Laman

Rabu, 16 Maret 2011

Saat Harus Menulis (Lagi)


Kita tahu, banyak hal baik dalam hidup ini. Dan kita juga tahu persis, seberapa besar manfaatnya jika hal baik itu dilakukan. Tapi kadang, hal baik itu tak juga kita kerjakan. Atau kita tunda sementara sampai ada kesempatan. Atau kita kerjakan sebentar, lalu terhenti karena kesibukan. Atau sama sekali tidak kita kerjakan dengan banyak alasan.

Misalnya: sholat awal waktu jamaah di masjid, puasa Senin Kamis, shodaqoh, olahraga rutin, baca buku, dan lain sebagainya. Oh ya, satu lagi: MENULIS. Itu semua adalah hal-hal baik, yang kadang kita tidak bersegera melakukannya.

Kita ambil contoh spesifik lagi: menulis. Sejak ada twitter dan facebook, rasanya banyak waktu yang tersita untuk dua hal itu. Apalagi dengan adanya mobile web atau gadget yang makin memudahkan untuk akses online. Karena makin mudah, jadi makin sering juga aksesnya.

Aku kok jadi mengamati, ada kecenderungan yang entah, bisa jadi kelemahan atau kekuatan. Obrolan di akun buatan Jack Dorsey dan status di jejaring sosial rintisan Mark Zuckerberg ini, menghasilkan respon atas pemikiran kita yang pendek, 140 karakter. Pendek betul kan? Lebih singkat dari teknologi short message service yang sampai 160 karakter. Dan sering kali, respon interaktif itu yang membuat kita asyik. Bikin kita larut untuk merangkum pemikiran atau ide yang singkat dan padat. Dan lama kelamaan, ini mulai menjadi hijab yang menghalangi kita untuk mau menggali lebih dalam, sedikit saja. Lalu menuangkannya jadi ide yang utuh. Menjadi sebuah tulisan yang matang.

Sirine di kepalaku terus berdenging, bahkan lama-lama meraung. Mengingatkan bahwa cara-cara yang singkat dan rame lewat ngetwit dan update status itu, tak akan mampu sepenuhnya mengajak follower dan friend list kita untuk merenung dan menyisipkan makna yang lebih mendalam. Nah, di situlah peran tulisan yang tak bisa tergantikan.

Bahkan kalau kita mau lebih khusyuk lagi untuk berkomunikasi dengan hati, buku-buku fisik (yang bentuknya kertas jilid) lebih bisa menjaga kedekatan komunikasi maupun emosi antara penulis dan pembaca. Karena ia akan bebas gangguan dari membuka situs lain pada waktu yang sama.

Pagi ini, kesadaran untuk memulai hal-hal baik itu menyeruak. Aku tak merasa terbebani harus menulis, karena menulis bukan suatu beban. Tidak ada yang marah ketika aku tidak menulis. Walaupun memang ada yang sering mengingatkan saat aku tak menghasilkan tulisan baru berminggu-minggu. Jadi, bukan kewajiban yang mendorongku untuk menari di atas tuts keyboard lagi. Tapi kesadaran untuk membongkar hijab itu. Mensinergikan kejernihan berpikir, kedalaman menggali, kesungguhan berbagi, dan kedekatan berinteraksi.

Anggaplah twitter dan facebook itu jembatan agar lebih banyak orang membaca tulisan kita. Tapi kualitas tulisan dan kematangan penyampaian lah yang akan membuat orang lain mau berlama-lama membaca tulisan kita, bahkan menanti-nanti tulisan kita di esok lusa.

Hal-hal yang baik itu jangan ditunda. Pun jangan mak brek memulainya, apalagi jika belum biasa. Nanti justru terasa berat dan kita mudah kehilangan semangat. Sedikit demi sedikit saja, yang penting kontinyu melakukannya. Itu akan membuat kita lebih merasa enjoy menjalaninya, dan makin bersemangat setiap kembali memulainya.

Ibnul Qayyim Al-Jauziyah akan mengajari kita. Bagaimana beliau memiliki kemampuan jauh melampaui teman sebayanya. Apa prosesnya singkat? TIDAK. Beliau mulai sejak belia. Karena beliau lahir pada zaman ketika ilmu sedang jaya dan para ulama pun masih hidup.

Beliau telah mendengar hadits dari asy-Syihab an-Nablisiy, al-Qadli Taqiyuddin bin Sulaiman, Abu Bakr bin Abdid Da’im, Isa al-Muth’im, Isma’il bin Maktum dan lain-lain. Beliau juga belajar ilmu faraid dari bapaknya karena beliau sangat menonjol dalam ilmu itu.

Belajar bahasa Arab dari Ibnu Abi al-Fath al-Baththiy dengan membaca kitab-kitab al-Mulakhkhas li Abil Balqa’, lalu kitab al-Jurjaniyah, kemudian Alfiyah Ibnu Malik, juga sebagian besar Kitab al-kafiyah was Syafiyah dan sebagian at-Tas-hil. Di samping itu belajar dari syaikh Majduddin at-Tunisi satu bagian dari kitab al-Muqarrib li Ibni Ushfur.

Belajar ilmu Ushul dari Syaikh Shafiyuddin al-Hindi, ilmu Fiqih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Isma’il bin Muhammad al-Harraniy. Pada akhirnya, beliau benar-benar bermulazamah secara total (berguru secara intensif) kepada Ibnu Taimiyah. Sejak kembalinya Ibnu Taimiyah dari Mesir tahun 712 H, hingga wafatnya tahun 728 H. Pada masa itu, Ibnul Qayyim sedang pada awal masa-masa mudanya. Beliau sempat betul-betul mereguk sumber mata ilmunya yang luas. Beliau dengarkan pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah yang penuh kematangan.

Prosesnya selalu lancar? Juga TIDAK. Ibnul Qayyim pernah dipenjara. Bahkan dihina dan diarak berkeliling bersama Ibnu Taimiyah, sambil didera dengan cambuk di atas seekor unta. Setelah Ibnu Taimiyah wafat, Ibnul Qayyim pun dilepaskan dari penjara.

Hasilnya? Penguasaan beliau terhadap ilmu tafsir luar biasa. Pemahaman beliau terhadap ushuluddin mencapai puncaknya. Dan keilmuannya mengenai hadits, makna, pemahaman serta istinbath-istinbath rumitnya, sulit ditemukan tandingannya. Begitu pula pengetahuan tentang ilmu suluk dan ilmu kalam-nya. Beliau juga bisa menguasai kitab-kitab salaf maupun khalaf. Sementara orang lain hanya mampu menguasai sepersepuluhnya. Beliau sangat senang mengumpulkan berbagai kitab. Maka tak heran, Imam Ibnul Qayyim mewariskan banyak kitab-kitab berbobot.

Ibnul Qayyim telah menulis banyak hal dengan tulisan tangannya yang indah. Salah satu karya fenomenal Ibnul Qayyim adalah Raudhatul Muhibbin, Taman Orang-orang Jatuh Cinta. Beliau juga menulis dalam berbagai cabang ilmu dengan gaya yang khas: ilmiah lagi meyakinkan, menggunakan bahasa yang menarik, sekaligus mengandung kedalaman pemikiran. Allahu Akbar!!!

Sekarang waktunya. Perdalam wawasan kita, matangkan tulisan kita, lalu bagi pengetahuan kita. Dan pada akhirnya, pertanggungjawabkan keilmuan kita. Bukan karena harus, tapi karena kita bahagia melakukannya. Karena sungguh, dengan pena kita bisa mengubah dunia. Berat? TENTU SAJA! Tapi itulah surga. Layak diperjuangkan adanya… (an)

***

Referensi:
Mohammad Fauzil Adhim. 2004. Dunia Kata. Bandung: DAR! Mizan.
Majalah as-Sunnah, 06/I/1414-1993

Catatan:
Mendalami buku Dunia Kata, khususnya bagian Tak Pernah Berhenti Belajar, yang bisa dibaca selengkapnya pada halaman 95-103. Juga bagian Karya-Karya Berpengaruh, halaman 138-148.

Dalam majalah as-Sunnah, kisah Ibnul Qayyim Al-Jauziyah tersebut diterjemahkan oleh Ahmad Faiz Asifuddin. Diambil dari Majalah al-Mujahid no. 12 Th. I, Rabi’uts Tsani 1410 H halaman 30-33, tulisan Hudzaifah Muhammad al-Missri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar