Laman

Jumat, 03 Desember 2010

Catatan di Atas Dipan



Ahad, 10 Februari 2008


Banyak yang terjadi dalam hidup ini. Tanpa bisa aku mengerti. Perlahan aku membuka mata. Cahaya ratusan watt itu serupa surya yang sangat perkasa. Aku hampir tak sanggup menatapnya. Dimana aku sekarang? Argh, sakit. Badanku. Kakiku. Tanganku. Kepalaku…

Ada yang mengganjal di hidungku. Selang. Kulihat ke atas. Juga selang. Menjuntai mengalirkan tetes demi tetes cairannya lewat tangan kananku. Rumah sakit? Aku di UGD?

“Dek… Kamu nggak apa-apa?”
“Mbak Mif? Sakit, Mbak…” Aku memandang wajah teduh ini. Harusnya aku tidak di sini. Yang aku ingat, aku bareng Mbak Miftah pulang dari Kajian Lintas Rayon. Naik motor. Aku yang di depan. Lewat Perempatan Badran. Sedikit jalan ke utara, persis di bawah jembatan kereta apinya. Motor yang kami naiki dihantam keras dari belakang. Aku tak bisa ambil kendali. Di depan aspal jalan berlubang sekitar setengah meter dalamnya. Kata Mbak Miftah, kami jatuh di sana. Seterusnya aku nggak ingat apa-apa.

***

Aku ditinggal sendirian. Keluargaku nggak ada yang datang. Teman-teman yang menjengukku juga sudah pulang. Tapi aku ditinggali buku, biar nggak bosen katanya. Zero to Hero - Solikhin Abu Izzudin. Aku pernah baca. Tapi apa salahnya.

Aku baru mau menyentuhnya. Dua perawat menarik gorden, minta ijin masuk. Putra semua.
“Maaf ya Dek, lengan bajumu sedikit saya buka.” silahkan, toh dari tadi aku masih belum berdaya.
“Tahan ya, agak ngilu…” belum sempat aku meng-iya-kan. Jarum itu sudah tertancap di selang tangan kanan. Ya Allah, ngilu bukan kepalang.

Masih obat injeksi. Jangankan minum obat tablet. Aku saja masih muntah nggak berhenti-berhenti. Kata dokter spesialis bedah syaraf, hasil CT Scan kepalaku… Ah, apa tadi? Nggak tahu lah. Pokoknya ada yang nggak beres, bikin pusing nggak karuan. Pipiku mirip Chibi Maruko Chan. Hasil rontgen menunjukkan 2 rusuk kananku retak. Pinggangku juga, rasanya luar biasa.

Sakit. Mataku menerawang ke langit-langit. Menyakitkan, aku sendirian. Waktu aku harus melewati saat terberat.

Bapak? Dimana orang yang harusnya jadi tempat bergantung anggota keluarganya? Bisa tidurkah di rumah? Semantara anaknya di sini terbaring lemah?
Adek? Apa yang sedang dia lakukan? Apa jarak 60km ke timur kota nggak bisa disempitkan?
Mbah Kakung, Mbah Uti, Pakdhe, Paklik, Bulik, sepupu-sepupu, terlalu sibukkah kalian semua?
Juga teman-teman. Kalian yang sudah melihat kondisiku. Tapi kenapa nggak ada satu pun yang menemaniku?

Mataku sembab. Tapi tak mampu terisak. Cuma butir bening itu yang terus bicara. Perlahan mengalir. Sampai aku terlelap. Air mata itu belum terusap.

***

Senin, 11 Februari 2008

Mentari pagi menyapaku dari balik jendela. Hangat sekali sinarnya.

Ruanganku sepi. Dari empat bed cuma dua yang terisi. Karena memang bukan bangsal perawatan. Inter Mediate Care, masih satu atap dengan Instalasi Rawat Darurat. Selain aku, cuma ada satu pasien lagi. Aku belum bisa kemana-mana. Jadi aku juga belum tahu namanya. Sambil tiduran, aku baca Zero to Hero lembar demi lembar. Walaupun aku harus menahan mual. Ini bukan pertama kali aku membacanya, tapi banyak hal kutemui yang sepertinya tidak kutemukan dulu, nggak tahu kenapa.

Baru beberapa lembar yang aku buka. Sampai kalimat ini aku berhenti.
Bila orang pesimis berkata, “Masalah ini mungkin diselesaikan, tapi sulit”, maka optimislah dan katakan, “Masalah ini sulit, tapi mungkin.”

Bagiku ini sulit. Tapi apa ini namanya aku pesimis? Nggak! Aku masih nggak terima. Ini sulit. Aku cuma sendiri di sini. Padahal aku belum bisa mandiri. Jangankan ngurus administrasi. Minum? Harus bantu disendoki. Makan? Harus disuapi, itupun banyak yang termuntahkan lagi. Sholat? Harus di-tayamumi. Buang air? Terpaksa di pispot. Minta tolong? Pasti. Persis bayi!

Aku makin nggak terima di halaman-halaman berikutnya. Zaid bin Tsabit? Abu Hurairah? Anas bin Malik? Jelas aja mereka bisa! Rasulullah sendiri yang membimbingnya. Imam Nawawi? Imam Syafi’i? Imam Ghazali? Arghhh!

Menjelang dhuha sarapanku datang. Aku terlanjur nggak nafsu. Lagipula, gimana aku mau makan? Badanku aja masih sakit miring ke kiri-kanan. Ibu pasien di seberangku mendekat, mungkin merasa kasihan.
“Sudah makan, Nduk?”, aku menggeleng.
“Ibu suapin ya?”, aku mengangguk. Aku dibantu duduk.
Ibu ini banyak bertanya. Aku jawab seperlunya. Ibu ini mengajakku bercerita. Kalau aja ibu masih ada. Aku nggak akan sendiri macam ini jadinya. Mendadak kepalaku berat. Pusing. Dan hueekk. Aku muntah.
“Kamu baik-baik aja, Nduk?”, ibu ini yang membersihkan muntahanku. Aku sudah nggak punya baju.
“Nggak apa-apa. Nanti kalau ada yang ke sini kan pasti dibawakan ganti”. Ya, semoga ada, batinku.
“Ibu tinggal ya, sebentar lagi kunjungan dokter”, ibu ini segera meninggalkanku.
“Bu………”, panggilku lirih.
“Bu Siti Aidah. Kalau ada apa-apa panggil ibu aja ya…”
“Terima kasih…”
Ibu ini kembali. Mengusap jilbabku. “Iya, sama-sama. Istirahat. Biar kalau diperiksa dokter kondisimu lebih enak. Ya, Nak?”
Ah, masih ada yang peduli padaku ternyata…

Matahari mulai merangkak ke barat. Biasanya aku menghabiskan waktuku di TPA. Aku rindu mereka. Rindu riuh rendah hafalannya. Rindu senyum dalam bingkai jilbab mungil mereka. Rindu gelayutan manjanya. Rindu cerita-ceritanya. Aku rindu santri-santriku.

Menjelang malam senior remaja masjidku datang. Sepasang suami istri. Aku dibawakan baju ganti. Aku nggak punya baju ini, pasti punya Mbak Novi. Tadi beberapa teman membawakan rambutan. Ada juga yang membawakan buah sekeranjang.

Ruanganku mulai sepi. Seorang perawat senior mendekati kami. Lagi-lagi soal administrasi.
“Askeskin itu hanya bisa digunakan kalau diurus maksimal 3x24jam”, tegas beliau.
Mbak Novi yang pergi. Mengambil dan mengisi formulir apa, aku nggak begitu ngerti.
“Syarat lainnya banyak Dek, surat ini, surat itu, legalisir ini, fotocopy itu. Numpuk di sana. Besok ada yang bisa menyelesaikan?”
“Nggak tahu, Mbak...”
“Mas Rachmat dan Mbak Miftah?”
“Mungkin. Apa salahnya sih Mbak, pake askeskin? Dosa ya? Sudah tahu orang nggak punya, kondisi juga baru serba susah, kenapa sih nggak dipermudah?”
“Sabar…”. Sabar. Sabar. Sabar. Selalu itu yang aku dengar.

***

Selasa, 12 Februari 2008

Nafas Mbak Miftah masih terengah. Kelihatannya sangat lelah. Di luar pasti sangat panas.
“Mbak Mif dari mana? Kok baru ke sini sekarang?”
Wanita tiga tahun di atasku ini tersenyum. “Maaf Dek, Mbak baru aja pulang dari Balaikota. Legalisir Askeskin-mu.”
Luar biasa! Mbak Mif masih tersenyum di sela lelahnya. Tak kusangka sampai sedalam itu pedulinya. “Udah selesai?”
“Belum, masih harus ke Dinsos, masih ngurus di rumah sakit juga. Oh ya, SKTM dari RT/RW. Mbak bisa ketemu siapa?”

Ya Robb, betapa susahnya… Berat sekali rasanya…

Malam ini aku masih sendirian. Mataku masih belum mau terpejam. Lirik kiri, lirik kanan. Cuma Zero to Hero tadi satu-satunya yang bisa kujadikan teman. Aku kembali menikmatinya sebagai santap malam. Mulai halaman 57 aku terpaku.

Milikilah Kesabaran
Sabar bila dijalani sebagaimana mestinya akan mampu mengubah musibah menjadi karunia, tantangan menjadi peluang, hambatan menjadi kesempatan, keterbatasan menjadi anugerah.
Kesabaran menjadikan seseorang mampu bertahan.

Ya Robb, apa ini yang membuat aku merasa tidak kuat? Sepertinya semua ini berat? Aku tidak sabar. Atau mungkin sabar. Tapi tidak di jalan yang benar.

Milikilah Ketabahan
Selain kesabaran diperlukan juga ketabahan. Ya, ketabahan, yakni kemampuan bangkit kembali untuk kesekian kalinya setelah terjatuh. Dalam benturan antara air sungai dan batu, air sungai senantiasa menang bukan dengan kekuatan tapi ketabahan.

Ya Robb, aku kurang tabah. Aku belum mensyukuri nikmat-Mu yang berlimpah...

Menarik Hikmah, Jangan Menyerah

Ya Robb, ampuni aku… Jadikan aku hamba yang mampu membaca hikmah, saat Kun-Mu hadir menjawab do’a-do’aku…

***

Rabu, 13 Februari 2008

Malam ini ruanganku mendadak ramai sekali. Banyak yang masuk IRD hari ini. Kata perawat, sebelum dipindah ke bangsal, diobservasi sehari dulu di sini. Kok aku nggak dipindah ya?

Tadi sore Mas Fano, Mbak Nisa sama Mbak Peni datang ke sini. Mas Fano itu tetanggaku, Mbak Nisa kakak kelasku dulu, kalau Mbak Peni kenalan baru. Mereka tanya lepas SMP pingin lanjut kemana.
“Ke sekolah kita aja! Kita jadiin ketua bidang di SKI deh!”

Ya. Tinggal 2 bulan UAN datang. Waktunya merancang masa depan. Biarpun dalam kondisiku sekarang. Seperti tulisan Pak Solikhin yang aku baca tadi siang…

Kadang kita takut punya cita-cita, karena takut untuk mencapainya. Padahal cita-cita merupakan energy yang akan menggerakkan jiwa, menggerakkan pikiran untuk kreatif, menggerakkan badan untuk aktif, menggerakkan seluruh tubuh untuk mencapai tujuan.

Ya. Aku sudah punya pilihan. Aku sudah punya cita-cita. Ya Robb, jika Kau ijinkan… Ridhoi cita-citaku, untuk berkarya di bidang kesehatan. Untuk menjadi amalan terbaikku di dunia yang mengantarkanku menuju surga…

***

Kamis, 14 Februari 2008

Dingin menggigil. Bumi mulai basah. Setelah tetesannya lebih dulu menari di ranting dan dedaunan. Pagi-pagi benar sudah menyanyikan tik tik tik bunyi hujan. Jarum jam baru menunjuk angka 6.

Infusku terpaksa dilepas, tangan kananku bengkak. Nggak apa-apa, aku mulai bisa bebas bergerak. Aku turun dari ranjang. Menyapa orang-orang yang seruangan denganku. Semuanya pasien baru. Sapaan berbalas senyuman. Kenapa nggak dari kemarin aku lakukan? Kan aku nggak bakal kesepian…

Mulai jalan ke luar pelan-pelan. Meraih apapun yang bisa aku jadikan pegangan. Meniti koridor ke arah selatan.

Wanita setengah baya itu bersandar di kursi. Masih memakai mukena, mungkin sejak subuh tadi. Apa sama kesepian seperti aku?

“Nyuwun sewu Bu, kula lenggah mriki nggih?”
“Mangga, Mbak…”
“Sinten sing sakit, Bu?”
“Putra Mbak, kengeng alangan. Mangkih jam wolu kedah dioperasi. Menawi balung suku tengen taksih saged ditata nggih ditata. Menawi mboten nggih kedah amputasi.”

(“Maaf Bu, saya boleh duduk disini?”
“Silahkan, Mbak…”
“Siapa yang sakit, Bu?”
“Anak saya Mbak, kecelakaan. Nanti jam delapan harus dioperasi. Kalau tulang kaki kanan masih bisa ditata ya ditata. Kalau nggak ya harus amputasi.”)
“Innalillaah…”, pekikku pelan. Jelas sakit yang ibu ini rasakan. Apalagi putranya kalau harus benar-benar kehilangan kaki kanan. Aku jadi ingat bukuku lagi, kalau nggak salah di bagian delapan.

Allahlah pemilik segala kekuatan, “Laa haula walaa quwwata illaa billah… tiada daya dan kekuatan selain dari Allah.”

Tiba-tiba aku rindu memakai mukena. Aku rindu tetesan air wudhu yang lima hari ini tergantikan oleh debu. Kupenuhi rinduku segera. Dhuha.

***

Jum’at, 15 Februari 2008

Ba’da sholat Jum’at. Baru saja selesai makan siang, sekarang udah makan sendiri. Bed depanku sudah kosong, tadi pagi pulang. Tapi ada pasien lagi. Anak laki-laki diantar perawat pakai kursi roda. Aku pandangi bocah ini. Dekati!

Masya Allah, panas luar biasa waktu aku pertama menyentuh tubuhnya! Dia cuma sama pamannya. Jauh-jauh menempuh jarak Tegal-Jogja. Dia juga sama seperti aku, piatu. Juga sama, pasien Askeskin. Pamannya masih pontang-panting ngurus administrasi dan cari tranfusi.

Yang aku rasakan kemarin sama sekali nggak enak. Juga yang sekarang aku lihat. Ya Allah, aku ingin bisa berbuat lebih banyak. Dengan jadi dokter atau bahkan pemilik rumah sakit, jika Kau ijinkan kelak. Dan semua berawal dari niat!

Niat sungguh membuat pemiliknya besar. Pikiran kita lebih lebar. Menjadikan setiap langkahnya tegar.

Ya Robb, jadikan aku besar dengan niat yang benar… Karena-Mu dan untuk-Mu…

***

Sabtu, 16 Februari 2008

“Hari ini kamu boleh pulang. Saya buatkan surat pengantar, besok Kamis kontrol sama saya di Poli Bedah Syaraf ya”, wajah teduh berwibawa itu tersenyum padaku.
“Benar, Dok?”, wajahku berbinar.
“Belajarlah yang rajin. Banyak yang menunggu dokter pilihan sepertimu. Yang mau mendengar, yang taat dan nggak cengeng…”
“E… Dokter tahu dari mana?”
“Tidak sengaja dengar. Tiga hari yang lalu waktu kunjungan sore di bed sebelah. Segera lulus dengan nilai terbaik. Masuk sekolah yang kamu inginkan. 3 tahun lagi saya tunggu di Fakultas kedokteran.”
“Baiklah Dok, do’akan…”, batinku penuh harapan.

Administrasinya gimana? Ternyata bisa diselesaikan besok atau lusa. Daripada aku di sini juga nambah-nambahin biaya. Cukup ninggal identitas kepala keluarga. Itupun bukan aku sendiri yang menyelesaikan semua.

6 hari aku di sini. Belajar mengeja apa yang sudah Allah beri. Banyak nikmat yang harus kusyukuri. Bukan keterbatasan yang harus kuungkit tiada henti. Itu hanya membelenggu diri. Tapi bagaimana menata potensi. Lalu berlari ke puncak prestasi, meraih surga Ilahi…!!!

Kemampuan kita terbatas? Itu bukan masalah! Sebab bila di tengah keterbatasan itu kita mampu mendahsyatkan diri untuk meraih prestasi tinggi, itulah kepahlawanan sejati. Zero to Hero!
(Solikhin Abu Izzudin)




***

Jum’at, 3 Desember 2010

Hari ini, aku masih terus berlari. Meski tertatih. Berteman bayangan akan harapan, walau terjatuh dengan realitas yang mengerikan. Terjerembab dalam keadaan diri yang sejati, lalu tergugah lagi dengan mimpi-mimpi. Demi surga yang hakiki. The Director of International Medical Center. Ditemani derasnya air hujan, do’akan aku, Kawan… Ini saat mustajabah kan?



Sepenggal kenangan di IMC B-7 dua tahun lalu,


Ainun Nahaar

Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html

2 komentar:

  1. Aslm. Mbak ainun, saalam kenal...
    Artikelnya bagus banget, i like it.. kat2 nya runtut dan mengalir.. semoga jadi yang terbaik

    BalasHapus
  2. wa'alaykumussalam...
    salam kenal juga...
    trimakasih.. aamiin.. semoga Allah memberikan qt yg terbaik menurut-Nya..

    BalasHapus