pertama, merangkap keponakan pertama di keluarga kami, membuatnya selalu tampil menjadi hero. Kedua, level raftingnya tingkat 3-4. Jika level ratfing yang tertinggi adalah tingkat 4, ini tingkat 3-4. Jeramnya mulai dari riak kecil seperti di Elo, sampai menuruni dam setinggi 3,5 meter. Selain itu perahu juga melewati sungai sempit yang diapit tebing terjal dann tinggi. Terbayang? Namun, karena moment seperti ini adalah jarang, dan ini adalah kesempatan mengajarkan keberanian, akhirnya kami sepakat.

Sampailah kami di sana. Kami –S3: Saya, Suami, dan Syifa- memilih perahu bersama adik saya, Om Graha, begitu anak-anak memanggilnya. Lalu seorang sepupu yang mengajak satu anaknya. Sementara Si Sulung sudah lebih dulu bersama pakdhe, budhe, dan om-omnya, saudara dari suami.

“Duduk di sini Sayang, jangan jauh-jauh dari umi…”

Saya mendudukkan Syifa di sampingku. Dan suami duduk di depan Syifa.

“Jangan lupa bismillah dulu ya…”

“Iya, Bah…” Lalu kami mendengar bibir mungilnya melafadz basmalah.

Petualangan dimulai. Perlahan tapi pasti perahu kami meluncur. Dan perlahan tapi pasti pula saya melihat wajah Syifa memucat.

“Hey, jangan takut, Nak!”

Dia tak menjawab ucapan abahnya.

Adegan berikutnya membuatku sedikit panik. Kami memasuki jeram pertama yang cukup curam. Syifa langsung terpental dari tempat duduknya. Segera kutarik dia dengan tangan kanan, karena tangan yang satu masih memegang dayung. Syifa masih diam saja, tapi jelas, wajahnya makin memucat. Kupandang lekat-lekat putriku ini. Abahnya juga berbalik melihat kami yang duduk di belakangnya. Suamiku mulai nampak cemas.

“Tenang Sayang, tenang…” ujarku mencoba menenangkan Syifa sekaligus menenangkan diri sendiri.

Namun, saya mulai tak tenang juga. Sepertinya ini di luar perhitungan kami. Perahu terus meluncur, semakin lama semakin cepat. Tidak mudah membagi konsentrasi antara mengikuti instruksi pemandu, mengendalikan dayung, dan menjaga Syifa. Jeram demi jeram kami lewati. Tidak terhitung berapa kali Syifa merosot dari tempat duduknya dan kutarik kembali. Dia tetap diam. Matanya penuh ketakutan. Dan tangannya menggenggam erat-erat tambang di depannya.

“Syifa!” suamiku berkali-kali memanggil namanya. Tapi dia tidak bergeming, tetap diam seribu bahasa.

Akhirnya kami sampai ke bagian sungai yang relatif tenang. Mulailah Syifa terisak-isak. Saya peluk dia dengan sebelah tangan.

“Nggak apa-apa Sayang, nggak apa-apa. Syifa hebat…” kataku berusaha membesarkan jiwanya.

“Putri abah pemberani kok!” suamiku menambahkan.

Dia berbisik, “Aku takut Mi, aku takut. Aku mau pulang…” sambil terus berurai air mata. Sejuta perasaan bersalah menyerangku. Bahkan saya bisa membaca, dari sorot matanya, suami pun merasa demikian.

Pikiranku semakin kacau, ketika melihat beberapa puluh meter ke depan, ada sekumpulan jeram yang lebih curam, lebih sukar, dan lebih banyak daripada sebelumnya. “Bah, umi lepas dayung sementara…”

Kupeluk Syifa, membenamkan Syifa ke dadaku. Jantungku berdegup kencang. Sepertinya Syifa pun bisa merasakan. Tapi saya ingin Syifa mengerti, di sini dia tidak sendiri. Ada saya dan suami, umi dan abah yang selalu berusaha menjaganya. Dan Allah tentu saja. Kupegangi kepala dan lengannya yang basah, “Shalihah, coba teriak ya, Sayang!” pintaku. Dia tergugu dan menggelengkan kepala.

Sekilas saya melihat ke depan. Kami semakin dekat dengan beberapa jeram yang curam. “Syifa, teriak Sayang, teriak!” kataku dengan lebih keras. Hingga suamiku pun kaget. Kusambar lagi dayungku, dan kupeluk Syifa erat-erat dengan sebelah tanganku yang lain.

“Syifa! Lihat ke depan, Sayang!” seru suamiku sambil tangan kirinya menggapai Syifa.

“Takbir! Takbir, Nak! Takbir!” teriak kami.

Syifa terbelalak melihat jeram di depannya. Dan spontan kemudian berteriak, “ALLAHU AKBAR!”

Kami terjatuh merosot dari tempat duduk. “UMMIII! ABAAAH!” teriaknya melihat kami jatuh. Sesaat disergap rasa ngeri juga. Namun teriakan Syifa seperti kilat yang menyambar. Mengembalikan kesadaran dan menyalakan sesuatu yang hangat di lubuk hati.

“Pegang talinya, Mi!” teriak Syifa tak berhenti. “Dayungnya, Bah!”

Belum selesai kami bangkit, jeram berikutnya sudah menanti. Mulailah kami bertiga jatuh bangun dari tempat duduk dan terus berteriak bersama. Perlahan-lahan,wajah Syifa kembali memerah. Dan ketika beberapa kali kami jatuh bersama, dia mulai tertawa. Suara teriakan dan tawanya, entah mengapa, semakin lama semakin hangat terasa di hati.

Separuh jalan sisa arung jeram akhirnya menjadi petualangan seru tak terlupakan.

Setelah kami mandi dan ganti baju, Syifa datang kepada kami. Dengan gaya kalemnya, dan dengan senyum yang khas, dia meraih tubuhku. Menggelayut sebentar, lalu berganti ke abahnya.

“Mi, sini deh!” katanya mengisyaratkan sesuatu. Kudekatkan wajahku ke wajah Syifa. Tangan kirinya melingkar di leher abahnya, tangan kanannya melingkar di leherku. Matanya bersinar, lalu mulutnya berbisik, “Tadi umi sama abah takut ya, kok ikut teriak-teriak?”

Hahaha… luar biasa rasanya. Dan hadiah untuk Syifa adalah dua kecupan hangat di pipi. Yang kiri dari abah, yang kanan dari umi ^_^

Nak, besok kalau Syifa bisa membaca tulisan ini, dan jika kami mungkin tidak di sisimu saat itu, ingat ya: tak peduli berapapun karang yang merintangi jalanmu, bagaimanapun curam jeram yang menghadang di depanmu, dan seperti apapun ketakutan yang menyerangmu, jangan membelakangi atau lari dari mereka. Hadapilah dengan penuh keyakinan, kekuatan, dan keberanian! Karena kami menyayangimu...! May Allah always be with us…


sepulang outrance,
habis wobbly dan descending asisten lab psikologi uin
#menyemengatidirisendirimodeon
tigaharikedepanadalahgelombangyangharusditaklukkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar