Laman

Jumat, 03 Desember 2010

Janji Malam Hari



Mentari senja membelai pipi Fariza. Cahayanya pucat. Fariza tersenyum kecut, sama seperti blimbing wuluh yang pohonnya ada di halaman depan. Berkali-kali ia menarik nafas panjang, terasa berat. Kesepakatan pertemuan ini masih jadi diskusi. Fariza tak ambil peduli. Hanya memainkan pulpen di tangannya. Betapa ia ingin bangkit dan meninggalkan ruangan itu segera.

“Tunggu saja undangannya. Iya nggak, Mas?” celetuk seorang kawan mengundang tawa yang lainnya. Namun justru membuat Fariza ternganga. Senyumnya terhapus seketika. Hanya dia yang merasakannya.

“Aku nggak salah dengar, Ya Robb? Beberapa hari ke depan dia memang akan pergi. Tapi benarkah untuk satu hal itu?”, jerit Fariza dalam hati.
"Kenapa harus dia? Dari sekian banyak ikhwan yang ada, kenapa harus dia?”. Dia yang diam-diam Fariza kagumi, lebih dari setahun ini.
“Dan kenapa juga harus sekarang? Kenapa harus di saat paling penting bagiku? Bagi masa depanku? Tinggal 4 bulan lagi UAN datang. Belum lagi hasil try out ku, kuliahku. Ya Allah, kuatkan hamba-Mu…"

Tidak biasanya Fariza pulang tanpa pamit. Pikirannya kacau, hatinya galau. Bahkan adzan maghrib yang saling menyahut tak lekas ia sambut. Kalau tidak ingat hari ini puasa dan harus berbuka, ia tak berminat sama sekali menyentuh botol air minum di ranselnya. Astaghfirullah…

Fariza menghentikan langkahnya di depan masjid. Bergegas menyejukkan batinnnya dengan tetesan air wudhu. Lalu mengenakan mukena merah jambu. Tapi resah itu masih saja menyerbu. Takbiratul ihram yang ia ikuti terasa begitu kering.

“Ayolah Za, cuma Allah yang Maha Besar. Semuanya kecil kecuali Dia!” Fariza berkata pada dirinya sendiri. Bahkan ia sampai membatalkan dan mengulang takbirnya tiga kali. Raut wajah itu masih terus membayangi. Tubuh Fariza menggigil dalam sujudnya. Selepas salam dia juga tak mengucap dzikir, alfa.

Fariza kesepian di tengah hiruk pikuk jalan raya. Perjalanan pulang kali ini terasa sangat lama. Berbagai rasa berkecamuk di hatinya. Ia sedih. Ia marah. Bahkan Fariza benci. Benci pada dirinya sendiri.
Sampai di rumah Fariza menghambur menuju kamar. Memori-memori itu seperti diputar ulang. Sepenggal kenangan, tak lama setelah ibu meninggal. Tentang sebuah janji. Janji yang pernah ia patri. Tekad yang pernah Fariza ikat. Begitu kuat.

***

Bola mata Fariza menjelajah rak buku seniornya. “Eh, diantara buku kelas berat punya Mbak Uul, ada yang tipis juga ternyata. Ini aja deh. Pas buat aku yang masih pakai putih-biru”, batinnya.

“Aku pinjem ini ya, Mbak?”
“Yang mana, Za?”
“Nih!”, Buku bersampul merah itu sudah ada di genggaman Fariza. CINTA KITA BEDA, Evi Ni’matuzzakiyah – Muhammad Nazhif Masykur.
“Itu punya Mbak Hani, belum Mbak kembalikan. Coba aja langsung bilang ke dia. Eh, tapi kamu ini aneh, masih SMP udah pingin baca gituan.”
“Hehe, nggak apa-apa, Mbak…”

Fariza melahap lembaran buku itu satu demi satu. Kadang tersenyum simpul, tapi tak jarang mengernyitkan dahi. Kalau sekarang ditanya isinya, mungkin dia sudah lupa. Karena memang tak banyak yang Fariza ingat dari buku yang dia baca. Tapi satu kalimat yang paling melekat dalam benaknya. Walau hanya sebaris kata pengantar.

“Cinta kita beda. Tapi beda itulah yang kupilih dan kuyakini kebenarannya. Sehingga I Love Islam yang selalu kuserukan untuk teguhkan prinsipku.”



Ya, kondisi Fariza memang tak sama dengan teman-temannya. Tanpa sosok ibu di sisinya, dalam kondisi yang kurang berpunya, harus memperjuangkan hidup dan masa depannya. Sejak itulah Fariza melonjak dan berazzam:
“Akan kubuktikan bahwa cintaku beda. Cintaku akan mendekatkanku pada agama. Cintaku hanya karena Allah ta’ala.”
Itu janjinya.

***

Tubuh Fariza bersandar di ranjang. Memandang lekat wajah di bingkai 3 R itu penuh rindu.

Empat tahun lalu ibu harus kembali pada-Nya lebih dulu. Yang pertama kali mengajarkan Fariza tentang cinta. Bukan dengan kata, karena ibu memang tak mahir menulis dan mengeja aksara.

Ibu tak pernah protes. Meski pasca krismon, beliau sepenuhnya menjadi tulang punggung keluarga. Entah karena bapak tak mampu atau tak mau melakukannya. Semoga bukan yang kedua. Mengejar fajar dengan sepeda ontel tua. Menuruni lantai empat Pasar Beringharjo dengan gendongan di belakang dan tentengan di kiri-kanan. Melewati bau sayuran busuk sepanjang Jalan Sri Wedari sebelum direlokasi. Menjajakannya mulai bantaran Kali Code.

Sesekali melepas caping dan menyeka peluh saat surya begitu perkasa di Pakualaman. Terkadang ibu menghilangkan penat di depan rel perlintasan Lempuyangan. Mendengar peluit melengking menyambut gerbong Lodaya yang baru saja datang. Lalu menyeberangi jembatan Sudirman saat matahari mulai condong. Perempatan Tugu sudah ramai dengan bunyi klakson. Ya, ibu memang istri yang penuh cinta. Tak mengurangi baktinya, meski bapak tidak memberikan nafkahnya. Mulai urusan dapur, sumur dan kasur.

Tak pernah malu melakukan apapun untuk membesarkan hati anak-anaknya. Dalam balutan kain merah-putih Fariza membonceng sepeda. Di antara deretan motor dan mobil keluaran terbaru, ibu memarkirnya di situ. Mengantarkan seorang alumni sekolah dasar pinggir kali menyongsong bangunan tua bernama SMPN 8 Yogyakarta.
“Bismillah, kita coba Nduk, Insya Allah kamu bisa”.
Ya, ibu memang orang tua yang penuh cinta. Tak pernah marah, meski Fariza dan adik laki-lakinya kadang berulah.

Tak pernah menyesal berjuang membantu kakung (Jawa: kakek) membesarkan tujuh adiknya. Walaupun sejak kecil tak sempat merasakan bangku sekolah. Anak polah bapa kepradah. Anak berbuat, orang tua bertanggung jawab. Begitulah ibu menyediakan diri untuk adik-adiknya. Bahkan sampai mereka dewasa. Ya, ibu memang anak sekaligus kakak yang penuh cinta.

Tak pernah mengeluh atas semua keletihan yang ibu rasakan. Hanya satu yang ibu jadikan sandaran. ALLAH.
Pernah Fariza terbangun. Gelap. Senyap. Dingin menyergap. Ia ingin ke kamar mandi. Tapi ia urungkan niatnya tadi. Ia dapati ibu berlinang air mata di ruang tamu. Sebelumnya Fariza tak pernah melihat ibu tergugu sehebat itu. Sempurna dalam mukena tua yang lusuh tapi selalu bersih. Tangan yang legam terpanggang itu menengadah. Allah-lah yang selama ini menjadi kekuatan dan memberi ibu daya upaya. Allah-lah yang selama ini paling ibu cinta…

Fariza mendekap erat guling kesayangannya. Seperti dulu saat dia memeluk ibu. Fariza malu. Dia bisa begitu sakit hanya karena seorang laki-laki yang belum halal baginya. Padahal sakit tak ibu rasakan sebagai sakit demi orang-orang tercinta. Mengapa dia justru mengundang murka Sang Maha Cinta? Ampuni, Ya Robb…

***

Langit-langit 3x3 itu dia tatap, sesekali mengerjap. Matanya memerah. Fariza makin resah.

Ia ingat gundukan tanah yang menyimpan jasad bapak masih basah. Meski bunga-bunganya sudah layu dan terbang dibawa angin. Belum genap sebulan bapak berpulang. Bapak yang penuh cinta di hari tuanya.

Tak marah meski Fariza pernah mengungkit masa lalu bapak. Dulu membebani ibu, saat sehat tapi tak bekerja. Dua tahun kemudian membebani Fariza dengan sakitnya. Bapak terserang stroke tepat sesaat sebelum Fariza menyelesaikan sekolah menengah pertama. Dan sampai komplikasi menjelang akhir hidupnya. Sejak saat itu, estafet tulang punggung keluarga berpindah ke Fariza, sebagai anak pertama.
“Bapak ora tau nyuwun kaya mengkene. Wis ora ana sing gelem ngajak nyambut gawe, wong bapak wis ora isa ngapa-ngapa. Muga-muga sesuk uripmu luwih mulya tinimbang bapak…”1

Tak banyak bertanya. Saat anggaran dinyatakan pailit, bahkan pernah Fariza tak mampu membeli gas elpiji 3 kilo, bapak pergi mencari kayu bakar. Bapak bawa pulang, sampai terseok-seok di jalan. Kayu waru, bambu, glugu, atau kayu apapun itu. Bapak pecah-pecah dan beliau jemur sendiri. Lalu bapak juga yang membuat perapian. Di samping rumah yang sempit dan hanya ada temaram lampu 5 watt. Kadang terbatuk karena asap yang beliau hirup. Baju bapak pun mengumpul debu dilapisi abu. Mengetuk pintu kamar Fariza yang belum selesai melepas lelahnya.
“Nduk, iki dina Kemis, arep pasa ora? Segane wis mateng, wedange wis cepak…”2


Tak banyak menuntut. Bapak terima berapapun uang yang Fariza berikan. Bahkan bapak tak segan menggunakan keahlian yang masih beliau miliki. Bapak memang sudah tak kuat memperbaiki bangunan seperti dulu. Tubuh yang dulu tegap memang sudah bungkuk. Tangan yang dulu kekar dan berotot memang yang kiri begitu lemah. Kaki yang dulu kokoh memang untuk berjalanpun tertatih. Tapi tangan kanan bapak masih sangat kuat. Masih mantap untuk memijat. Lalu bapak diberi imbalan ala kadar. Kadang uang, kadang makanan, atau hanya ucapan terima kasih.
“Mau mung entuk matur nuwun, Nduk. Ning kuwi ana tela godog, Le…”3


Tak banyak berkata. Selama bapak bisa, beliau cuci sendiri pakaiannya. Apalagi sejak bapak tak bisa mengontrol hajatnya. Tak mau membebani anak-anaknya untuk membersihkan celana penuh kotoran.
“Awakmu mesti wis kesel bola-bali ngepel, Nduk. Sandhanganne adhimu wae dikumbahke. Bapak titip ndhuwuran siji.”4


Tak banyak bicara. Tapi satu yang jadi prinsip bapak dalam hidupnya. Yang juga diajarkan pada anak-anaknya: “Nduk, senajan dadi wong ora nduwe, aja nganti pingin apa meneh gelem njupuk duwekke liyan…”5

Kedua orang tuanya begitu sederhana saat bicara cinta. Cinta yang beliau wujudkan secara nyata. Cinta yang tepat pada tempatnya. Fariza malu pada dirinya. Fariza malu pada mendiang ibu-bapaknya. Fariza malu pada Tuhannya.

***

Fariza tak bisa lagi menahan yang sedari tadi ia bendung. Butir bening itu tak lagi menggenang. Tumpah. Menganak sungai. Mengalir dan terus membanjir.

“Kenapa kulanggar janjiku, Ya Robb? Kenapa kuijinkan sedikit demi sedikit dia menggeser kedudukan-Mu di hatiku? Kenapa malah dia yang jadi semangat dalam aktivitasku? Mana beda yang dulu kubilang akan kubuktikan? Jika macam ini apa bedanya cintaku? Kenapa aku tidak belajar dari cinta orang tuaku? Kenapa cintaku tidak mendekatkan pada ridho-Mu? Kenapa ini tidak aku berikan saja pada yang memang Kau haruskan aku mencintainya?”


Pintu kamar diketuk. “Mbak, sudah adzan, ayo sholat isya…” Bukan suara asing. Suara yang mulai memberat. Satu-satunya suara yang setia menemani Fariza setelah orang tua mereka tiada. Menyisakan isak. Tapi juga mengguratkan senyum.

“Ya. Dialah yang harus kucintai saat ini.”


Aku terlampau kerdil untuk tidak ditiup angin. Demi Dzat yang kuyakini dalam apapun. Aku menyebut-Mu, aku berserah diri pada-Mu. Walau nampak berat, aku hadir untuk mencoba tetap di jalan yang Paduka pilihkan…//



Mulai ditulis di Yogyakarta, 28 Oktober 2010 tengah malam
Selesai di Yogyakarta, 23 November 2010 menjelang fajar


Ainun Nahaar

Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html



1 Bapak tidak pernah minta seperti ini. Sudah nggak ada yang mau mengajak bekerja, karena bapak sudah nggak bisa apa-apa. Semoga hidupmu besok jauh lebih baik dari bapak…
2 Nduk (Jawa: panggilan untuk anak perempuan), ini hari Kamis, mau puasa atau nggak? Nasinya sudah matang, minumnya sudah siap…
3 Tadi cuma dapat terima kasih, Nduk. Tapi itu ada singkong rebus, Le (Jawa: panggilan untuk anak laki-laki)
4 Badanmu pasti sudah lelah berkali-kali mengepel, Nduk. Pakaian adikmu saja dicucikan. Bapak titip baju satu.
5 Nduk, walaupun jadi orang nggak punya, jangan sampai ingin apalagi mau mengambil milik orang lain…

2 komentar: