Laman

Kamis, 06 Oktober 2011

Senja Dalam Kereta


Aku bertemu dengannya senja tadi. Saat langit Kota Hujan merona berwarna jingga. Senja, biasanya adalah saat kepenatan berlabuh. Saat gelap merangkak ke jendela untuk menyejukkan mata. Dan tentu saja, saat harumnya sabun mandi dan minyak telon semerbak dari tubuh mungil santri-santriku.

Tapi kelihatannya kali ini tidak. KRL Jabodetabek yang kunaiki tidak menjanjikan senja seindah itu. Justru yang kudapati adalah gerbong yang penuh sampah berserakan. Aku tidak membayangkan jika harus begini setiap hari. Menembus kerasnya belantara ibukota. Berangkat sejak pagi buta, dan baru pulang ketika surya tak nampak rupa. Alhamdulillah, ini hanya liburan, dan hanya empat hari. Beruntung aku dapat tempat duduk. Dan tiba-tiba dia hadir begitu saja. Seperti hendak menggenapkan senja. Bersama pemberitahuan PPKA yang terdengar dari pengeras suara: KRL di jalur 3 siap diberangkatkan.

Wajahnya bulat dengan beberapa tahi lalat. Tubuhnya tinggi, jika hitunganku tidak keliru, lebih dari 160 senti. Auratnya tertutup sempurna. Jilbab hijau yang menjuntai ke bawah dada dan jaket yang ia kenakan meneguhkan dari mana ia berasal. Terus terang, ia menarik perhatian. Apalagi di gerbong ini, gerbong yang biasanya padat tak karuan. Tahulah, macam apa penampilan gadis metropolis ibukota? Dari gerbong yang bisa dibilang lengang, ia memang terlihat sangat berbeda. Jam-jam seperti ini KRL memang sudah sepi. Justru Stasiun Besar Bogor yang baru saja kami tinggalkan itu yang ramai. Tak heran, tempatnya memang di pusat kota. Keluar dari stasiun, akan ada satu mall, satu supermarket, dan satu swalayan yang berderet menyambut. Oh ya, walaupun tidak semacet Jakarta, pertigaan stasiun besar padat luar biasa. Yang tak ingin kesana, pasar di depan stasiun pun bisa jadi alternatif belanja.

Sejenak kuamati. Kuakui, ia memang menarik. Kulirik lagi gadis tadi. Sesungguhnya, dia tidak cantik. Badannya bongsor, tidak langsing, meski posturnya tetap ideal. Parasnya terlalu bersahaja untuk jadi idola. Kulitnya? Sawo matang saja. Namun yang membuatnya berkilau di senja yang temaram adalah matanya. Mata yang kutebak adalah warisan dari ayahnya. Anak perempuan lebih banyak mirip dengan ayah kan? Tidak lebar, sorotnya bening, dan berwarna coklat seperti manikam. Matanya menerawang, merengkuh jarak tak bertepi, dan berpendar serupa nyala lilin: meredup sesaat, lalu sesekali berkobar.

Tiba-tiba mataku tertumbuk pada jemarinya yang memainkan plastik hitam yang ia pegang. Ada sesuatu yang bisa kubaca di sana. Tapi apa? Ehm, ya. Ya. Kesepian. Kelelahan. Kesepian itu tidak hanya disuarakan oleh hembusan nafasnya yang berat dan getar bibirnya. Tapi juga oleh gerak tubuhnya yang gelisah. Yang akhirnya ia sandarkan pada tempat duduk berwarna oren di hadapanku.

Hampir kupeluk dia dan kubisikkan bahwa kesepian itu hanya prasangka. Di gerbong ini saja misalnya. Hitung sudah berapa pedagang yang lalu lalang. Ada yang naik, ada juga yang turun di Stasiun Cilebut. Mulai dari pedangang air minum, sampai assesoris. Coba perhatikan sebentar saja, mereka ramai menjaja dengan beraneka harga. Mungkin kesepian itu memang ada, tapi sungguh terlalu asing bagi gadis seumurannya. Dan kelelahan itu. Kelelahan macam apa yang meninggalkan garis-garis kentara di wajah bersihnya?

KRL berjalan perlahan untuk kedua kali. Ketika naik KRL ini, dari Stasiun Besar Bogor kita bebas turun dimana. Tentu, tergantung daerah mana yang tengah kita tuju. Ingin turun di sini? Boleh saja. Sebentar, kualihkan pandanganku keluar mencari sesuatu. Nah, itu dia! Ya, Stasiun Bojonggede. Atau turun bersamaku setelah ini? Tersedia banyak pilihan. Seperti halnya gerbong kehidupan yang kita jalani. Tersedia banyak pilihan yang bisa kita lakukan. Kesempatan, aktivitas, dan rencana-rencana ada untuk mengisi perjalanan yang masih terentang panjang. Kecuali… ya, kecuali kalau ia menginginkan lebih banyak lagi.

Entah mengapa aku masih belum berani menyapa. Di sampingnya duduk satu keluarga: seorang gadis, dua ibu-ibu, dan seorang balita. Berbagi canda dan tahu Sumedang bersama. Di sisi lain, aku menelisik, apa yang ia rasakan dalam kesendirian? Aku kembali menatap matanya. Dan pendar yang serupa lilin itu melukis sketsa-sketsa di langit impiannya. Lalu menggurat poles-poles tipis di dasar hatinya. Tiba-tiba aku tahu, dari bola mata manikam miliknya. Ia menginginkan sesuatu yang menggetarkan dan berbeda. Tidak terindera namun lebih dari nyata. Meneguhkan namun tak bisa dikata mudah mendapatkan. Ia sedang berjuang. Ia sedang bertahan. Ia sedang mengupayakan sebenar-benar penawar kesepian, dan sebenar-benar penawar kelelahan.

Dia hadir tiba-tiba, tapi aku merasa tak asing padanya, gadis berjilbab hijau menjuntai ke bawah dada. Aku seperti sangat mengenalnya. Aku berdiri, kulemparkan senyum padanya, seolah ingin membersamainya. Dalam kereta, maupun dalam kesendirian serta perjuangannya. Dan siapa sangka, ia menganggukkan kepala seakan berkata iya!

Ah, siapa namanya… Tapi sungguh, aku merasa tak asing dengannya.

Senja sudah menjelma malam. Gerbongku berderit sesaat lalu berhenti. Stasiun Citayam. Aku harus turun sekarang. (an-300911)

3 komentar:

  1. eem dia bukan aku ukh...sumpah...aku di Jogja kok beneran sueer wkwkwkwk ^^v apa kabar ukhtiii :)

    BalasHapus
  2. mbak dheet-A: siapa ya? hehe.. alhamdulillah baik, mbak.. mbak sendiri pripun?
    Qolamul Hasna: baca blogmu, tulisanmu makin bagus, nduk :)
    kalian berdua: i miss u... :x

    BalasHapus