Laman

Senin, 12 Oktober 2009

Belajar lagi...

Rasanya lelaaah sekali… Apalagi semalam sempat berurusan dengan yang berwajib, masalah klasik, surat-surat kendaraan. Tapi kupikir, disinilah titik kesalahannya, menyepelekan yang sepele dan itu kita anggap biasa. Sudahlah, aku tidak ingin bercerita tentang itu, ada yang ingin aku bagikan disini. Kisah tentang santri-santri kecil, anak-anak hebat yang kemarin harus kutinggalkan karena amanah merapatkan barisan da’wah TKA-TPA menanti, paling tidak untuk skala kecil 33 unit ini. Cerita beberapa hari yang lalu, saat masih banyak yang sibuk membicarakan gempa. Ah, aku jadi teringat acara semalam, semoga Allah membalas kebaikan pada beliau yang tak segan menafkahkan harta baik di waktu lapang maupun sempit. Aamiin…

“Allah itu nggak kasihan apa ya? Nggak merasakan sakitnya korban gempa! Kok suka bikin gempa terus…”

Aku hanya bisa tersenyum mendengar ucapan spontan yang keluar dari lisan yang masih sangat polos. Jujur ku akui, perlu berpikir berkali-kali untuk menjawab atau sekedar mengomentarinya.

“Itu tahu kalau Allah yang bikin gempa, berarti Allah juga tahu apa yang dirasakan korban-korbannya… Mungkin bisa jadi, korban yang meninggal itu tidak merasakan sakit, hanya kita saja yang sering tidak tega melihatnya…”

“Kok bisa? Kan sampai tertimbun tanah dan keruntuhan bangunan gitu kok nggak sakit?”

Selalu begitu, tidak akan puas dengan satu jawaban saja.

“Seperti saat Nabi Ibrahim dibakar, beliau tidak merasakan sakit. Karena atas izin Allah, api itu diperintahkan menjadi dingin. Tapi yang melihatnya waktu itu, mungkin akan berpikir kalau beliau memang akan dapat pertolongan, kenapa sebelum dibakar Allah tidak menolong dengan beliau diapakan gitu?” Dia diam setengah berpikir. “Nah, ternyata kehendak Allah dan makhluq berbeda, tapi percaya nggak, kalau itu yang terbaik?”

“Percaya. Tapi kan yang masih hidup kan menderita?”

Dalam hati aku berdo’a, semoga aku diberi kemudahan menjawab pertanyaan-pertanyaannya.

“Itu bentuk teguran dari Allah…”

“Masa sedikit-sedikit ditegur? Berarti salah kita banyak?”

Masih berapa lama lagi? Aku hampir kehabisan akal menjawabnya…

“Mungkin bisa jadi salah kita banyak…”

“Apa saja, Us?”

“Coba dipikir di rumah, ditulis, besok dikumpulkan. Gimana?”

“Oke! Makasih ya, Us…”

Sudah ya? Alhamdulillah… Ketika mereka pergi, entah berapa kali aku tersenyum dan berucap syukur, lagi-lagi aku bisa belajar banyak dari mereka…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar