Laman

Selasa, 15 Maret 2011

Meniti Ke Dasar Hati


"Aku ingin mengerti waktu karena aku ingin mendekati Tuhan."

Kata-kata itu terlontar dari mulut Albert Einsten. Besso, sahabat yang selalu menyediakan waktunya untuk mendengar ide-ide Einsten, hanya bisa terperangah kaget mendengar ungkapan hati sahabatnya itu. Ia selalu terpesona oleh ambisi-ambisi Einsten. Dalam usianya yang ke-26 saja, Einsten sudah meraih gelar Ph.D, dengan satu tulisan ilmiah tentang photon dan satu tulisan tentang gerak Browni.

Proyek baru yang sedang dikerjakan oleh Einsten kini adalah konsepsi tentang relativitas waktu. Besso sama sekali tak pernah menduga bahwa dibalik apa yang selama ini telah diraih oleh sahabatnya, ternyata Einsten masih menyimpan satu pencarian batin, yang ia tahu takkan pernah bisa dipecahkan secara empiris oleh sahabatnya.

Keheningan menyelimuti kedua sahabat itu. Besso tidak tahu harus bagaimana menanggapi ungkapan hati sahabatnya. Besso hanya bisa berpaling ke arah bawah jembatan tempat mereka berada. Ia memandangi perahu berwarna keperakan dalam kemilau matahari senja di sungai Aare. Namun, raut kerinduan untuk mendekati Tuhan di wajah Einsten membuyarkan pemandangan indah senja itu. Besso merasa ganjil. Bagaimana mungkin orang yang selama ini terbiasa menyendiri dan sangat tertutup seperti Einsten memiliki kerinduan untuk mendekati Tuhan?

***

Setting cerita kita berpindah. Dari pemandangan dua orang sahabat pada suatu senja di jembatan sungai Aare, Jerman, ke suatu siang di tanah pertanian seluas 35 hektar di Berrien Springs, Michigan, puluhan tahun kemudian.

***

Hari itu tanggal 11 September 2001. Muhammad Ali, sang petinju legendaris dan pemilik tanah pertanian tersebut sedang duduk di halaman rumahnya, menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan seorang wartawan dari salah satu majalah beroplah tertinggi di dunia. Runtuhnya WTC dan dituduhnya teroris muslim yang terlibat dalam aksi tersebut, membuat Muhammad Ali menerima begitu banyak tawaran wawancara. Pendapatnya sebagai seorang muslim tiba-tiba menjadi begitu penting dalam menanggapi kejadian itu.

RD : "Orang-orang muslim dituduh bertanggung jawab dalam penyerangan ke WTC pagi ini, bagaimana pendapat anda?"

Ali : "Saya marah karena orang-orang menuduh Islam yang menyebabkan kehancuran yang disebabkan oleh fanatik rasis ini. Pelakunya bukan orang-orang muslim, karena Islam adalah agama yang mencintai kedamaian. Islam sama sekali tidak mengajarkan terorisme ataupun membunuh orang."

RD : "Bagaimana anda menjalani hidup sebagai seorang muslim di Amerika? Apa artinya keyakinan tersebut bagi anda?"

Ali : "Menjalani kehidupan sebagai seorang muslim di Amerika tidaklah mudah. Pertama kali saya mengumumkan keislaman saya, orang-orang berfikir itu adalah sesuatu yang lucu. Saya mengerti mereka berpendapat demikian karena perubahan drastis yang saya lakukan terhadap hidup saya.

Namun, Islam bagi saya adalah sebuah tiket ke surga. Kita semua akan mati dan akan ada hari pembalasan. Adanya hari pembalasan tersebut dan keyakinan bahwa Tuhan selalu mengawasi apapun yang saya lakukan membuat saya lebih berhati-hati dalam melangkah dan memperlakukan orang lain. Saya selalu membawa sebungkus korek api kemanapun saya pergi. Setiap kali saya terdorong untuk melakukan hal-hal yang tidak sepantasnya menurut keyakinan agama saya, saya menyalakan korek api tersebut dan merasakan panasnya api korek tersebut di jari-jari saya sampai saya kesakitan. Setelah itu, saya meyakinkan diri saya bahwa api neraka lebih panas daripada apa yang baru saya rasakan dan sifatnya abadi. Sayapun urung melakukan perbuatan dosa yang akan saya lakukan."

***

Coba kita cermati. Dua cerita di atas, walaupun memiliki setting, waktu, pelaku, bahkan alur yang berbeda, tetapi memiliki sebuah persamaan. Para pelaku dari dua cerita di atas memiliki suatu motor penggerak di dalam hati mereka masing-masing, yang mendorong mereka untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan hati nurani. Masing-masing dari mereka, Einsten dan Ali, menciptakan suatu karya fenomenal dan melakukan suatu perubahan yang mengejutkan, karena suatu alasan yang mereka anggap layak dan tepat.

Albert Einsten, bisa melahirkan Teori Relativitas, suatu karya fenomenal yang membuatnya tetap dikenang hingga kini, karena dorongan hatinya untuk lebih mengenal dan mendekat pada Tuhan. Alasan ini cukup menyentuh, mengingat Einsten adalah seorang Yahudi. Tapi, tidak banyak yang tahu alasan utama dibalik keberhasilan Einsten dan Teori Relativitasnya. Hanya Allah Yang Maha Tahu. Dan hanya Allah juga lah yang mampu mengetahui apakah Einstein berhasil menemukan pencarian batinnya tersebut sebelum ia meninggal dunia. Bukankah hanya Allah yang kuasa untuk membolak-balikkan hati manusia? Dia akan memberikan hidayah-Nya hanya pada orang-orang yang Dia anggap layak untuk menerima hidayah tersebut.

Muhammad Ali, bermetamorfosa dari seorang Cassius Clay yang identik dengan dunia glamour dan penuh kesenangan yang bersifat duniawi menjadi seorang muslim yang survive di negara dimana hedonisme berkiblat, Amerika. Dan kemudian melakukan perubahan yang luar biasa terhadap kehidupannya karena suatu alasan yang kuat. Ali berubah karena ia yakin telah menemukan kebenaran hakiki, yaitu Islam, yang membawanya menemukan kedamaian. Ali dan korek api yang selalu ia bawa kemanapun pergi, cukup menggambarkan pada kita bagaimana keyakinannya terhadap keberadaan Allah dan adanya hari pembalasan.

Semoga kita bisa bercermin sejenak dari dua kisah di atas. Kemudian mencoba menata lagi rencana-rencana yang sudah kita buat untuk memanfaatkan jatah hidup kita di dunia. Jangan pernah merasa enggan untuk bercermin dan mencoba berkata jujur kepada diri kita masing-masing. Bukankah filosofi Ibnu Sina mengajarkan pada kita agar menggunakan pendekatan banyak arah untuk mencapai kebenaran? Jadi, kenapa kita masih saja suka mempertahankan filosofi ‘kacamata kuda’ Rene Descartes yang berpandangan satu arah?

Coba tengok sebentar, apa yang selama ini memotivasi untuk melakukan segala aktivitas kita adalah murni karena Allah ta’ala? Atau kita memberi kavling yang lebih luas terhadap popularitas, gengsi, materi dan segala sesuatu selain Allah untuk menempati hati kita dan menjadi motor penggerak kehidupan kita? Hanya kita yang bisa menjawabnya. Lihatlah sekali lagi ke dasar hati. Temukan jawabannya, lalu luruskan niat kita.

Karena sungguh Kawan, seperti hadits pertama di Kitab Arba’in yang Imam Nawawi tuliskan, seseorang hanya akan sampai pada apa yang ia niatkan… (an)

kisah diambil dari http://eramuslim.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar